Jaksa Tak Mampu Tunjukkan Uang Sitaan Rp21,9 Juta

Denpasar | barometerbali – Sidang kasus dugaan korupsi rumbing Jembrana terus berlanjut yang melibatkan terdakwa mantan Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Jembrana I Nengah Alit dengan agenda konfrontir saksi-saksi. Namun dalam sidang Penasihat Hukum (PH) terdakwa Gede Ngurah, SH menyayangkan, dalam pengungkapan kasus ini dari awal sampai akhir persidangan Jaksa Penuntut Umum (JPU) I Wayan Yuda Satria, SH belum sama sekali menunjukkan uang sitaan senilai Rp21,9 juta dilakukan penyidik polisi di persidangan agenda mengkonfrontir keterangan saksi, terdakwa dan penyidik, di Pengadilan Negeri (PN) Tipikor Denpasar, Kamis (4/11/2021).
“Kasus korupsi pengadaan rumbing, seharusnya penyidik pada tingkat penyelidikan dengan adanya beberapa penikmat uang negara yang berjumlah Rp298 juta lebih diminta untuk dikembalikan, bukan hanya terhadap penerima yang nilainya sebesar Rp21,9 juta. Catatannya siapa yang menerima jelas berjumlah Rp298 juta dan ketika itu diminta kepada semua pelaku untuk dikembalikan tidak ada negara dirugikan. Dalam kasus ini malah terdakwa Nengah Alit sendiri sama sekali tidak terlibat sebagai pihak penerima dan penikmat,” bebernya.
Lebih lanjut, Gede Ngurah mengatakan yakin pada pendapat ahli yang disampaikan dalam sidang sebelumnya, dimana menurutnya, faktanya telah terjadi pendelegasian dari terdakwa Nengah Alit, mantan Kadisparbud Jembrana selaku Pengguna Anggaran (PA) kepada Putu Sutardi (almarhum) saat itu Kabid Kebudayaan Disparbud Jembrana sebagai Kuasa Pengguna Anggaran (KPA).
“Pertama kami tetap berpegang pada pendapat ahli bahwa faktanya PA (Nengah Alit, red) sudah mendelegasikan kepada KPA (almarhum Putu Sutardi). Kedua, faktanya tidak ada satu pun dari begitu banyak saksi mengatakan Nengah Alit menerima uang. Dan ketiga, apa pun upaya dilakukan jaksa mengaitkan pertemuan Nengah Alit hanya sekali dengan pengrajin rumbing yakni saksi Eka adalah asumsi dan tidak ada bentuk komitmen atau niat merugikan negara lantaran sudah didelegasikan. Ini sangat jelas terungkap dalam persidangan dari awal sampai terakhir,” terang Gede Ngurah SH sebagai koordinator PH yang mantan aktivis buruh di era Orde Baru.

Seperti diberitakan sebelumnya, Ahli hukum pidana dari Universitas Udayana (Unud) Dr I Gusti Ketut Ariawan SH MH, pada sidang Kamis, (28/10/2021) Gusti Ketut Ariawan berpendapat, apabila kewenangan sudah didelegasikan berarti PA tidak punya tanggung jawab atau tanggung gugat. Sangat jelas kewenangan diperoleh KPA adalah secara delegasi artinya pendelegasian wewenang.
“Jika sudah dilegantori itu berarti dia tidak bertanggung jawab lagi dari segi hukum administrasi negara. Misalnya, ada 5 (lima) orang 1 (satu) meninggal, ya satu ini gugur hak kita untuk menuntut, PA itu sebetulnya sudah mendelegasikan. Unsur pasal-pasalnya juga harus betul, harus berdasarkan fakta. Bukan hanya asumsi semata mendakwa orang,” terang Gusti Ketut Ariawan saat itu.
Disinggung mengenai jika ada vonis hakim berdasar hanya asumsi menghukum seseorang, Gusti Ketut Ariawan mengatakan, itu tidak mungkin terjadi. Menurutnya, hakim memberi putusan pastinya disertai dengan bukti berdasar fakta kesaksian di persidangan. “Oh tidak bisa pak, itu menyangkut nasib orang soalnya. Harus dibuktikan itu. Selanjutnya, hakim yang menilai,” pungkasnya.
Gede Ngurah SH juga menyayangkan kliennya tidak dapat dihadirkan secara langsung oleh jaksa penuntut umum.
Dalam persidangan tersebut, kedua terdakwa, Nengah Alit dan Ketut Kurnia Artawan alias Celongoh hanya dihadirkan secara daring dari Polsek Mendoyo. Sedangkan, dua saksi dan empat penyidik hadir di persidangan secara langsung.
“Yang paling kita sayangkan ketidakhadiran terdakwa secara langsung di persidangan. Jaksa tidak ada upaya. Dampaknya ada hal-hal yang terganggu, seperti pendengaran yang kurang, gestur tubuh yang tidak terlihat. Kalau jaksa kemarin bisa menghadirkan semua saksi-saksi, kenapa tidak bisa menghadirkan terdakwa. Logikanya harusnya terdakwa bisa dihadirkan,” ujar Gede Ngurah SH, usai persidangan.
Atas tidak dihadirkannya terdakwa secara langsung di persidangan itu, pihaknya mengaku keberatan. “Kita menyatakan keberatan, dan itu sudah dinyatakan dicatat oleh hakim. Keberatannya dicatat,” tegasnya.
Ditambahkan Gede Ngurah mengutip makalah Vega Christian Pratama, Louis Tappangan dari
Prodi Peradilan, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, yang berjudul “Restorative Justice dalam Tindak Pidana Korupsi”, bentuk restorative justice dalam tindak pidana korupsi adalah berupa pengembalian seluruh hasil tindak pidana korupsi beserta segala bentuk keuntungannya apabila terdapat keuntungan yang diperoleh pelaku tindak pidana korupsi. Pengembalian tersebut dapat dilakukan pada tahap sebelum dilakukannya penyelidikan, pada saat penyelidikan, pada saat penyidikan sampai pada tahap pemeriksaan di pengadilan.
“Diterapkannya restorative justice dalam tindak pidana korupsi membawa dampak positif
bagi negara. Negara menjadi tidak terbebani untuk mengeluarkan anggaran negara untuk memproses dan memelihara pelaku tindak pidana korupsi yang ditahan atau dipidana dengan memberi makan serta minum kepada pelaku tindak pidana korupsi,” terangnya.

Di tempat terpisah di sela-sela kunjungan ke Pengadilan Negeri Agama Denpasar, Jumat (5/11) Ketua Mahkamah Agung (MA) Prof Dr HM Syarifuddin, SH MH, saat ditanya wartawan terkait pandangannya mengenai “restorative justice,” dalam sistem peradilan tindak pidana korupsi menyatakan umumnya untuk perkara yang skupnya kecil. “Ya restorative justice itu kan umumnya untuk perkara yang kecil-kecil, tapi bukan berarti perkara yang besar tidak boleh restorative justice. Jadi itu kan hal-hal yang meringankan saja. Dia tidak bisa menghentikan perkara. Perkaranya harus tetap jalan seperti biasa,” tandas Ketua MA. (BB/501/tim)