Thursday, 03-10-2024
Orkes

Obat Cacing ini Diduga Efektif Hadang COVID-19, Begini Sejarah Ivermectin

Caption: Ivermectin lahir dari aktivitas tim peneliti dikepalai Satoshi Omura saat mengambil sampel tanah lapangan golf di Kawaka, Kota Ito, Prefektur Shizuoka, Jepang.

(BBN INDONESIA) – Belakangan ini santer beredar informasi terutama di media sosial, obat cacing atau parasit pada hewan, Ivermectin diduga mampu menyembuhkan pasien COVID-19. Nah, bagaimana sejarah munculnya Ivermectin hingga dianggap dapat melawan virus yang mematikan tersebut, berikut kutipan dari tulisan Ahmad Zaenudin yang dimuat tirto.id edisi 28 Juni 2021.

Diceritakan pada 1971, Satoshi Omura–ilmuwan di Kitasato Institute, Tokyo–ingin membagi pengetahuannya. Ia memutuskan mengambil cuti panjang untuk menjadi pengajar dan peneliti di Wesleyan University, Connecticut, Amerika Serikat. Satoshi mengajar bersama Max Tishler, ilmuwan yang menjadi akademisi setelah sukses berkarier pada perusahaan farmasi Merck, Sharpe, and Dohme (MSD atau Merck & Co). Satoshi dan Tishler menjadi “duet maut”, menempa para mahasiswa Wesleyan University memahami bidang yang mereka kuasai, yaitu kimia.

Ketika Satoshi dan Tishler duduk di kampus yang sama, institusi yang menaungi Satoshi, Kitasato Institute, tengah berupaya mencari mitra industri guna melakukan penelitian bersama. Kitasato Institute ingin mencari senyawa kimiawi baru yang bermanfaat, khususnya untuk menemukan obat-obatan bagi hewan. Tujuan tersebut hanya bisa dicapai melalui kerjasama dengan pihak industri dan dana yang disediakannya.

infografis Antara

Paham bahwa institusinya membutuhkan mitra industri, Satoshi lantas bercerita kepada Tishler. Melalui koneksi yang dimiliki, Tishler tahu bahwa MSD tengah berada di titik jenuh dalam melakukan kerja-kerja penelitian bahan kimia sintetik dan tengah berupaya melakukan terobosan baru demi menopang bisnis farmasi mereka.

Akhirnya, sebagaimana dikisahkan Satoshi dalam artikelnya berjudul “The Life and Times of Ivermectin: A Success Story” (Jurnal Nature Vol. 2 2004), Kitasato Institute menjalin hubungan dengan MSD pada 1973. Hubungan saintifik itu menghasilkan ivermectin, obat yang diyakini peneliti Royal Melbourne Hospital, Australia, bernama Leon Caly dalam studinya berjudul “The FDA-approved Drug Ivermectin Inhibits the Replication os SARS-CoV-2 in vitro” (Antiviral Research Vol. 178 2020) dapat mengurangi replikasi SARS-CoV-2, virus di balik wabah Covid-19, di dalam tubuh manusia yang terjangkit.

Dari Hewan ke Manusia

Dalam “Ivermectin: 25 Years and Still Going Strong” (International Journal of Antimicrobial Agent Vol. 31 2008), Satoshi Omura menyebut bahwa kisah awal ditemukannya ivermectin terjadi pada 1974. Kala itu, melalui kerjasama yang dilakukan Kitasato Institute dan MSD yang dikepalai Satoshi, tim peneliti melakukan pengambilan sampel tanah dari lapangan golf yang berada di kawasan Kawaka, Kota Ito, Prefektur Shizuoka, Jepang. Dari sampel tanah tersebut, melalui proses penyaringan yang dilakukan di Amerika Serikat, ditemukanlah sebuah organisme bernama Streptomyces avermitilis, keluarga dari spesies actinomycete.

Dalam penelitian lebih lanjut, organisme tersebut difermentasikan lalu disuntikkan pada tikus yang terinfeksi Nematospiroides debius atau cacing gelang usus. Dari situ diketahui bahwa Streptomyces avermitilis memiliki kandungan antelmintik, bioaktif yang dapat melumpuhkan cacing parasit tanpa menghasilkan toksisitas apapun.

Infogafis tirto.id

Pada 1975, kandungan antelmintik yang dimiliki Streptomyces avermitilis diisolasi dan akhirnya menghasilkan produk kimiawi bernama avermectin, ester (senyawa yang terbentuk atas reaksi asam organik) yang memiliki 16 macrocyclic–gabungan molekul dan ion dalam rantai kimiawi.

Melalui proses dihydro (proses penyuntikan dua atom hidrogen), terciptalah ivermectin, obat yang memiliki kemampuan membunuh ektoparasit (parasit yang hidup di permukaan inangnya) dan endoparasit (parasit yang hidup di dalam organisme).

Semenjak 1981, sebagaimana dituturkan William C. Campbell dalam studinya berjudul “Ivermectin: An Update” (Parasitology Today Vol. 1 1985), ivermectin mulai digunakan sebagai antibiotik dan antiparasit pada berbagai jenis hewan. Dengan menyuntikkan ivermectin sebanyak 0,2 miligram per kilogram berat badan, misalnya, 16 cacing parasit yang umum menjangkiti sapi, semisal Haemonchus placei dan Trichostrongylus axei hingga belatung, kutu, dan tungau, dapat dimusnahkan dengan efikasi mencapai 90-100 persen. Pada anjing, 0,2 miligram ivermectin per kilogram berat badan terbukti ampuh membunuh hookworm–cacing yang menggeliat di dalam usus kecil salah satu sahabat manusia ini.

Secara umum, tulis Campbell, “di awal-awal kemunculannya, ivermectin terbukti berkhasiat melawan berbagai jenis cacing, nematoda, dan artropoda, serta sedikit ampuh dalam melawan protozoa ataupun bakteria yang menjangkiti hewan.” Pada masa-masa berikutnya, ivermectin tak hanya digunakan untuk mengobati hewan, tetapi juga manusia.

Infografis tempo.co

Andy Crump dalam studinya berjudul “Ivermectin, ‘Wonder Drug’ from Japan: The Human Use Perspective” (Jurnal Japan Academy Vol. 87 2011) menyebutkan, asal-usul digunakannya ivermectin sebagai obat untuk manusia berhubungan erat dengan wabah Onchocerciasis atau Kebutaan Sungai yang menimpa dunia, khususnya Afrika Barat, pada awal 1970-an. Wabah yang disebabkan oleh cacing bernama Onchocerna volvulus yang ditularkan melalui gigitan lalat ini, tubuh manusia yang terinfeksi akan menjadi inang bagi cacing untuk bereproduksi sebanyak 1.000 ekor per hari. Ribuan (bahkan jutaan) Onchocerna volvulus itu kemudian mengambil alih tubuh manusia, menyebabkan ruam pada kulit, gatal, dan yang paling parah, kebutaan.

Kala itu, menurut perkiraan World Health Organization (WHO), 17,7 juta orang di seluruh dunia terinfeksi Onchocerna volvulus, dengan 270.000 di antaranya mengalami kebutaan total.

Sejak 1974, WHO dibantu oleh Bank Dunia meluncurkan Onchocerciasis Control Programme in West Africa (OCP) guna menghentikan wabah ini. Sayangnya, karena program penghentian wabah onchocerciasis ini dilakukan hanya melalui aksi penyemprotan insektisida untuk membunuh lalat yang membawa cacing Onchocerna volvulus, kegagalan jadi hasil akhir yang terpaksa diterima. Untunglah, di saat bersamaan, Kitasato Institute dan MSD tengah melakukan penelitian yang menghasilkan invermectin.

Awalnya, dalam penelitian yang dilakukan Kitasato Institute dan MSD (atau Merck) yang akhirnya menghasilkan invermectin, Merck tidak bermaksud menggunakan hasil penelitiannya sebagai obat bagi manusia. Ini terjadi karena sejak awal penelitian, Merck mengkhususkan diri menangani hewan, bukan manusia. Dan terlebih, karena onchocerciasis lebih banyak terjadi di negara-negara Afrika, tidak ada perusahaan farmasi manapun yang ingin terlibat menghentikan penyakit ini, termasuk Merck.

Durvet Image

Namun, sikap tersebut akhirnya berubah saat PBB mendirikan UN-based Special Programme for Research & Training in Tropical Diseases (TDR) pada 1975, untuk mempercepat kerja-kerja saintifik menemukan berbagai obat-obatan untuk menangani penyakit tropis. Melalui lembaga tersebut, PBB meminta invermectin digunakan pada manusia. Setelah enam tahun dimanfaatkan sebagai obat untuk hewan, akhirnya ivermectin digunakan untuk manusia. Dengan hanya memberikan 150 mikrogram invermectin per kilogram berat badan–yang dijual dengan nama Mectizan–para penderita onchocerciasis berhasil disembuhkan.

Melalui penelitian lebih lanjut, sebagaimana dipaparkan Luis A. Perez-Garcia dalam studinya berjudul “Ivermectin: Repurposing a Multipurpose Drug for venezuela’s Humanitarian Crisis” (International Journal of Antimicrobial Agents Vol. 56 2020), ivermectin digunakan pula untuk menyembuhkan malaria, cikungunya, dan zika.

Mampu Melawan Covid-19?

Setelah sukses menangani berbagai penyakit yang diderita hewan dan mengobati manusia yang terjangkit onchocerciasis (juga penyakit manusia lainnya), ivermectin perlahan mulai dimanfaatkan sebagai pestisida–dengan nama abamectin–demi menyelamatkan tetumbuhan.

Mengutip Crump, ivermectin kemudian menyandang status “wonder drug” atau “obat ajaib” bersama penisilin, aspirin, dan parasetamol. Penemunya, Satoshi Omura (dan tim Kitasato Institute dan MSD) bahkan menerima Nobel Prize di bidang Fisiologi dan Kedokteran pada 2015. Kiwari ivermectin tengah diteliti sebagai obat untuk menyembuhkan Covid-19.

Sebagaimana dipaparkan Emanuele Rizzo dalam studinya berjudul “Ivermectin, Antiviral Properties and Covid-19: A Possible New Mechanisme of Action” (Naunyn-Schmiedeberg’s Archives of Pharmacology Vol. 393 2020), invermectin mencuat menjadi kandidat obat Covid-19 karena zat kimiawi ini memiliki kemampuan menghambat inhibitor atau SINE–senyawa yang terlibat sebagai alat transportasi inti sel ke sitoplasma yang dilakukan oleh heterodimer import/β1 (protein)–milik virus.

Karena SARS-CoV-2 menyimpan informasi genetik dalam bentuk RNA (Ribonucleic acid), maka invermectin diperkirakan dapat melakukan aksi interferensi pada protein virus ini. Ivermectin pun terbukti memiliki kemampuan membentuk atom oksigen yang menurut Rizzo dapat menetralisasi infeksi virus di tahan-tahap awal keberadaannya di tubuh manusia. Kemampuan-kemampuan inilah yang membuat ivermectin terbukti berkhasiat mengurangi infeksi virus Dengue, West Nile, Venezuelan Equine Encephalitis, hingga Influenza.

Penelitian lain dilakukan oleh Leon Caly dari Royal Melbourne Hospital, Australia. Dalam hasil studinya yang berjudul “The FDA-approved Drug Ivermectin Inhibits the Replication os SARS-CoV-2 in vitro” (Jurnal Antiviral Research Vol. 178 2020), dia menyebut bahwa ivermectin memang terbukti dapat mengurangi replikasi SARS-CoV-2 dalam tubuh manusia yang terjangkit–persis dengan alasan-alasan mengapa ivermectin diduga dapat melawan Corona seperti yang dipaparkan Rizzo.

Masalahnya, temuan Caly hanya berdasarkan eksperimen di laboratorium, in vitro, yang memanfaatkan satu baris sel ginjal monyet yang direkayasa untuk seolah-olah meniru sel ginjal manusia. Padahal, SARS-CoV-2 lebih banyak menyasar sel paru-paru. Selain itu, temuan Caly soal khasiat ivermectin ini tercapai dengan dosis yang melebihi ambang batas otoritas kesehatan dunia manapun, khususnya Food and Drug Administration (FDA), yakni 35 kali lipat dibandingkan takaran maksimal penggunaan ivermectin untuk manusia.

Akibatnya, belum ada kesepakatan apapun di kalangan ilmuwan tentang khasiat ivermectin melawan Corona. Secara umum, selain Caly, para ilmuwan dunia tengah melakukan riset penggunaan ivermectin melawan SARS-CoV-2. Apabila berhasil, riset ini akan sangat membantu manusia keluar dari wabah yang belum juga selesai. (BBN/001/tirto.id)

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button