Tim Hukum Desa Adat Kelecung Minta Polisi Terbitkan SP2Lid
Denpasar | barometerbali – Tim kuasa hukum Desa Adat Kelecung, Desa Tegal Mengkeb Tabanan, meminta terhadap pihak penyidik kepolisian agar mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyelidikan (SP2 Lid).
Terkait adanya pengaduan masyarakat (Dumas) No Reg: Dumas/16/I/2021/SPKT yang disebut-sebut perjalanannya sudah setahun lebih mengenai kasus kepemilikan tanah sudah bersertifikat milik Desa Adat Pura Dalem Kelecung belakangan ada pihak yang mempersoalkan atas terbitnya sertifikat.
Tim kuasa hukum Desa Adat Kelecung yang dipimpin I Gusti Ngurah Putu Alit Putra, SH, beserta I Wayan Sutita, SH, IB. Putu Raka Palguna, SH, Putu Shanty Mahayoni, SH dan I Wayan Susilayasa, SH mengatakan, dengan adanya ketidakpastian hukum, baik bagi pihak-pihak maupun masyarakat terutama di Desa Adat Kelecung sebagai Kesatuan Masyarakat Hukum Adat yang sangat berkepentingan menjadi resah berkepanjangan.
“Kasus ini seolah-olah sengaja dibiarkan berlarut-larut dengan berbagai kepentingan yang melatarbelakanginya. Mulai dari adanya oknum pejabat yang aktif melakukan lobby-lobby hingga adanya intrik-intrik tertentu di internal warga Desa Adat Kelecung,” singgung I Gusti Ngurah Putu Alit Putra di hadapan wartawan di Denpasar, Sabtu (5/0l2/2022).
Pihaknya mengatakan, penyelidikan berlangsung sangat lama hingga bertahun-tahun. Tentunya menjadi pertanyaan bagi masyarakat, di mana warga Desa Adat Kelecung dan pihak teradu hingga saat ini belum mendapatkan kepastian hukum.
“Berdasarkan ketentuan Pasal 9 Peraturan Kapolri Nomor 12 Tahun 2009 tentang Pengawasan dan Pengendalian Penangangan Perkara Pidana di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia, jika memang bukan tindak pidana, dilakukan penghentian penyelidikan serta hendaknya segera mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyelidikan (SP2 Lid),” jelasnya.
Selain itu sebutnya, Yurisprudensi Mahkamah Agung akan adanya putusan No. 628 K/Pid/1984, tanggal 29 Mei 1985 dan Prinsip Keadilan Restoratif sebagaimana ditentukan pada Pasal 12 Perkapolri No. 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana.
Atas dasar itu juga ia katakan sangat beralasan jika kasus ini dihentikan karena sumirnya perbuatan dengan kemungkinan terjadinya tindak pidana. Sehingga, dapat merujuk ketentuan dari Surat Edaran Kapolri No. SE/7/VII/2018, tanggal 27 Juli 2018.
“Tujuan dari pengadu patut diduga untuk menguasai keseluruhan objek sengketa atau tanah milik Desa Adat. Dimana hal ini dapat disangka dari fakta-fakta yang ada sejak dilaksanakannya mediasi di Kantor Perbekel Tegal Mengkeb dan Kantor Pertanahan Kabupaten Tabanan. Sehingga dapat kiranya ditetapkan bahwa ranah hukum yang lebih tepat untuk perkara dimaksud adalah sengketa keperdataan atau sengketa hak sebagaimana prinsip Prejudicieel Geschil,” bebernya
Pada persoalan ini pengacara Ngurah Alit Putra juga menyampaikan, bahwa pengadu mempunyai kadar kesalahan yaitu teledor. Sehingga terjadi kekurangan tandatangan di dalam proses penentuan penyanding oleh BPN Tabanan dalam pelaksanaan PTSL 2017. Maka terbitlah SHM 2184/Desa Tegalmengkeb, seluas 2.780 M2 atas nama Pura Dalem Desa Pakraman Kelecung.
Dugaan adanya keterangan penyanding yang kurang tepat, ia sampaikan dapat diselesaikan dengan mengembalikan atau menempatkan porsi yang benar yaitu dapat menyuruh pengadu untuk melengkapi berkas penyanding dan menandatanganinya sehingga kesalahan Administrasi (mal administrasi) dapat terselesaikan dengan baik.
“Karena untuk penentuan masalah batas tanah sebelah menyebelah tidaklah menjadi permasalahan mengingat di lapangan telah terpasang dan tumbuh batas alam yang telah lama menjadi batas tegas diantara tanah milik pengadu dengan Tanah Milik Adat,” tandasnya.
Samping itu tambahnya, secara faktual tidak ada surat yang dipalsukan atau tidak ada tandatangan milik pengadu yang dipalsukan. Sehingga tingkat kesalahan teradu tidaklah berat (vide Ps. 12 huruf a Perkapolri No. 6 Tahun 2019).
Ketentuan di dalam bidang pertanahan lanjut Ngurah Alit Putra, dengan dugaan pemalsuan keterangan atau tandatangan penyanding yang artinya adalah secara limitatif hanya mengenai batas-batas tanah, jika dikaitkan dengan asas dalam pendaftaran tanah yaitu asas Contadictoire Delimitatie dimana jika terdapat sengketa sesuai dengan ketentuan pasal 17, 18 dan 19 PP 24/1997 maka cara penyelesaiannya adalah melalui sengketa Tata Usaha Negara.
“Dan yang paling penting adalah memberikan kepastian hukum terutama kepada masyarakat Desa Adat Kelecung yang resah akan adanya perkara ini sehingga berpotensi menimbulkan konflik sosial atau gesekan diantara warga Desa Adat Kelecung (oleh karena Teradu adalah Bandesa Adat, Perbekel dan Warga Adat) dengan keluarga pihak pengadu yang akan melaksanakan upacara pamelaspasan di Pura Taman Kelecung dekat dengan lokasi tanah sengketa,” pungkas Ngurah Alit Putra. (BB/501)