Terancam Eksekusi, Puluhan Warga Penglatan Tuntut Keadilan
Singaraja | barometerbali – Puluhan warga Desa Penglatan, Kecamatan/Kabupaten Buleleng melakukan aksi penolakan eksekusi tanah dan bangunan pada Jumat (10/9) sekitar pukul 09.00 pagi. Mereka bergerak secara spontanitas memasang spanduk penolakan di sejumlah fasilitas publik, seperti setra (kuburan) lapangan umum, balai banjar (dusun) termasuk Kantor Perbekel Desa Penglatan yang merupakan objek tanah yang terancam dieksekusi.
Pantauan, sedikitnya terdapat 8 (delapan) spanduk penolakan dengan ukuran bervariasi terpasang di kantor pelayanan publik masyarakat Desa Penglatan yang dibangun dua (2) lantai seluas kurang lebih 300 meter persegi. Dimana Kantor Desa pertama kali dibangun tahun 1982 itu, lokasi persisnya berada di depan SMP Negeri 5 Singaraja.
Usut punya usut, aksi penolakan itu dipicu terbitnya Putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 738 PK/Pdt/2019 tertanggal 4 Oktober 2019. Dalam keputusan itu berbunyi mengabulkan gugatan Supama Cs (ahli waris alm Nengah Koyan) di atas lahan sengketa seluas 300 meter persegi (3 are) merupakan bagian tanah seluas lebih kurang 1900 meter persegi dalam Sertifikat Hak Milik Nomor 113 atas nama Nengah Koyan.
Tak pelak, putusan MA itu memicu kekhawatiran masyarakat setempat. Mereka khawatir kantor desa itu, bakal dieksekusi. Kini mereka pun menuntut keadilan.
Wayan Someadnyana selaku tokoh masyarakat meyebut, aksi damai penolakan dilakukan secara spontanitas.
“Kami (masyarakat Desa Penglatan) sangat menghormati Putusan MA karena kita sebagai warga negara wajib mentaati hukum yang berlaku. Namun, boleh dong kami menuntut keadilan. Nah, keadilan yang kami maksud itu, terdapat kejanggalan dalam putusan berbunyi menyerahkan tanah sengketa dengan segala sesuatu diatasnya termasuk bangunan kepada penggugat (Supama Cs). Gedung Kantor Desa Penglatan itu kan dibangun atas keringat dan jerih payah masyarakat Penglatan, baik swadaya ataupun anggaran dari pemerintah daerah kabupaten juga provinsi. Ini putusan yang kami sangat sayangkan, dan kami sebut tidak adil,” ungkap Someadnyana.
Pun, Someadnyana bersama sejumlah tokoh desa Pengalatan sejatinya sudah berjuang habis-habisan agar bangunan kantor bersejarah itu tetap utuh milik masyarakat Desa Penglatan, bukan jadi milik perorangan.
“Sekuat tenaga kami telah berjuang, ya sampai saat ini. Kami terus lakukan komunikasi dan kordinasi dengan Pemkab Buleleng juga Pemprov Bali mengupayakan secepatnya dana pengganti kepada penggugat sebesar Rp1,2 miliar,” terangnya.
Meski begitu, rupanya upaya sejumlah tokoh masyarakat itu, terkendala regulasi penganggaran yang berpotensi jadi kerugian negara.
“Jika tanah dan bangunan dibayar oleh pemerintah menggunakan anggaran APBD (uang negara) maka akan menimbulkan double accounting (kerugian negara) dan berpotensi jadi temuan dangan konsekuensi Pidana. Ya, bangunan itu dulunya kan dibangun menggunakan uang negara,” pungkasnya. (BB/508)