Tuesday, 10-12-2024
Hukrim

Mafia Tanah dan Kriminalisasi Notaris-PPAT

Jakarta | barometerbali – Pemberitaan soal mafia tanah, hari-hari belakangan seperti air bah. Diledakkan oleh seorang selebritas. Dikoarkan secara sepihak, bergelombang-gelombang melalui corong pers. Semua mengaitkan dengan peran notaris-PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah).

Sempurna hempasan yang menimpa profesi pejabat umum ini. Tanpa mengindahkan asas praduga tak bersalah. Padahal, yang namanya mafia, pasti melibatkan banyak pihak dan instansi, termasuk instansi yang menerbitkan dan memelihara data pertanahan. Tetapi, yang dihajar lebih pada notaris-PPAT, sedang peran instansi yang menerbitkan legalitas tanah seolah diabaikan. Publik digiring dengan opini seolah-olah profesi notaris-PPAT-lah biang persoalan mafia tanah ini. Begitulah opini yang tampak diledakkan sehingga menjadi tsunami pemberitaan akhir-akhir ini.

Tak dipungkiri, mungkin ada notaris-PPAT yang tak menjalankan jabatan sesuai peraturan yang berlaku. Untuk pelaku yang memang seperti itu, pasti semua pihak mendukung untuk dilakukan penertiban, sanksi dan mungkin hukuman sesuai hukum yang berlaku. Pada semua profesi, ada saja memang “oknum”. Tapi menyebut dan menyamaratakan bahwa notaris-PPAT sungguh sebuah kekeliruan besar, trial by the press, trial by public figure. Vonis yang bisa menghancurkan harkat dan martabat notaris-PPAT.

Notaris-PPAT Dewi Tenty yang juga Insiator Kelompencapir

Mestinya para menteri, tokoh, penyidik dan pers dan masyarakat luas juga menyadari bahwa justru notaris-PPAT yang mencegah berlanjutnya aksi mafia tanah. Sebelum proses transaksi suatu jual beli, sudah menjadi kewajiban notaris-PPAT mengecek terlebih dahulu kebenaran yuridis obyek tanah dan bangunan. Soal perpajakan, kewenangan bertindak para pihak dan lain-lain yang diharuskan peraturan perundangan-undangan.

Ingatkah kasus mafia tanah yang menimpa ibunda mantan Wakil Menteri Luar Negeri? Justru aksi para penjahat mafia tanah dibongkar ketika mau diproses kantor notaris-PPAT. Ketika verifikasi dokumen, notaris-PPAT yang juga anggota Kelompencapir ini, menemukan beberapa kejanggalan, lalu dengan penuh keberanian berkordinasi dengan aparat hukum. Tak sampai dua jam, terbongkarlah kasus mafia tanah itu. Herannya, tak ada menteri, pers, tokoh publik yang menyorot peran hebat notaris-PPAT. Padahal telah mencegah aksi jahat para mafia tanah.

Sungguh kita apresiasi tinggi jika para pemimpin bangsa, menteri, tokoh publik dan pers agar berlaku adil dan obyektif. Menghargai peran positif notaris-PPAT. Bukan menyudutkan, menghancurkan harkat martabat dengan opini umum yang sesat bahkan mengkriminalisasinya.

Semakin banyaknya kasus kriminalisasi yang menimpa notaris-PPAT, di Jakarta dan sekitarnya dan di berbagai daerah, hanyalah puncak gunung es. Apabila kita telusuri lagi, pasti semakin banyak kasus serupa.

Hal ini salah satu sebabnya karena Undang-Undang Jabatan Notaris sendiri sebagai UU yang memayungi notaris sebagai pejabat umum, dinilai mengatur terlalu rinci tentang kewajiban dan larangan terhadap notaris sehingga menjadikan bumerang bagi notaris itu sendiri.

Atas dasar itu, sebuah grup keilmuan para notaris “Kelompencapir”(Kelompok Notaris Pendengar, Pembaca dan Pemikir), mengadakan diskusi via zoom Selasa, 23 November 2021 lalu. Temanya “Over Kriminalisasi Terhadap Pelaksanaan UUJN (Undang-Undang Jabatan Notaris)”.


Narasumbernya: Prof. Dr. Romli Atmasasmita, S.H., LLM, Guru Besar Hukum Pidana Unpad dan Prof. Dr. Marcus Priyo Gunarto, S.H., M.Hum, Guru Besar Hukum Pidana UGM. Pula berbicara mantan Hakim Agung Dr. Parman Suparman SH MH.

Diskusi yang dimoderatori
Dr. Dewi Tenty, S.H., M.H.,M.Kn,
Notaris Inisiator Kelompencapir itu dihadiri oleh nyaris 500 orang notaris&PPAT, praktisi hukum dari seluruh Indonesia, menelurkan poin-poin sebagai berikut:

  1. Asas ultimum remedium; hukum pidana hendaknya dijadikan upaya terakhir dalam penegakan hukum. Notaris&PPAT sebagai pejabat umum harus memberikan pelayanan hukum kepada masyarakat berdasarkan UUJN dan Peraturan Jabatan PPAT, seharusnya melaksanakan pekerjaannya lebih ke arah perdata, atau administrasi, bukan kepada hukum pidana.
  2. Di terapkannya “restoratif justice”yang merupakan alternatif dalam hukum pidana yang bertujuan utk membangun peradilan pidana yang peka tentang masalah korban, bukan penekanan pada hukuman.
  3. Harmonisasi antar lembaga makin penting, mengingat kini kian merebak biro jasa yang dibuat dengan KLBI yang sudah di tetapkan oleh BKPM tentang pengurusan badan hukum dan pertanahan yang notabene merupakan domain notaris-PPAT sebagai pejabat umum.
  4. Sinergi dari pengurus organisasi profesi dengan majelis pengawas notaris mulai dari tingkat daerah, wilayah sampai pusat, perlu lebih disinkronkan, agar pembinaan dan perlindungan kepada anggota optimal.
  5. UUJN sebagai payung hukum bagi notaris hendaknya dikaji kembali dengan merevisi pasal-pasal yang rentan terhadap pidana bagi Notaris. Harus pula segera proses legislasi UU tentang Pejabat Pembuat Akta Tanah.
  6. Tidak ada penyekatan hukum dalam prodi ilmu hukum karena semua ilmu hukum pada akhirnya akan saling berhubungan satu dengan yang lain.
  7. UUJN mengamanatkan notaris yang juga berfungsi sosial yaitu melakukan penyuluhan hukum kepada masyarakat sehubungan dengan pembuatan akta yang akan dibuat. Jangan sampai fungsi ini disalahartikan para penegak hukum dalam “twilight crime”, menjadikan notaris masuk ke dalam “meeting of mind”, menyuruh melakukan atau turut membantu melakukan.
  8. Perlunya dibuat suatu pemahaman antara notaris dengan lembaga penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan dan kehakiman untuk menyamakan persepsi tugas dan wewenang notaris sebagai pejabat umum. Bahwa akta notaris-PPAT adalah akta otentik, di mana sebagai alat bukti, akta itu “sudah berbicara”, sehingga jika terjadi permasalahan kemudian hari, tak perlu lagi keterangan lain dari notaris-PPAT yang membuat akta, yang bahkan sering menyeret notaris-PPAT pada kriminalisasi.
  9. Penahanan notaris-PPAT tidak diperlukan jika terjadi suatu kasus. Sebab, alasan penahanan menurut UU hanya jika dikhawatirkan yang bersangkutan melarikan diri dan menghilangkan alat bukti. Notaris tak mungkin seperti itu, karena kantornya jelas dan ada data sentralnya baik di Kemenhumham maupun di Badan Pertanahan Nasional. Akta notaris dalam suatu proses pidana hanya diperlukan pada tahap “penyelidikan”. (BB/501/rls)

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button