Dijadikan Tersangka, Warga Dauh Pala Ajukan Penangguhan Penahanan
Denpasar | barometerbali – Penetapan tersangka kepada 6 orang warga Dauh Pala, Kec/Kab Tabanan oleh Kejaksaan Tinggi Bali atas tuduhan korupsi dan menguasai aset negara membuat heran ahli waris tanah hak milik (alm) Men Ngales. Demikian terungkap saat keluarga tersangka menyampaikan keterangan pers di Denpasar, Kamis (18/11/2021).
Mereka dijerat dengan sangkaan melanggar ketentuan pasal 2 ayat (1) UU No.31 Tahun 1999 yang diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 KUHP.
Bahkan Kejaksaan Tinggi (Kejati) Bali, telah melakukan pelimpahan tersangka dan barang bukti perkara tindak pidana korupsi terhadap aset negara berupa tanah kantor Kejari Tabanan kepada Penuntut Umum Kejaksaan Tinggi Bali, Senin (15/11/2021).
Padahal pihak ahli waris sepenuhnya yakin bahwa lahan yang selama ini dikuasai adalah hak milik leluhurnya dan ironisnya berdasarkan fakta telah terjadi kesalahan lokasi objek lahan dalam kasus ini.
“Jikalau memang pihak keluarga kami dituduh menyerobot tanah tersebut, maka silahkan dibuktikan secara hukum bagaimana proses peralihan hak menjadi Hak Pakai tersebut yang katanya merupakan hibah Gubernur Bali atas tanah tersebut pada saat itu, bagaimana jika ternyata penerapannya salah obyek lahan yang disasar,” kata Gito, Ahli Waris Men Ngales, di Denpasar, Selasa (16/11/2021).
Ia yang didampingi Kuasa Hukum tersangka I Gusti Ngurah Yogisemara, SH, merasa didzolimi dan berencana akan melakukan upaya penangguhan penahanan dengan jaminan dirinya beserta anak-anak tersangka yang lain. Mengingat para orang tua mereka adalah tulang punggung keluarga dan sudah mendekati perayaan Hari Raya Kuningan dalam waktu dekat.
Pengacara Yogisemara menjelaskan kronologi sejarah penguasaan tanah tersebut, bahwa para tersangka secara garis keturunan dan silsilah sekarang adalah ahli waris yang sah dari Alm. Men ngales yang sejak pendataan tanah (penglasiran) tahun 1944 memiliki sebidang tanah dengan No. Pipil 287, Persil 11, Kelas II dengan Luas 33,5 Are/0,335 Ha.
Dituturkan lagi, pada tahun 1970 di tanah Men Ngales tersebut pernah didirikan Kantor Kejaksaan Negeri Tabanan dengan luas bangunan kurang lebih 100 m2 dan sisa tanah selain kantor tersebut tetap dikuasai oleh ahli waris Men Ngales dan semua kewajiban pajaknya dibayar sampai sekarang.
“Terhadap bangunan kantor kejaksaan tersebut telah diajukan keberatan oleh para ahli waris Men Ngales saat itu tetapi tidak digubris oleh pemerintah. Sampai pada tahun 1983 Kantor Kejaksaan Negeri Tabanan tersebut dipindahkan dan bangunan tersebut dibiarkan terbengkalai,” ungkapnya
Sebelumnya pada tahun 1978 terjadi pendataan tanah (penglasiran) kembali di tanah tersebut, yang mengubah tanah tersebut dari persawahan menjadi perkotaan sehingga Pipil No. 287 atas nama Men Ngales berubah menjadi:
- Pipil No.786, Luas 786 m2 tetap atas nama Men Ngales.
- Jln Kutilang.
- Pipil No.931, Luas 1455 m2 atas nama Men Ngales.
- Pipil No.285, Luas 418 m2 atas nama Men Ngales.
Lebih lanjut Yogisemara menceritakan pada tahun 1988 tanpa sepengetahuan ahli waris Men Ngales ternyata Kantor Agraria Kab. Tabanan mengeluarkan Sertifikat Hak Pakai No.19 tahun 1988 atas nama Kantor Kejaksaan Tinggi Bali yang diperoleh atas nama penunjuk Hak Milik I Gst Cekeg, pipil No. 633, Persil 9 dengan Luas 90 m2.
“Hal ini menunjukkan bahwa Sertifikat Hak Pakai No.19 tahun 1988 tersebut obyek tanahnya bukan tanah yang dimiliki dan dikuasai oleh ahli waris Men Ngales. Sehingga apabila Kejaksaan Tinggi Bali atau Kejaksaan Negeri Tabanan mengklaim atau mengakui memiliki tanah berdasarkan Sertifikat Hak Pakai No. 19 tahun 1988 dengan menunjuk tanah Men Ngales sebagai obyek tanahnya tentunya adalah suatu tindakan yang salah alamat, seharusnya yang diakui adalah tanah milik I Gst Cekeg sesuai yang tertera di Sertifikat Hak Pakai tersebut,” beber kuasa hukum tersangka.
Sehingga menurutnya adalah tindakan yang tidak berdasar dan sewenang-wenang apabila para ahli waris Men Ngales sekarang yaitu para tersangka yang saat ini harus ditahan karena dituduh telah melakukan tindak pidana korupsi yang sampai merugikan negara miliaran rupiah.
“Seharusnya Pihak Kantor KejaksaanTinggi Bali dan Kantor Kejaksaan Negeri Tabanan harus memastikan dulu obyek tanah yang sebenarnya dari Sertifikat Hak Pakainya, melalui putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Jangan ujug-ujug mempidanakan rakyat kecil yang tidak berdaya yang sedang mempertahankan haknya,” demikian imbuh pihak keluarga para tersangka dalam kebingungannya.
Mereka merasa orang tuanya dikriminalisasi karena sebagai rakyat kecil merasa orang tuanya tidak mungkin melakukan korupsi sampai puluhan miliar rupiah sebagaimana yang dituduhkan.
Saat ini surat permohonan penangguhan penahanan sudah dikirimkan ke Kejari Tabanan. “Sampun (sudah) ke Kejari Tabanan yang melakukan perintah penahanan dan tembusannya ke Kejati Bali,” sambung Yogisemara.
Sebelumnya sebanyak enam tersangka inisial IWA, IYM, INS, dan IKG, PM, serta KD, dilimpahkan tersangka dan barang bukti atas tindak pidana korupsi (Tipikor) terhadap aset negara berupa tanah Kantor Kejari Tabanan ke Penuntut Umum Kejaksaan Tinggi (Kejati) Bali).
Menurut Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati Bali A. Luga Harlianto, SH., M.Hum., bahwa pada (15/11) lalu pihak penyidik pada Kejati Bali menyerahkan tugas dan tanggung jawab enam tersangka dan barang bukti ke Penuntut Umum Kejati Bali.
Keenam tersangka kini masih ditahan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kerobokan, Kuta Utara, Badung. (BB/501)