Saturday, 20-04-2024
Hukum

Notaris Dikriminalisasi, Mana Tindaklanjut MoU PP INI dan Polri?

Badung | barometerbali – Akhir-akhir ini kerap terjadi dugaan “kriminalisasi” terhadap pejabat Notaris. Hal itu dibuktikan dari makin banyaknya persidangan terkait kasus-kasus dugaan pelanggaran tindak pidana di pengadilan yang menjerat oknum Notaris sebagai tersangkanya.

Putusan sidang Peninjauan Kembali (PK) yang mengabulkan permohonan Notaris asal Badung, Bali Ketut Neli Asih, SH No.20/PK/Pid/2020 dan dugaan pengabaian pasal 66 ayat (1) UU No. 2 tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.

Di sana disebutkan bahwa terkait pemeriksaan Notaris dalam proses peradilan harus melalui persetujuan Majelis Kehormatan Notaris (MKN) dan Peraturan Kepala Kepolisian RI (PerKap) No.6 tahun 2019 oleh penyidik Kepolisian pada kasus yang yang dihadapi Notaris WDW juga asal Badung, Bali mengisyaratkan lemahnya sosialisasi dan implementasi Pedoman Pelaksanaan atas MoU PP INI dan Polri.

Terkait dengan kasus ini, Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia (PP INI) sebagai satu-satunya wadah yang menaungi Notaris di seluruh Indonesia telah mengambil langkah yang dianggap dapat meminimalisir kejadian yang menimpa anggotanya yang terjerat kasus hukum dan terpaksa harus duduk di “kursi pesakitan” dengan cara melakukan penandatangan Nota Kesepahaman atau Memorandum of Understanding (MoU) dengan pihak penyidik Kepolisian Republik Indonesia (Polri).

Sosialisasi MoU INI dan Bareskrim Polri di Palembang, Sumatera Selatan (1/11/2021)

Latarbelakangnya, mengingat Notaris dalam menjalankan tugas dan jabatannya diatur dan dilindungi secara khusus oleh Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN) sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 66 ayat (1) UU No. 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, bahwa terkait pemeriksaan Notaris dalam proses peradilan harus melalui persetujuan Majelis Kehormatan Notaris (MKN).

Apalagi diberitakan sebelumnya, Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia (PP INI) bersama Polri telah menyelesaikan pedoman kerja sebagai langkah melindungi kepentingan Notaris yang berhadapan dengan hukum. Pedoman kerja tersebut dirumuskan dalam rapat yang digelar pada 17, 18 dan 19 November 2020 yang dipimpin langsung Sekretaris Umum PP INI Tri Firdaus Akbarsyah SH, MKn. Pedoman kerja itu sendiri merupakan pelaksanaan atau tindak lanjut dari MoU antara PP INI dengan Polri yang dibuat pada tahun 2019 lalu.

Diketahui pula pada 1 November 2021, berbarengan dengan acara Seminar Nasional tentang Online Single Submission Risked Based Approach (OSS RBA), dilakukan pula sosialisasi MoU antara PP INI dengan Polri oleh Ketum PP INI Yualita Widyadhari, Sekum PP INI Tri Firdaus Akbarsyah bersama jajarannya yang dihadiri langsung oleh Kapolda Sumsel, Irjen. Pol. Drs. Toni Harmanto.

Notaris senior Dr I Made Pria Dharsana, SH MHum saat perbincangan dengan redaksi Kamis (11/11/2021) memberikan tanggapan dan pandangannya, bahwa dengan adanya MoU antara PP INI dengan Kapolri sebelumnya, dan pedoman pelaksanaan yang sudah ditandatangani bersama Bareskrim Polri dan PP INI mesti ditindaklanjuti dengan sebaik-baiknya dan disosialisasikan, agar penyidik di seluruh Indonesia dapat memahami melaksanakan jabatannya sebagai penyidik dengan Standard Operating Procedure (SOP) atau prosedur operasi standar dengan benar, serta dapat menghargai Notaris dalam melaksanakan jabatannya sebagai Pejabat Umum berdasarkan UUJN.

“Mestinya penyidik tetap mengedepankan asas Praduga Tidak Bersalah, bukan sebaliknya. Bahwa dalam pelaksanaan jabatannya, Notaris harus berpegang teguh dan mematuhi ketentuan yang tertuang dalam Pasal 15, 16, 38, 39, 40 dan 44 UUJN. Jika pun kemudian terjadi sengketa karena adanya ketidak patuhan diantara para pihak memenuhi kewajibannya, maka akta otentik akan menjadi alat bukti yang sempurna yang dipergunakan dan mengikat para pihak, sebagaimana ketentuan Pasal 1315 jo Pasal 1340 KUHPer,” terang Dr Made Pria yang menjabat Ketua Bidang Peraturan dan Perundangan PP INI 2016-2019.

Selanjutnya Dosen Prodi Magister Kenotariatan Universitas Warmadewa, Bali yang kerap dimintai keterangannya selaku ahli di bidang Hukum dan Kenotariatan dalam persidangan-persidangan yang melibatkan Notaris itu pun mengatakan, bahwa menyangkut Notaris sebagai saksi pejabat yang telah menjalankan jabatannya berdasarkan UUJN. Dengan demikian tidaklah dapat serta merta ditarik sebagai pihak yang turut serta dalam persoalan hukum para pihak, baik yang menyangkut Pasal 263, 264, 266 serta pasal 55 KUHP.

“Oleh karena hukum tumbuh dan berkembang dalam kehidupan masyarakat. Sedangkan begitu hukum dikodifikasikan, hukum diundangkan, pada saat itu hukum ketinggalan zaman,” ujarnya mengutip pernyataan Prof Satjipto Rahardjo.


Maka dari itu menurutnya, UUJN 2 tahun 2014 sebagai perubahan atas UUJN 30 tahun 2004 haruslah dimaknai sebagai lex spesialis derogat lex generalis atas KUHP. Di mana setiap pelaksanaan jabatan atas perintah UU tidaklah dapat dipidana sesuai pasal 50 KUHP.

Bunyi pasal dalam 50 dan 51 KUHP

Kecermatan dan pendalaman penyidik sangat dibutuhkan dalam mengkaji ada tidaknya keterlibatan oknum Notaris memasukan keterangan palsu ke dalam akta otentik sehingga dapat dianggap oknum Notaris turut serta melakukan perbuatan hukum yang berakibat tindak pidana. Jika ada keterangan, bukti identitas, bukti obyek perjanjian yang kemudian ternyata palsu haruslah ada mens rea (sikap batin pelaku ketika melakukan tindak pidana, red). Pada negara-negara yang menganut civil law terdapat sebuah asas yang berbunyi “green straf zonder schuld” (tiada pidana tanpa kesalahan), sedangkan pada negara dengan sistem hukum common law dikenal maxim yaitu ”actus reus”, yang artinya “actus non facit reum, nisi mens sit rea”, atau sesuatu perbuatan tidak dapat membuat seseorang menjadi bersalah kecuali bila dilakukan dengan niat jahat. Asas dan Maxim tersebut menekankan pentingnya kesalahan atau mens rea sebagai syarat dalam penjatuhan pidana.

“Berdasarkan asas itu dipidananya seseorang tidaklah cukup hanya dengan membuktikan perbuatan yang memenuhi rumusan delik dalam undang-undang, namun para penegak hukum juga harus menemukan bahwa orang yang melakukan perbuatan tersebut memiliki kesalahan,” tandas Made Pria yang saat ini menjabat Dewan Pakar PP INI dan anggota Mahkamah Perkumpulan INI.

Sebagai sebuah pandangan, dalam implementasinya para penegak hukum seringkali mengesampingkan dan bahkan tidak mempertimbangkan mens rea atau kesalahan sebagai syarat pemberian atau penjatuhan pidana.

Perspektif Intepretasi dari sudut pandang masyarakat awam, haruslah jelas dan terang tentang niat melakukan perbuatan jahat dari oknum Notaris tersebut, jika tidak ada niat melakukan perbuatan jahat maka oknum Notaris tidak dapat dikatakan turut serta dan dipersalahkan apalagi tidak terpenuhinya mens rea.

“Yang perlu dipahami adalah bahwa seluruh isi akta otentik tersebut menjadi tanggung jawab para pihak itu sendiri. Karena isi yang tertuang dalam Akta Otentik adalah kehendak para pihak, bukan kehendak Notaris,” sambung Made Pria Dharsana.

Adanya MOU antara PP INI dengan Kapolri merupakan sesuatu yang sangat penting dan patut diapresiasi agar dapat saling menghargai dan menempatkan posisi masing masing antara Notaris dan Penyidik Polri dalam melaksanakan kewenangannya. Saling menghargai dan saling menghormati dalam proses pemeriksaan, penyidikan dan penyelidikan oleh penyidik haruslah didasarkan atas perlindungan bagi Notaris dalam melaksanakan jabatannya.

“Sehingga tidak ada kesan Notaris selalu dipersalahkan dan dijadikan target untuk diturutsertakan melakukan tindak pidana. Tidak kembali terulang adanya kriminalisasi terhadap Notaris,” pungkasnya.

Pada kesempatan lain, terkait dugaan kriminalisasi, Notaris Dr. Dewi Tenty Septi Artiany, SH, MH, MKn saat bincang bareng awak media di Kuta pada Minggu (30/10) lalu, menjelaskan pihaknya mempunyai tugas untuk mengedukasi, kemudian menyamakan persepsi dan menyosialisasikan hal-hal yang menurut profesi Notaris harus diketahui, harus ditanggapi dan dicermati. “Untuk kasus rekan Neli sendiri adalah bagaimana kita menyikapi suatu kejadian yang sudah terbukti kriminalisasi, dan kita membuat supaya mereka itu tidak melakukan hal yang sama, baik kita selaku Notaris ataupun aparat,” terang Dewi Tenty yang juga Koordinator Kelompok Notaris Pendengar Pembaca dan Pemikir (Kelompencapir) ini.

Dewi Tenty (kiri) dan Made Pria Dharsana (kanan) saat bincang-bincang dengan awal media belum lama ini

Kemudian jikalau hakim di pengadilan memutuskan yang bersangkutan tidak terbukti bersalah, pihaknya juga mengupayakan agar negara bisa memberikan rehabilitasi nama baiknya. “Bukan main-main ini ya. Karena kita tahu ya, kalau ada orang tertimpa masalah, kemudian terbukti dinyatakan tidak bersalah, itu rehabilitasinya negara tidak menyediakan. Nah itulah fungsi kita, supaya akhirnya hal-hal seperti itu bisa di-announce ke teman-teman (notaris, red), mana yang betul, mana yang tidak betul. Dan jika terbukti tidak bersalah di pengadilan maka psikologis, harkat dan martabatnya harus dikembalikan sebagai seorang notaris,” tutur pemerhati koperasi dan UMKM ini. (BB/501)

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button