Pokdar Kamtibmas: PPKM Darurat, Waspadai Masalah ‘Isi Perut’ Masyarakat
Diskusi Pokdar Kamtibmas Bali dengan tema ‘Kebijakan Pariwisata Bali di Era New Normal’ di Renon, Denpasar (2/07/2021)
Denpasar | barometerbali – Sudah lebih dari 1,5 tahun masyarakat kita menderita di segala sektor akibat pandemi COVID-19. Selain terdampak signifikan soal ‘isi perut’ masyarakat atau ekonomi, potensi konflik sosial akibat kebijakan pemberlakuan PPKM Darurat hendaknya menjadi perhatian yang harus dicermati dan disikapi secara seksama oleh pemerintah. Kekhawatiran itu diungkap Ketua Kelompok Sadar Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Pokdar Kamtibmas) Bhayangkara Daerah Bali, Yosep Yulius Diaz dalam Forum Diskusi Masyarakat (Fodim) Terbatas dengan tema ‘Kebijakan Pariwisata Bali di Era New Normal’ di Renon, Denpasar (2/7/2021).
Lebih lanjut Yusdi Diaz menandaskan ketika kondisi masyarakat terpuruk dihadapkan pada permasalahan dalam memenuhi kebutuhan ‘isi perut’ dan batasan waktu berjualan yang singkat bagi pelaku usaha kuliner sungguh sangat memberatkan. Ditambah lagi penetapan prasyarat ketat dan mahal bagi wisatawan untuk bisa memasuki Bali menjadi faktor-faktor pemicu yang mesti diantisipasi dan dicarikan jalan keluar terbaik.
“Pemerintah harus memetakan lebih seksama untuk mengantisipasi ‘bom waktu’ pemicunya, dan penanganannya haruslah holistik dan tidak militeristik, Hendaknya janganlah nantinya malah membenturkan Pacalang dan Satpol PP dengan masyarakat sebagai implikasi dari adanya dugaan ‘letupan sosial’ yang masih tersembunyi. Ini soal isi perut masyarakat” pesan Yusdi Diaz serius.
Hadir sebagai pembicara dalam diskusi tersebut diantaranya Ketua Pusat Penelitian Subak Universitas Udayana (Unud) Prof. Wayan Windia, Chairman of Batur UNESCO Global Geopark Bangli) I Gede Wiwin Suyasa, dari Bali Sales & Marketing Community Ghufron, CHA., Ketua Forum Komunikasi Desa Wisata (Forkom Dewi) I Made Mendra Astawa dan penulis buku Ngurah Paramartha.
Di tempat yang sama, Sekretaris Pokdar Kamtibmas Bali Agus Samijaya, SH., mengkritisi hegemoni pemerintah pusat yang tidak memberikan hak otonomi daerah untuk mengelola kebijakannya sendiri. Padahal imbuhnya, sumbangsih devisa pariwisata Bali yang disetor ke pusat jumlahnya ratusan triliun. “Seperti halnya Bali yang sudah menyumbangkan devisa negara sedemikian besar dari sumber pariwisata untuk membuka pintu internasionalnya. Padahal Bali dengan seluruh pemangku kebijakan pariwisatanya telah memenuhi standar CHSE, pelaksanaan vaksinasi yang masif serta masyarakatnya sudah mematuhi aturan protokol kesehatan,” terangnya.
Untuk diketahui CHSE adalah penerapan protokol kesehatan yang berbasis pada Cleanliness (Kebersihan), Health (Kesehatan), Safety (Keamanan), dan Environment Sustainability (Kelestarian Lingkungan).
Persepsi dan argumentasi berbeda dilontarkan Wiwin Suyasa yang menyebut bahwa perang informasi di dunia sedang berlangsung yang dapat mengganggu kamtibmas pada momentum merebaknya pandemi COVID-19 saat ini. Ia menilai dari mulai perdebatan terkait sosok virus tersebut sampai dengan debat kusir mengenai penanganan dan skema dan jenis vaksinasinya.
Membangun pariwisata diilustrasikan Wiwin seperti buah mangga. Jika ingin hasilnya buahnya bagus maka daun, ranting, akar dan tanahnya harus digarap dengan baik. Ia juga menilai kurang bijaksana adanya anggapan bahwa sektor pariwisata merupakan penyebab dari keterpurukan ini. Pariwisata dengan pertanian ibarat buah mangga dan pisang yang tak perlu dipertentangkan. “Mungkin pemahaman yang selama ini dari masyarakat yang terlanjur salah dalam mempersepsikan pariwisata, padahal pariwisata ada di setiap sendi kehidupan dan merupakan hasil akhir dari sebuah proses ekosistem. Jadi bagaimana sebuah produk hilir malah akhirnya disalahkan?” tanya Wiwin.
Hingga saat ini ia juga tidak mengerti dan belum menemukan jawaban mengapa Bali Border atau penerbangan internasional di Bandara Ngurah Rai belum dibuka hingga saat ini. Masyarakat Bali sudah disiplin dengan prokes dan hotel dan restoran sudah menerapkan CHSE. “Apa dosa Bandara Ngurah Rai? Sedangkan bandara di Jakarta (Cengkareng-red), Makassar, Medan dan Surabaya malah buka,” ketusnya.
Lebih lanjut Gufron menegaskan COVID-19 tak akan pernah hilang dan kita akan hidup berdampingan dengan virus ini, sama dengan Fu Spanyol sejak 1918. Artinya kita tak perlu takut berlebihan tetapi tetap mengikuti prokes. “Eropa menyampaikan kapanpun Bali dibuka, sudah siap akan mengirimkan wisatawannya. International border kita harus buka untuk keselamatan bersama,” ujarnya.
Sebagai terobosan yang perlu diwujudkan di tengah pandemi ini menurut Ketua Forkom Dewi Made Mendra adalah membangun Desa Wisata. Ibarat gadis cantik semua orang dan kementrian ingin memolesnya. “Hingga kini sudah ada 179 Desa Wisata tercatat dan ada SK pemerintah kabupaten/kota. Di desa kami mengembangkan pertanian modern dengam lahan terbatas. Menanam tanaman yang punya nilai tambah. Ini menarik untuk tour edukasi menarik dengan tanaman organik. Kami mengembangkan pertanian modern dengan lahan terbatas. Pertanian sebagai dasar hidup dan pola hidup menjadi bonus pariwisata,” pungkasnya. (BB/501)