‘Street Culture’ dan ‘Staged Culture’ di Bali
Prof. Dr. I Nyoman Darma Putra, M. Litt – Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Udayana (Unud)
Denpasar | barometerbali – Bali kaya akan street culture, tapi miskin akan staged culture. Terminologi budaya yang pernah diperkenalkan Kadir Din (1997) ketika berbicara tentang pariwisata budaya di Malaysia ini kiranya berguna untuk membuat refleksi dinamika kebudayaan Bali dalam setengah abad terakhir. Juga untuk membayangkan masa depan kebudayaan Bali dalam konteks kegairahan pemerintah dan semangat masyarakat untuk mengembangkan industri atau ekonomi kreatif. Apakah street culture dan staged culture itu?
Street culture adalah seni budaya yang hidup di masyarakat, yang otentik, yang ditampilkan dalam natural setting (latar alaminya). Dia merupakan bagian fungsional dari kehidupan agama, adat, dan tradisi masyarakat. Selain dilaksanakan di ruang-ruang ritual seperti pura atau tempat suci lainnya, street culture juga banyak dilangsungkan di jalan-jalan. Contohnya prosesi melasti, pawai ogoh-ogoh, ngaben, dan ngelawang. Pengunjung yang datang ke Pulau Dewata dengan mudah bisa memergoki pawai atau prosesi seni seperti ini saat mereka melenggang di jalan-jalan kota atau desa seantero Bali. Street culture bukan seni pertunjukan, tetapi bisa disaksikan. Street culture merupakan bagian penting dari keseluruhan daya tarik Bali sebagai destinasi yang mengembangkan pariwisata budaya.
Staged culture adalah seni budaya yang dipanggungkan, yang dipentaskan dalam ruang atau gedung pertunjukan. Berbeda dengan street culture yang tidak memerlukan panggung khusus karena bisa dilaksanakan di berbagai tempat sesuai dengan tradisi, staged culture memerlukan panggung atau gedung pertunjukan sebagai arena pementasan. Sebagai seni pertunjukkan, staged culture sengaja disiapkan, dikomersialkan melalui proses komodifikasi. Staged culture, terutama yang dipentaskan untuk wisatawan, biasanya dianggap tidak seotentik street culture. Otentisitas staged culture dianggap di bawah street culture.
Sebetulnya, perbedaan otentisitas itu bukan sesuatu yang mutlak mengingat kesenian Bali yang dipertunjukkan kepada wisatawan memiliki keunikan. Wisatawan yang menontonnya akan menganggapnya sebagai sesuatu yang asli Bali, yang tidak mungkin dijumpai dengan pesona yang sama di tempat lain. Tidak mungkin membicarakan seni budaya Bali tanpa mengaitkannya dengan kepariwisataan yang telah memberikan pengaruh yang sangat besar dalam hampir seratus tahun terakhir. Interaksi intens antara kehidupan seni budaya dengan pariwisata sudah berlangsung hampir seabad jika hitungannya mulai tahun 1910-an, ketika Bali pertama kali dirintis oleh pemerintah kolonial Belanda sebagai bagian dari politik balas budinya yang memporak-porandakan sebagian besar Bali (Selatan) lewat dua perang, yaitu Puputan Badung 1906 dan Puputan Klungkung 1908. Perkembangan pariwisata Bali yang mengarah pada pariwisata massal dimulai tahun 1960-an, setengah abad lalu, ketika pemerintahan Sukarno memutuskan untuk membangun hotel berlantai sepuluh di pantai sanur, Hotel Bali Beach. Juga menyetujui perluasan Bandar Udara Ngurah Rai sebagai bandar udara internasional. Memberikan dua proyek ‘raksasa’ kepada satu provinsi tentu tidak mudah karena saat itu banyak daerah yang pembangunannya masih timpang. Tapi, bagi Bali, permintaan paket hotel dan bandara sangat rasional. Hotel besar tidak ada artinya tanpa fasilitas bandara, sebaliknya bandara internasional tidak banyak gunanya kalau di Bali tidak ada hotel berstandar internasional.
Presiden Sukarno tidak menyaksikan rampungnya kedua proyek ‘raksasa pariwisata’ di Bali itu karena rezimnya keburu jatuh pasca-huru-hara 1965. Bagi Bali, dengan memiliki keduanya, hotel dan bandara internasional, bukan saja berarti sektor kepariwisataan akan bergerak ke arah pariwisata massal, tetapi juga akan kian intensnya interaksi antara kehidupan sosial budaya dengan budaya pariwisata. Interaksi kehidupan seni budaya dengan budaya pariwisata bersifat resiprokal paradoksal. Resiprokal paradoksal maksudnya adalah hubungan harmonis yang selaras serasi seimbang sekaligus hubungan yang penuh curiga karena yang satu, dalam hal ini pariwisata, juga dianggap ancaman terhadap seni budaya. Keuntungan ekonomi dari pariwisata telah memungkinkan masyarakat Bali untuk melaksanakan ritual yang elaborated atau megah, memungkinkan mereka untuk menggali kekayaan seni tradisi, arsitektur yang khas Bali, dan menemukembangkan kekayaan kuliner.
Di samping dampak positifnya, pariwisata juga dianggap sebagai ancaman (threat). Lewat kekuatan kapital dan globalnya, pariwisata sering dicurigai atau dilihat sebagai musuh dalam selimut yang diam-diam dianggap dapat menghancurkan seni budaya lokal. Kekhawatiran ini tentu saja tidak berlebihan tetapi tidak sepenuhnya negatif karena resiprokalitas-paradoksal ini bermuara menjadi kekuatan tunggal untuk membela (nindihin) supaya seni budaya Bali tetap ajeg, agar hidup secara berkelanjutan. Keberlanjutan kehidupan seni budaya Bali akan menjadi pilar dan daya tarik
utama pariwisata.
Menyuburkan ‘Street Culture’
Resiprokal paradoksal pariwisata dengan seni budaya Bali ternyata lebih lebih menyuburkan kehidupan street culture dibandingkan dengan staged culture. Semaraknya kehidupan street culture bisa dilihat dalam berbagai bentuk, mulai dari kegairahan masyarakat untuk melaksanakan upacara keagamaan, renovasi tempat suci dengan arsitektur khas Bali, kebanggaan pada pakaian adat, sampai pada kebanggaan menjadi orang Bali. Ketika kebalian itu terancam hilang, mereka berteriak ‘Kembalikan Baliku padaku’.
Banyak contoh semaraknya street culture belakangan ini. Prosesi ogoh-ogoh merupakan tradisi baru, yang ditemukan di tengah memuncaknya kekhawatiran masyarakat akan lenyapnya budaya Bali dari gerusan gelombang pariwisata. Sebelum tahun 1980-an, prosesi ogoh-ogoh menjelang malam pergantian Tahun Baru Caka, biasanya jatuh bulan Maret/April, hampir tidak ada. Belakangan, sejak tahun 1990-an, pawai ogoh-ogoh seperti menjadi keharusan rangkaian ‘ritual’ penyambutan tahun baru Caka. Pemerintah kota Denpasar melihat pentingnya kreativitas masyarakat khususnya anak muda dalam tradisi baru ogoh-ogoh sehingga mengadakan festival ogoh-ogoh. Contoh lain semaraknya street culture bisa dilihat dalam prosesi melasti dan aktivitas lain di pura saat purnama yang kian mengagumkan. Anak-anak menggali dan menampilkan prosesi ngelawang, menarikan barong suci diiringi gamelan di jalan kota atau desa dengan keyakinan untuk menghalau kekuatan negatif. Sebelum tahun 2000-an, ngelawang adalah aktivitas langka. Walaupun kegairahan street culture ini disebabkan berbagai faktor internal masyarakat, juga harus diakui sebagai reaksi atas kekuatan eksternal yang mengalir dari pengaruh pariwisata baik dalam bentuk support maupun threat.
Perkembangan staged culture mengalami fase naik-turun yang memprihatinkan. Kepariwisataan merangsang untuk menghidupkan staged culture tetapi perkembangannya tidak pernah benar-benar membanggakan. Sejak awal pariwisata berkembang di Bali, seni pertunjukan merupakan daya tarik pariwisata yang penting. Wisatawan yang ke Bali tidak saja datang untuk menikmati keindahan alam, keramatamahan penduduk, keunikan street culture yang mereka lihat secara kebetulan ketika lewat di jalan, tetapi juga menikmati pementasan seni pertunjukkan seperti tarian di hotel, kecak, dan barong dance di panggung- panggung tertentu. Tamu negara yang berkunjung ke Bali senantiasa disajikan pementasan tari-tarian baik di panggung hotel tempat mereka menginap atau diundang ke stage pertunjukan di Batubulan atau Singapadu. Ini adalah bukti bahwa seni pertunjukan merupakan bagian dari identitas Bali. Tari kecak dan tari barong menjadi ikon pariwisata Bali.
Jika dilihat sejarah kelahirannya, tari kecak digubah secara kolaboratif oleh seniman Bali I Wayan Limbak (Bedulu, Gianyar) dengan Walter Spies (Jerman). Spies membantu Limbak dan warga Bedulu untuk mengembangkan Tari Sanghyang kesurupuan, tarian ritual yang merupakan bagian dari street culture menjadi Tari Kecak yang merupakan bagian dari staged culture. Jika pariwisata tidak pernah berkembang, kemungkinan besar tari kecak tidak pernah tercipta dan kemudian bertahan hidup dalam bentuknya seperti sekarang ini. Demikian juga halnya Tari Barong, dikenal juga dengan Keris Dance. Pengembangan kreatif dari tarian barong yang merupakan bagian dari street culture menjadi seni pertunjukan yang masuk dalam kategori staged culture adalah salah satu bentuk cerdas menyelaraskan perkembangan antara
street dan staged culture.
Sejalan dengan perkembangan pariwisata, panggung-pangung pementasan Tari Kecak dan tari Barong bermunculan, seperti di Ubud, Peliatan, Singapadu, Batubulan, dan Tanjungbungkak (populer tahun 1980-an). Art Centre, Denpasar, yang dibangun tahun 1970-an pernah menjadi panggung tetap pertunjukan Tari Kecak setiap malam, terutama disajikan bagi wisatawan yang menginap di sekitar Sanur. Tari Kecak dan Tari Barong merupakan dua contoh staged culture yang lahir, tumbuh, dan bertahan karena pariwisata, dan saat bersamaan memperkaya daya tarik pariwisata. Keduanya merupakan penyelarasan kreatif dari street culture ke staged culture.
Pendirian Taman Budaya, Art Centre Denpasar, pada tahun 1970-an, merupakan bentuk pengembangan staged culture. Pembangunan arena kesenian yang inisiatifnya datang dari Prof. Ida Bagus Mantra ketika beliau menjadi Dirjen Kebudayaan bertujuan melestarikan seni budaya Bali melalui seni pertunjukan. Gagasan ini sangat visioner apalagi jika dilihat sekarang di mana sulit sekali mencari ruang untuk bisa dijadikan panggung guna mementaskan kesenian Bali. Dulu, pentas drama gong, joged, bisa dilakukan di halaman luar pura, di bale banjar, di bawah pohon beringin atau bahkan di ladang kering yang menanti air untuk ditanami padi. Kini, ruang-ruang terbuka yang bebas seperti itu sudah tidak ada lagi, sungguh sulit mencari panggung pementasan. Banjar-banjar sudah dikontrakkan untuk toko atau garase. Mengosongkannya sebagai panggung pertunjukkan meskipun sesaat sulitnya bukan main. Kehadiran Art Centre adalah antisipasi atas kian sulitnya mencari panggung kesenian.
Saat Pak Mantra menjadi Gubenur Bali (1978-1988), beliau juga mengambil inisiatif untuk mendirikan taman budaya atau gedung kesenian di tingkat kabupaten sebagai ‘art centre mini’. Sementara Art Centre Denpasar menjadi arena Pesta Kesenian Bali, gedung-gedung kesenian di tiap kabupaten menjadi pelaksanaan pesta seni di tingkat kabupaten atau gedung pertunjukan kesenian lainnya pada hari-hari tertentu. Pembangunan Art Centre di Denpasar dan gedung kesenian di Bali adalah ide cemerlang dalam penyelarasan perkembangan street culture dan staged culture. Namun, dalam perjalanannya, banyak gedung kesenian di kabupaten gagal meneruskan fungsinya sebagai bagian dari staged culture. Penyebabnya adalah kombninasi antara karena komitmen pemerintah dan masyarakat luntur, tidak ada dana untuk merawatnya, karena lokasinya di jalan utama yang kian bising sehingga tidak ideal untuk panggung pementasan. Bahkan, Art Centre sendiri, di luar kegiatan PKB setiap tahun, hampir tidak berperan banyak untuk melestarikan staged culture.
Art Centre yang tahun 1980-an pernah menjadi pangung Tari Lecak, sejak lama sudah tidak
lagi memerankan fungsi staged culture untuk wisatawan. Bahkan kunjungan wisatawan ke
tempat ini sudah menurun. Daya tariknya melemah. Koleksi seni lukis dan patung Art Centre yang pernah menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan yang datang ke sana sekarang luntur sudah. Pesona fisik Art Centre sendiri sudah sangat pudar, tak lagi berwibawa seperti pada awal didirikan, sementara selera kemegahan masyarakat juga bergeser ke arah yang lebih besar dan monumental. Renovasi total tidak pernah terjadi, sementara perbaikan secara sporadis dan fragmentaris tidak banyak membantu. Buktinya panggung-panggung pertunjukan lebih menyerupai peninggalan arkeologi. Pudarnya wibawa Art Centre adalah tanda mundurnya staged culture di Bali. Ada kabupaten, seperti Gianyar, mencoba membangun gedung kesenian atau balai budaya yang lebih representatif untuk memenuhi kebutuhan akan stage. Langkah ini pantas disambut, sayangnya usaha seperti itu tidak berkembang merata di semua kabupaten di Bali, padahal kebutuhan akan panggung pementasan semakin terasa di mana-mana. Masyarakat haus akan hiburan.
Absennya gedung kesenian atau panggung-panggung pertunjukkan di Bali menimbulkan ironi pada wajah seni budaya Bali. Di satu pihak Bali kaya akan seni rupa dan pertunjukan, di lain pihak panggung-panggung untuk mementaskannya kian pudar dan menyusut. Lebih ironis lagi kalau dikaitkan dengan industri pariwisata. Panggung pementasan kecak dan barong memang seperti pepatah ‘patah tumbuh hilang berganti’ sesuai kebutuhan, misalnya tutupnya panggung kecak di Tanjung Bungkak dan Art Centre digantikan panggung kecak di Uluwatu atau Garuda Wisnu Kencana; tutupnya panggung barong di Singapadu digantikan dengan panggung barong di Kesiman. Namun, jika diamati dengan saksama, panggung-pangung pertunjukan itu tidak mencerminkan kemajuan selera modern. Dalam hampir setengah abad perkembangan pariwisata, belum juga ada panggung pertunjukan Bali yang maju, nyaman, dan inovatif, yang bisa dijadikan sebagai arena untuk pementasan kesenian yang ‘touristic’. Istilah ‘seni touristic’ perlu diisi tanda petik di sini karena tidak serta merta berarti rendah martabat dan nilainya. Jika melihat pertunjukan untuk wisatawan yang melawat ke perkampungan budaya Cina di ShenZhen atau kota lain di Cina, kita akan berdecak kagum menyaksikan pementasan kesenian khas Cina yang spektakuler, kolosal, dan inovatif. Gedung pertunjukannya besar dengan AC yang nyaman. Atau, panggung terbuka yang sejuk dan jauh dari bising, membuat suguhan seni turistik mereka sungguh luar biasa.
Estetika tari dan inovasi tata panggung memberikan perpaduan yang mengagumkan. Ribuan turis tiap hari mengalir ke Perkampungan Budaya Cina di ZhenSen untuk menikmati pertunjukan dan keindahan taman-taman di sekitarnya. Seni pertunjukan itu menghasilkan devisa yang sangat besar. Yang lebih penting adalah bahwa wisatawan merasa puas
menikmati pertunjukan otentik rakyat Cina dalam suasana modern. Popularitas dan kualitas itu hanya dimungkinan karena pengelolaan staged culture yang profesional.
Ketika memimpin rapat persiapan PKB tahun 2010 lalu, Gubernur Mangku Pastika, menyebutkan pentas kesenian rakyat Cina yang turistik itu sebagai contoh dan bertanya mengapa Art Centre Bali tidak bisa seperti itu? Mengapa di luar PKB tidak ada kegiatan kesenian, entah untuk penyaluran bakat, pentas seni bermutu, atau sajian berkualitas untuk wisatawan. Jika pementasan kesenian untuk wisatawan bisa dilaksanakan secara reguler dan berkualitas, jelas aktivitas seni itu akan memberikan keuntungan ekonomi yang potensial untuk meningkatkan kesejahteraan seniman atau masyarakat pada umumnya. Yang juga penting pementasan itu akan mendongkrak citra Bali sebagai pulau kesenian yang kaya akan tidak saja street culture tetapi juga staged culture.
Perkembangannya belakangan ini mulai mengindikasikan bahwa masa depan staged culture
di Bali tampaknya akan benar-benar suram. Hampir tidak ada panggung kesenian yang representatif di Bali di luar Art Centre yang sudah lapuk. Proyek GWK yang dirancang menjadi gedung atau panggung kesenian modern tidak kunjung rampung karena alasan finansial dan konflik berkelanjutan dari pengelolaannya. Meskipun demikian, peran GWK sebagai bagian dari staged culture Bali sudah tampak dalam beberapa event besar, seperti pementasan orkestra untuk acara Recovery Bali pasca-serangan terorisme 2002 lalu. Juga beberapa pementasan musik kolosal dengan artis nasional dan disiarkan secara langsung dalam TV. Selain itu, hampir tidak ada. Belakangan, muncul Teater Bali Agung, di Bali Safari & Marine Park, Gianyar, yang tampaknya hendak meniru sukses staged culture ala Cina dengan suguhan pentas kesenian Bali perpaduan tradisi dan kontemporer, dengan tata lampu, tata dekor, tata busana, tata suara yang yang memukau. Selain ratusan penari, pementasan ‘Bali Agung’ yang kolosal juga menampilkan satwa seperti gajah, macan, dan unta berintikan kisah legenda Jayapangus dan istrinya putri Cina Kang Cing Wie. Jutaan wisatawan domestik dan internasional berkunjung ke Bali setiap tahun dan mereka adalah target pasar dari pentas seni. Sayang sekali kalau potensi itu akan lepas kandas karena absennya seni-seni pertunjukkan yang dipentaskan dalam gedung-gedung yang nyaman dan inovatif.
Saat itu pemerintahan Presiden SBY sedang galak-galaknya mengembangkan program pembangunan ekonomi kreatif. Bidang ini dikelola oleh lebih dari satu kementerian, termasuk Kementerian Perdagangan, Industri, dan Pariwisata. Ekonomi kreatif yang dikembangkan lewat industri kreatif merupakan ‘industri-industri yang bersumber dari kreativitas individual, keterampilan dan bakat dan memiliki potensi untuk kesejahteraan dan penciptaan lapangan kerja lintas generasi dan penggalian kekayaan intelektual’. Pemerintah mengategorikan 14 bidang ke dalam industri kreatif yaitu periklanan; arsitektur; pasar barang seni; kerajinan; desain; fesyen; video, film dan fotografi; permainan interaktif; musik; seni pertunjukan; penerbitan dan percetakan; layanan komputer dan piranti lunak; televisi dan radio; dan riset dan pengembangan. Belakangan diusulkan agar ‘kuliner’ juga dimasukkan ke dalam kategori industri kreatif yang mendapat perhatian untuk dikembangkan. Mungkin daftar ini akan bertambah panjang, tetapi yang jelas ‘seni pertunjukan’ termasuk di dalam daftar industri kreatif. Bali telah memiliki pengalaman panjang membangun seni rupa (visual arts) dan seni pertunjukan (performing arts) sebagai bagian dari industri pariwisata, maka saatnya sekarang bangkit untuk secara kreatif mengembangkan staged culture, bukan saja untuk melestarikan seni budaya itu sendiri tetapi untuk menjadikannya sebagai sumber kesejahteraan masyarakat. Penting sekali dicapai situasi di mana Bali mampu menyelaraskan kehidupan street culture dengan staged culture, yang pertama merupakan sumber kebahagiaan kultural religius, sedangkan yang kedua sumber kesejahteraan sosial ekonomi. Kekayaan street culture Bali, kekayaan seni pertunjukan Bali, sebaiknya dikemas secara kreatif menjadi bagian dari staged culture yang menguntungkan secara ekonomi. Contoh penciptaan Tari Kecak dan Tari Barong bisa diteladani sebagai salah satu model penyelarasan street dan staged culture.
Pembinaan SDM Pengembangan staged culture memerlukan tenaga kreatif, berbakat, cerdas, dan berkepribadian. Suramnya masa depan staged culture tampaknya karena terbatasnya SDM seni budaya yang dimiliki Bali selama ini. Banyak keluhan terdengar, termasuk yang sering disampaikan Gubernur Bali Made Mangku Pastika, bahwa daya saing sumber daya manusia Bali jauh dari kemampuan memenuhi persaingan nasional apalagi global. Banyak peluang kerja di Bali, misalnya di bidang priwisata untul level manager ke atas, diduduki oleh orang luar Bali bahkan luar negeri. Ini petanda bahwa SDM Bali kalah bersaing. Rendah tidaknya SDM Bali tidak perlu diributkan lagi, yang perlu diambil segera adalah langkah nyata untuk meningkatkan kemampuan SDM Bali. Salah satu caranya adalah dengan membuka kesempatan pendidikan yang seluas dan setinggi-tingginya, termasuk dan semestinya sampai ke luar negeri.
Pemprov Bali bisa bercermin dari langkah yang ditempuh oleh Pemprov Sulawesi Selatan yang mengalokasikan dana beasiswa bagi 500 doktor dalam waktu lima tahun untuk belajar ke luar negeri seperti Australia, Jepang, dan Malaysia. Ide di balik beasiswa ini bisa dibaca seperti berikut. Pertama, jelas mencetak SDM yang baik dan berkualitas dan berdaya saing global. Kedua, keinginan politik untuk membayangkan bahwa kelak para sarjana itu selesai menempuh pendidikan di luar negeri, mereka akan menjadi calon pemimpin bangsa. Bukannya tidak mungkin bahwa pemimpin bangsa Indonesia masa depan adalah orang-orang Bugis dari Sulsel. Kalau Bali ingin menyumbangkan calon-calon pemimpin bangsa Indonesia di masa depan, langkah penyiapan SDM yang unggul harus dilakukan seperti langkah Pemprov Sulawesi Selatan. Betapa bangganya menyaksikan kelak bahwa pemimpin bangsa Indonesia masa depan adalah orang Bali.
Pemerintah kabupaten dan Provinsi di Bali sekarang masih mengutamakan urusan kesehatan dan beasiswa wajib belajar 12 tahun, sementara untuk level pascasarjana belum banyak disentuh. Andaikan Pemprov Bali dan pemerintahan kabupaten kota mau kompak menyediakan dana untuk beasiswa bagi orang Bali yang hendak melanjutkan sekolah ke luar negeri, maka SDM Bali akan meningkat daya saingnya, dan bukannya tidak mungkin nanti bahwa pemimpin masa depan Indonesia adalah orang Bali. Prof Ida Bagus Mantra adalah orang Bali yang menamatkan pendidikan doktornya di India, setelah kembali dia mendapat jabatan sebagai Dirjen Kebudayaan, kemudian dipercaya menjadi Gubernur Bali, dan Dubes
Indonesia di India. Komitmennya di bidang kebudayaan sudah terbukti sangat besar, lewat pendirian Art Centre dan pelaksanaan PKB. Pemimpin generasi Bali masa depan semestinya melebihi prestasi Pak Mantra, namun ini semuanya jelas hanya bisa tercapai kalau pemerintah sekarang sudi menyiapkan dana beasiswa untuk investasi SDM dan investasi kultural.
Tidak ada kata terlambat untuk menanamkan investasi di bidang pendidikan dan kebudayaan. Saatnya sekarang pemerintah mengajak kalangan legislatif untuk sudi menyediakan beasiswa bagi generasi muda Bali yang cerdas untuk bisa mengejar ilmu sejauh-jauhnya. Masa depan Bali, dengan segenap adat dan budayanya, adalah di tangan mereka. Mereka adalah ahli waris kebudayaan Bali, dan di tangan mereka pula kebudayaan Bali akan bermetamorfose mencari
bentuknya sesuai dengan jiwa zaman. Generasi muda Bali mendatang harus mampu melebihi kemampuan kreatif pendahulunya dalam memanfaatkan atau menyelaraskan kekayaan street culture menjadi staged culture. Sebagai daerah pariwisata, pilihan terbaik Bali adalah menjadikan street culture sebagai inspirasi untuk mengembangkan staged culture.
Perkembangan street culture merupakan sumber kebahagiaan spiritual kultural sedangkan pengembangan staged culture dapat menjadi sumber kesejahteraan sosial ekonomi.
Catatan redaksi: Orasi Budaya ini disampaikan Prof. Dr. I Nyoman Darma Putra, M.Litt pada acara “Entitas Nurani #2, di Art Centre Denpasar, 23 Desember 2011 lalu dan masih relevan hingga saat ini. (BB/501/DP)