Hadapi Tren Pariwisata, Desa Wisata di Bali Wajib Urus Sertifikasi CHSE
Salah satu potensi wisata tubing dan mini rafting di alur Tukad Bubuh bermuara di Pantai Tegal Besar, Desa Negari, Kecamatan Banjarangkan, Klungkung.
Denpasar | barometerbali – Pengelola desa wisata di seluruh Bali diharapkan segera mengurus sertifikasi CHSE dalam menghadapi tren perubahan yang terjadi pada sektor pariwisata di tengah situasi pandemi COVID-19. Sertifikasi tersebut difasilitasi secara gratis oleh Kementerian Pariwisata.
Sebagai catatan, tahun ini Bali memperoleh program sertifikasi CHSE untuk 1.200 objek kategori hotel dan non hotel. Hal itu disampaikan Wakil Gubernur Bali Prof. Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati seperti dikutip dari forum keadilan ketika menjadi pembicara pada webinar Forum Komunikasi Desa Wisata (Forkom DEWI) Bali bertajuk ‘CHSE Desa Wisata Kunci Menerima Wisatawan’, Sabtu (10/7) lalu.
Seperti diketahui, Sertifikasi CHSE adalah proses pemberian sertifikat kepada usaha pariwisata, destinasi pariwisata, dan produk pariwisata lainnya untuk memberikan jaminan kepada wisatawan terhadap pelaksanaan Kebersihan (Cleanliness), Kesehatan (Health), Keselamatan (Safety), dan Kelestarian Lingkungan (Environment Sustainability).
Lebih lanjut Wagub yang akrab disapa Cok Ace ini menekankan tujuh strategi yang mesti diperhatikan dalam menghadapi tren perubahan pada sektor pariwisata. Salah satu yang sangat penting adalah integrasi penerapan protokol kesehatan (prokes) dan keamanan yang menjadi sebuah kebutuhan mendesak saat ini.
Sebelumnya, pelaku pariwisata terkesan terlalu percaya diri dan sudah merasa nyaman dengan kualifikasi yang dimiliki. Padahal, sebaik apapun kualifikasi yang dimiliki, belum bisa meyakinkan jika tak dilengkapi bukti sertifikat.
“Saya contohkan hal kecil, seorang tukang kebun di satu hotel secara kualifikasi punya kemampuan yang handal. Tapi tanpa serfifikat, dia tidak memiliki bukti kalau dia andal,” ucap Cok Ace pada webinar yang diikuti pengelola desa wisata dari seluruh Bali ini. Mengingat pentingnya sertifikasi, ia mengajak seluruh desa wisata di Bali memanfaatkan program sertifikasi CHSE Kementerian Pariwisata. Cok Ace berharap, seluruh desa wisata di Bali menggunakan kesempatan dengan sebaik-baiknya agar tahun ini seluruhnya bisa tersertifikasi.
Selain pentingnya integrasi penerapan protokol kesehatan dan keamanan, Wagub yang juga menjabat sebagai Ketua BPD PHRI Bali ini menyebut 6 strategi lain yang harus mendapat perhatian yaitu memahami perubahan kebiasaan wisatawan, pentingnya campur tangan pemerintah, komunikasi marketing untuk pemulihan kepercayaan pasar, investasi di bidang IT, pengembangan model bisnis baru dengan mengedepankan sistem online dan pentingnya pemahaman cara mempertahankan bisnis.
Ia mengingatkan pula dua hakekat yang harus diperhatikan dalam pengembangan pariwisata. Pertama, pariwisata tidak boleh mendegradasi, merusak apalagi mematikan adat dan budaya bali. Kedua, pariwisata tidak boleh mematikan atau mengeleminasi rakyat Bali, tidak boleh menghancurkan alam Bali dan memberi manfaat bagi kesejahteraan.
Dalam kesempatan itu, Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Bali Putu Astawa memaparkan materi kebijakan dan strategi percepatan pemulihan pariwisata Bali melalui strategi 3T (Trust, Trial and Travel). Sementara itu, Kepala Perwakilan BI Provinsi Bali Trisno Nugroho memberi gambaran tentang pra kondisi pembukaan pariwisata Bali.
Menurutnya empat hal yang harus diperhatikan untuk mempersiapkan pembukaan Bali yaitu pengendalian pandemi, akselerasi program vaksinasi, sertifikasi CHSE dan kesiapan destinasi. Kementarian Pariwisata dikatakan memprioritaskan Bali dalam program sertifikasi CHSE.
Disampaikan tahun 2020 lalu, Kementerian Pariwisata mengeluarkan 982 sertifikat CHSE untuk 510 hotel dan 472 non hotel. Tahun 2021 ini, Bali memperoleh jatah sertifikasi untuk 1.200 objek, terdiri atas 200 kategori hotel dan 1.000 non hotel. (BB/501/fk)