Alasan KKP Larang Lalu Lintas BL di Bawah 5 Gram Dangkal dan Terkesan Dipaksakan
Buleleng | barometerbali – Keluhan nelayan dan masyarakat pembudidaya lobster atas syarat berat benih lobster minimal 5 gram untuk lalu lintas atau pengiriman antar wilayah budidaya lobster di dalam negeri nampaknya ditanggapi dingin oleh pihak Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
KKP yang dipimpin Menteri Sakti Wahyu Trenggono nampaknya kukuh menerapkan syarat 5 gram dalam Permen KP 17/2021 yang mengatur tentang pengelolaan lobster, kepiting dan rajungan tersebut, padahal aturan itu dinilai justru dapat menghambat budidaya lobster dalam negeri jika diterapkan.
Syarat 5 gram itu dipasang, alasannya untuk mengoptimalkan budidaya serta melindungi nelayan dan pembudidaya dari kerugian lantaran benih bening lobster (BBL) berat di bawah 5 gram mudah mati akibat rentan terhadap perubahan suhu, cahaya dan salinitas air laut.
Alasan tersebut sepertinya tidak tepat, karena berdasarkan informasi yang berhasil dihimpun media ini, BBL justru memiliki daya tahan lebih kuat dibanding benih ukuran di atas 5 gram. BBL lebih kuat terhadap perubahan kondisi lingkungan tersebut. Alasan itu bahkan terdengar dangkal dan terkesan sangat dipaksakan.
Menurut mantan peneliti di Balai Besar Budidaya Laut Gondol, Buleleng Bali, Gede S. Sumiarsa menerangkan bahwa BBL lebih kuat terhadap perubahan lingkungan, dibandingkan dengan benih ukuran di atas 5 gram yang menurutnya lebih mudah stress dan mengalami kematian.
“Ukuran 5 gram ke atas (benih lobster) cenderung lebih mudah stress dan mati. Kita belum tau teknologi membawa berat 5 gram ke atas itu agar kematiannya rendah. Sama halnya dengan ikan, misalnya nener (bibit ikan Bandeng, red) jauh lebih mudah dibawa daripada bawa yang sudah 2 bulan atau 3 bulan, lebih mudah stress dan mati,” ujarnya dihubungi di Bali, Jumat 6 Agustus 2021.
Selain justru lebih riskan mati, lalu-lintas atau pengiriman benih ukuran di atas 5 gram menurutnya juga lebih merugikannya dari sisi biaya pengiriman. Biaya yang dibutuhkan lebih mahal karena ukuran benih lebih besar sehingga membutuhkan volume tempat yang lebih besar juga.
“Kalau BBL itu bahkan bisa pakai dikirim tanpa air, hanya dengan medium basah, misalnya hanya pakai pasir basah dimasukan dalam botol plastik itu BBL bisa tahan,” ungkapnya.
Kemudian, kondisi yang paling menghambat budidaya lobster dalam negeri jika aturan tersebut diterapkan, menurutnya, faktor tidak semua daerah yang terdapat sumber daya benih lobster dapat dilakukan budidaya, dan begitu juga sebaliknya. Maka adanya aturan itu dinilai akan sangat mempersulit dan menghambat budidaya lobster dalam negeri.
“Itu (syarat lalu lintas benih 5 gram) kurang mendukung budidaya lobster di Indonesia, karena tempat dimana ada BBL itu biasanya belum tentu cocok untuk budidaya. Misal benih dari Lombok, benih harus dibesarkan di Lombok sampai 5 gram, itu jelas sangat mempersulit,” sebutnya.
“Benur ini kan bukan narkoba. Harusnya kan boleh saja, misalnya di Aceh ada benur kita bawa budidaya di Lampung. Yang kita benar-benar cegah itu tidak boleh dibawa ke luar negeri,” tegasnya.
Ia juga menuturkan, dalam setiap pengungkapan kasus penyelundupan BBL ke Vietnam oleh pihak aparat dapat dilihat metode pengiriman yang digunakan pelaku penyelundup hanya menggunakan medium plastik berisi air dimasukan kedalam box atau tas.
Berkat benih-benih selundupan tersebut, Vietnam yang menurutnya benih lobsternya 80% suplainya bergantung dari negara Indonesia dikatakan dapat berhasil dan menjadi pengekspor lobster dunia.
“Tetapi coba kita lihat budidaya di Vietnam, ini masih jalan terus masih jalan saja. Berarti kan ini penyelundupan masih jalan terus, itu memang dimana mereka dapat benur (BBL) kan dari Indonesia. Karena 80 persen benur di Vietnam itu dari Indonesia datangnya, sampai sekarang,” tandasnya.
Hal senada diungkapkan Rahmansyah, perwakilan forum nelayan tangkap BBL Jawa Timur. Rahmansyah mengaku heran. Jika alasan BBL rentan mati itu benar, artinya KKP justru membebankan kerugian dari kematian BBL kepada nelayan yang notabene mayoritas hidupnya masih susah, terlebih akibat dampak Covid-19 yang terjadi.
“KKP mengatakan pembesaran benur di bawah 5 gram hingga mencapai berat 5 gram merupakan fase paling kritis. Rentan mati akibat perubahan suhu, cahaya dan salinitas. Tingkat kemungkinan hidupnya dikatakan di bawah 30%. Trus kami harus besarkan hingga 5 gram baru bisa dijual, berati KKP bebankan resiko itu ke kami, dong,” cetusnya.
Alasan yang diungkap KKP-pun dinilai bertolak belakang dengan realita lapangan selama ini. Sudah menjadi rahasia umum penyelundupan BBL Indonesia ke Vietnam terbukti dapat membuat budidaya Vietnam sukses. Jelas, antara Vietnam dan Indonesia berbeda negara, bukan hanya berbeda wilayah. Jadi, jika meminjam asumsi KKP, maka sangat berbeda suhu, cahaya dan salinitas air laut.
“Halo, kemana saja KKP selama ini. Masak KKP gak tau soal ini,” sindirnya.
Iapun khawatir, jika aturan ini tetap dipaksakan akan mengurangi niat para nelayan menjual BBL ke pembididaya dalam negeri dan justru membuat praktik jual beli BBL jalur kiri (penyelundupan) menguat.
“Kalau memang mau majukan budidaya lobster dalam negeri dan menjadi produsen lobster terbesar dunia, buat aturan semudah-mudahnya untuk pembudidaya dan nelayan. Bebaskan mereka membeli dan menangkap BBL dimana saja. Dan bantu dengan teknologi, permodalan dan pemasaran, itu baru bisa cepat,” tegasnya.
Dengan demikian alasan diungkap KKP dalam rilis persnya, Rabu 4 Agustus 2021, mengatakan BBL rentan terhadap perbedaan suhu, cahaya dan salinitas air, spertinya itu tidaklah benar. Bahkan, niat aturan itu dibuat yang katanya untuk menggejot upaya budidaya Lobster dalam negeripun jadi terlihat seperti sebuah halusinasi. (BB/511)