Siwaratri itu Momen Introspeksi Bukan Tebus Dosa
Tahun Baru 2022 kali ini bertepatan jatuhnya dengan hari suci agama Hindu yakni Siwaratri. Di Bali, selain hari suci yang berdasarkan pawukon seperti Galungan, Saraswati dan hari suci yang berdasarkan sasih seperti Nyepi, dikenal juga ada hari Suci Siwaratri yang termasuk hari suci yang berdasarkan sasih, dan tentunya setiap pelaksanaan hari suci tersebut dimaksudkan dengan tujuan-tujuan tertentu dan makna-makna khusus. Siwaratri adalah hari suci yang disakralkan oleh semua umat Hindu dengan melaksanakan pemujaan terhadap Ida Sang Hyang Widi Wasa dalam manifestasinya sebagai Sang Hyang Siwa dan itu dilakukan dengan pelaksanaan khusus.
Hari Suci Siwaratri jatuh setiap setahun sekali berdasarkan kalender Isaka yaitu pada purwaning Tilem atau panglong ping 14 sasih Kapitu (bulan ke tujuh) dalam perhitungan kalender Bali sebelum bulan mati (tilem), dalam kalender Masehi jatuh setiap bulan Januari. Siwaratri memang memiliki makna khusus bagi umat Hindu, karena pada saat tersebutlah Hyang Siwa beryoga, sehingga menjadi hari baik bagi umat untuk melakukan brata semadi berikut kegiatan penyucian dan perenungan diri serta melakukan pemujaan kepada Sang Hyang Siwa.
Siwaratri berasal dari kata “siwa” dan “ratri”, dalam bahasa Sansekerta Siwa berarti baik hati, memberikan harapan, membahagiakan dan suka memaafkan, Siwa juga adalah sebuah nama kehormatan manifestasi Tuhan yaitu Dewa Siwa yang berfungsi sebagai pelebur atau pemrelina. Sedangkan Ratri dalam bahasa berarti malam atau kegelapan, sehingga jika diartikan Siwaratri berarti pelebur kegelapan untuk menuju jalan terang. Jadi apa sesungguhnya makna dari hari suci Siwaratri tersebut, maknanya adalah malam perenungan suci, malam di mana kita bisa mengevaluasi dan introspeksi diri atas perbuatan atau dosa-dosa selama ini, sehingga pada malam ini kita memohon kepada Sang Hyang Siwa yang juga sedang melakukan payogan agar diberikan tuntunan agar bisa keluar dari perbuatan dosa tersebut. Pada saat malam itulah umat melakukan pendekatan spiritual kepada Siwa untuk menyatukan atman dengan paramatman. Tidak sedikit yang memaknai bahwa pada malam Siwaratri ini juga dianggap sebagai malam peleburan dosa, sehingga perbuatan dosa manusia bisa lebur dengan melakukan brata semadi dan pemujaan terhadap Sang Hyang Siwa. Pemaknaan seperti ini tidak lepas dari kisah Lubdaka yang ditulis oleh Empu Tanakung, kitab atau lontar tersebut mengisahkan kehidupan seorang pemburu binatang yang memiliki banyak dosa karena membunuh binatang yang tidak bersalah.
Secara rinci kegiatan- kegiatan yang dilaksanakan pada hari suci Siwaratri adalah sebagai berikut:
Sebelum melaksanakan seluruh kegiatan, maka terlebih dahulu dilaksanakan persembahyangan yang diperkirakan selesai tepat pada jam 06.00 dinihari
Monabrata atau berdiam diri dan tak berbicara. Pelaksanaannya dilangsungkan di pagi hari dan dilakukan selama 12 jam tepatnya dari jam 06.00 – 18.00.
Mejagra atau tidak tidur selama semalaman. Pelaksanaannya berlangsung dari pagi sampai pagi hari di keesokan harinya yang dilakukan selama 36 jam dari jam 06.00 – 18.00 di keesokan harinya.
Upawasa atau tidak makan dan tidak minum. Puasa ini dilakukan selama 24 jam dari jam 06.00 – 06.00. Apabila sudah 12 jam maka diperbolehkan untuk makan dan minum dengan syarat bahwa nasi yang dimakan ialah nasi putih dengan garam dan minum air putih (air tawar tanpa gula).
Dapat disimpulkan bahwa Malam Siwaratri bukanlah malam peleburan dosa, melainkan peleburan kepapaan dari kelemahan sifat-sifat manusia. Semua manusia memiliki kepapaan, karena dibelengu oleh nafsu-nafsu indrianya/raganya. Jadi sangat dianjurkan bagi Umat Hindu untuk melakukan Bratha Siwaratri sehari sebelum Purnamaning sasih Kepitu. Yang tujuannya mengurangi kepapaan dan nafsu-nafsu indria yang dimiliki oleh manusia. Dalam hubungannya dengan pengendalian nafsu indria, ada 7 kegelapan yang harus dikendalikan yang disebut Sapta Timira yang terdiri dari: Surupa (mabuk karena rupawan/rupa tampan atau cantik), Dhana (mabuk karena kekayaan), Guna (mabuk karena kepandaian), Kasuran (mabuk karena kemegahan), Kulina (mabuk karena keturunan bangsawan), Yowana (mabuk karena keremajaan), Sura (mabuk karena minuman keras).
Makna Siwaratri adalah agar manusia menyadari bahwa kita dipengaruhi oleh 7 kegelapan. Kegelapan itulah yang harus diterangi secara jasmani dan rohani dengan meningkatkan pengetahuan dan pengamalan ajaran kerohanian.
Penulis:
I Made Suardana, S.Pd.H., M.Si.
Sumber: fo.smkratnawartha.sch.id