Harmonisasi Organisasi Tercermin pada Pasal 42 AD/ART PHDI
Denpasar | barometerbali – Polemik mengenai Pasal 42 dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) PHDI yang sebelumnya menyiratkan berkewajiban mengayomi sampradaya sudah direvisi menjadi membangun hubungan dan harmonisasi dengan semua organisasi, forum, lembaga, badan, yayasan atau perkumpulan yang berdasarkan Hindu Dharma Indonesia.
Ketua Bidang Hukum dan HAM Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) versi Pusat Wisnu Bawa Tanaya (WBT) Yanto Jaya, SH menyampaikan hal tersebut kepada wartawan saat dihubungi melalui saluran telepon, Sabtu (27/11/2021).
“Kata sampradaya sudah dihapus, dalam rangka membangun koordinasi dan bagaimana dimaksud dalam ayat 1 PHDI dapat mengadakan pertemuan berkala. ISKCON/Hare Krishna kan organisasi, begitu juga Sai Baba. Sepanjang organisasi tersebut dalam AD/ARTnya bernafaskan Hindu dan tidak dilarang pemerintah maka PHDI bisa untuk melakukan koordinasi dan konsolidasi,” jelasnya.
Penghapusan kata sampradaya menurut Yanto merupakan keinginan dari seluruh PHDI se-Indonesia. Ia meminta sampradaya jangan lagi dibawa-bawa ke dalam lantaran Sabha Pandita sudah mengeluarkan Bhisama, memerintahkan untuk mencabut surat pengayoman.
“Kita sekarang mengayomi seluruh umat Hindu Dharma yang ada di Indonesia. Jadi AD/ART itu dibaca secara utuh, jangan sepotong-sepotong, terus isu lama jangan lagi digoreng-goreng,” tegasnya.
Kembali dengan permasalahan ISKCON disebut-sebut sampradaya asing transnasional yang sebelumnya sampai terjadi penutupan ashram di Bali, Yanto menegaskan sikap tersebut takutnya bisa mengarah pada pelanggaran HAM. Namun hal tersebut tidak perlu diributkan karena sangat sensitif. Mengingat Bali sendiri dikatakan adalah tujuan wisata internasional dan keamanan Bali disorot dunia.
“Kalau masalah penutupan ashram bisa saja dilaporkan polisi oleh pengurusnya. Nanti polisi yang membuka kembali. Tapi dilaporkan siapa dan pelapor siapa juga saudara sendiri. Sebenarnya persoalan ini kan adanya di Bali, di luar Bali tidak ada persoalan. Ini kan sengaja diolah-olah, apa yang bisa dijadikan isu. Ya, sampradaya yang paling empuk. Termasuk juga oknum teman-teman kita yang di Parisada menggoreng-goreng itu. Karena ini politik. Nanti lihat sendiri, setelah 2024 sudah gak seksi lagi isu itu,” singgungnya.
Lanjut Yanto mengatakan adanya kata-kata Hindu Nusantara yang membuat jadi persoalan. Coba saja komit pada kata Hindu Dharma, makanya di AD/ART yang baru ia ingatkan tidak ada lagi kata Hindu Indonesia, tapi ditegaskan Hindu Dharma Indonesia.
Jadi kata Hindu Nusantara menurut Yanto tidak tepat. Kalau kita mau pakai kata Nusantara harus ditambah penghubung jadi Hindu di Nusantara, sehingga bisa bersama dimana pun Hindu ada tetap bersaudara. Makanya ada Vasudhaiva Kutumbakam, yang artinya kita semua bersaudara.
“Coba bayangin kalau hari ini kita gak pakai Vasudaiva Kutumbakam, ya, kalau anda berbeda dengan saya sembahyangnya ya saya bilang anda sesat. Sekarang misalnya, saya sembahyang di depan altar saya, saya hanya taruh buah-buahan. Terus saya lihat di altar anda, anda taruh ayam, babi guling terus saya bilang sesat. Kan ribut. Hindu punya konsep Ahimsa, tidak menyakiti,” tandas Yanto Jaya. (BB/501)