Made Pria: Menjaga Otentisitas Akta Notaris dari Kebatalan
Tanggung Jawab Notaris dalam Pembuatan Akta Otentik.
Denpasar | barometerbali – Ada asumsi dan persepsi seorang notaris tidak dapat berinisiatif sendiri tanpa permintaan para pihak adalah benar. Artinya, keterangan untuk pembuatan “akta pihak” diperoleh dari keterangan para penghadap. Oleh karena bisa dikatakan “Akta Pihak” memberi bukti bahwa apa yang di muat di dalam akta benar adalah keterangan yang diberikan penghadap kepada notaris, tetapi apakah benar demikian kenyataannya bukan merupakan tanggungjawab notaris.
Lalu bagaimana soal teknis pembuatan, atau seperti apa kebiasaan urutannya? Jawabannya, sederhana. Menurut Notaris Senior Dr. I Made Pria Dharsana. SH. M.Hum, notaris sebagai pejabat umum wajib mencantumkan di dalam awal akta atau kepala akta kebenaran dilaksanakannya pembuatan Akta Notaris yang merupakan fakta hukum sebagai kenyataan yang terjadi.
Adapun urutan tidak diwajibkan, asalkan di dalam Kepala Akta memuat fakta sebagaimana diharuskan di dalam Pasal 38 ayat (2) UUJN 2014.
Kenyataan di dalam praktik, lanjut Dosen Notariat Universitas Warmadewa (Unwar) Bali ini, kebiasaan mencantumkan urutan penyebutan fakta yang dilakukan di dalam praktek adalah judul akta, nomor akta, hari, tanggal, bulan tahun dan jam. Lalu, kalau terjadi kelalaian, notaris tidak mengkonstatir tidak sesuai dengan fakta merupakan pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 38 UUJN.
Tentu saja menurut Made Pria, hal tersebut berakibat akta kehilangan otentisitasnya dan hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan apabila ditandatangani para pihak (pasal 41 UUJN) atau batal apabila perbuatan hukum tersebut harus dibuat dalam bentuk akta otentik. Karena, keberadaan akta notaris tidak bisa terlepas dari notaris itu sendiri, dalam Pasal 1868 KUH Perdata disebutkan bahwa suatu akta otentik adalah suatu akta yang didalam bentuknya ditentukan oleh Undang- Undang dan dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat dimana akta itu dibuatnya.
Masih dilansir dari sabakota.id edisi Senin (2/9/2021), Notaris Werda asal Bandung Dr. Herlien Budiono. SH, dalam bukunya yang berjudul “Demikianlah Akta Ini” pada halaman 4 (alenia kedua), menyebut bahwa, namun demikian bukan berarti notaris bebas tanggungjawab terhadap isi akta atau dengan dalih bahwa pembuatan aktanya adalah “Atas Kemauan para Pihak Untuk Dicantumkan Dalam Akta”.
Dr. Herlien Budiono mengingatkan bahwa notaris bukan juru tulis kliennya. Oleh karena itu notaris perlu mengkaji apakah yang diminta para pihak tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan , kesusilaan dan ketertiban umum. Semua harus didasari oleh logika hukum, demikian Herlien dalam tulisannya.
Verlejden
Berdasarkan pasal tersebut di atas ada beberapa unsur dari akta otentik yaitu : Akta itu dibuat dan diresmikan (verlejden) dalam bentuk menurut hukum, Akta itu dibuat oleh atau di hadapan pejabat hukum dan Akta itu dibuat oleh pejabat yang berwenang untuk membuatnya di tempat di mana akta itu dibuat, jadi akta itu harus dibuat ditempat pejabat yang berwenang (Soegondo Notodisoerjo, 1993: 42).
“Frasa menghadap kepada saya, hadir di hadapan saya, atau berhadapan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, menghadap diartikan datang bertemu dengan, datang menjumpai, datang ke atau bertemu muka dengan. Jadi, silahkan saja tinggal dipilih oleh rekan-rekan frasa mana yang mau dipilih,” ujar Made Pria. yang juga Dewan Pakar dan Mahkamah Perkumpulan di Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia (PP INI).
Ditegaskan Made Pria, frasa “di tempat dimana akta dibuat” dalam Pasal 1868 KUHPerdata, berhubungan dengan tempat kedudukan notaris, bahwa notaris mempunyai tempat kedudukan di wilayah kabupaten atau kota (Pasal 18 ayat (1) UUJN). Wilayah jabatan notaris meliputi seluruh wilayah provinsi dari tempat kedudukannya (Pasal 18 ayat (2) UUJN).
Mengenai apakah akta notaris dikatakan sebagai alat bukti otentik? Jawabannya. Iya, tapi jika akta notaris tersebut dibuat sesuai atau memenuhi persyaratan kumulatif sebagaimana dipersyaratkan dalam Pasal 1868 KUHPerdata. Akan tetapi jika salah satu saja tidak terpenuhi, maka akta notaris tersebut terdegradasi menjadi hanya sebagai akta di bawah tangan. Akta otentik berdasarkan Pasal 1868 KUH Perdata adalah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat.
“Pasal 16 ayat (1) huruf m Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (UU 2/2014) mengatur bahwa salah satu kewajiban notaris dalam menjalankan jabatannya adalah, “membacakan akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling sedikit 2 (dua) orang saksi, atau 4 (empat) orang saksi khusus untuk pembuatan akta wasiat di bawah tangan, dan ditandatangani pada saat itu juga oleh penghadap, saksi, dan notaris,” terang Made Pria yang juga salah satu pendiri Perkumpulan Pemerhati Pertanahan dan Agraria Terpadu Indonesia (P3ATI).
Hal ini lanjut Made Pria, ditegaskan kembali dalam Pasal 44 ayat (1) sampai (4) UU 2/2014 yang berbunyi: Segera setelah Akta dibacakan, Akta tersebut ditandatangani oleh setiap penghadap, saksi, dan notaris, kecuali apabila ada penghadap yang tidak dapat membubuhkan tanda tangan dengan menyebutkan alasannya; Alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan secara tegas pada akhir Akta.
Dalam pembuatan akta otentik, lanjut Made Pria penandatanganan akta merupakan bukti bahwa akta itu mengikat bagi para pihak sehingga penandatanganan merupakan syarat mutlak bagi mengikatnya akta tersebut. Selain dilakukan pada pembuatan akta otentik, proses penandatanganan di hadapan notaris juga berlaku bagi pembuatan akta di bawah tangan yang dilegalisasi sebagaimana diatur dalam Pasal 15 ayat (2) huruf a UU 2/2014.
Itu pula yang kemudian ditegaskan oleh Notaris – PPAT Kabupaten Badung, Bali ini bahwa pada dasarnya, manfaat dari penandatanganan akta itu sendiri adalah, pada saat-saat terakhir dalam proses meresmikan (varlijden) akta, notaris masih diberi kesempatan untuk memperbaiki kesalahan-kesalahannya sendiri yang sebelumnya tidak terlihat. Dan para penghadap pun diberi untuk bertanya apa yang kurang jelas bagi mereka.
Oleh karenanya lanjut Notaris PPAT Kabupaten Badung ini, dalam pembuatan akta baik otentik maupun akta di bawah tangan yang dilegalisasi penandatangannya wajib dilakukan di hadapan notaris, maka secara normatif tidak dimungkinkan apabila dilakukan secara sirkuler, yaitu tanpa kehadiran salah satu pihak ataupun salah satu pihak tidak dapat menghadap di waktu yang bersamaan.
Pendapat senada juga disampaikan oleh Anggota Dewan Kehormatan PP INI Periode 2019 – 2021, Badar Baraba. SH. MH, bahwa pada prinsipnya akta Notaris itu mensyaratkan kehadiran fisik yang dibuktikan dengan identitas diri dari para penghadapnya.
“Saya rasa kalau dijalankan secara normatif pastinya tidak akan menimbulkan masalah. Karena pada dasarnya akta otentik itu menuntut penghadapan dari para pihak, baik itu datang sendiri ataupun diwakili (melalui surat kuasa). Namun demikian, Notaris mesti meneliti identitas para pihak apakah ada hubungannya tidak dengan subyek dan obyeknya,” terang Badar yang di hubungi via seluler pada (28/7) lalu. (BB/501/Pramono/AW)