Tanah Dicaplok BTID, Siti “Ipung” Sapura Ancam Blokir Jalan
Denpasar | barometerbali – Naik pitam karena tanahnya dicaplok oleh PT Bali Turtle Island Development (BTID) Advokat Siti Sapura menyatakan akan segera menutup jalan yang dibangun oleh investor di atas lahan seluas 7 are miliknya di kawasan Desa Serangan, Denpasar Selatan.
Ancaman itu dilontarkan Ipung begitu ia akrab disapa sebagai langkah yang menurutnya pantas diambil dikarenakan ia selaku pemilik sah lahan yang dibangun secara sepihak oleh BTID.
“Anda (BTID) sudah mencaplok tanah saya seluas 700 meter persegi menjadi jalan, itu ada konfirmasi nggak ke saya, Anda bayar nggak kompensasinya. Kok bisa membuat jalan belok mengambil tanah saya,” ungkap Ipung kepada wartawan di Denpasar, Jumat (25/2/2022).
“Saya akan menutup jalan yang tidak ada kompensasi ke saya, saya akan tutup itu jalan. Silahkan lakukan tindakan apapun ke saya, saya akan ladeni,” tegasnya.
Ditanya kenapa tidak melakukan upaya hukum terkait persoalan tersebut, Ipung secara tegas menyatakan tidak perlu mengambil tindakan hukum dikarenakan itu adalah tanahnya sendiri dan dia berhak untuk menutupnya.
Terkait pernyataan BTID bahwa tanah yang dibangun jalan berdasarkan SK Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI nomor SK.480/Menlhk-Setjen/2015, ditanggapi Ipung sebagai hal yang tak masuk akal.
Ia kembali menceritakan, sebelumnya orangtuanya yakni almarhum Daeng Abdul Kadir membeli dua bidang tanah yang terletak di Kampung Bugis, Serangan pada tahun 1957.
Tanah tersebut dibeli almarhum ayahnya dari almarhum Sikin, ahli waris dari H. Abdurahman yang merupakan mantan Kepala Desa Serangan beberapa waktu lampau.
Dua bidang tanah yang dibeli yaitu dengan pipil nomor 2, persil nomor 15c memiliki luas 0,995 hektar, kemudian tanah dengan pipil nomor 2, persil nomor 15a memiliki luas 1,12 hektar.
Dalam perjalanan, ada sejumlah pihak mencoba menguasai lahan itu dengan dalih bahwa tanah tersebut diperoleh secara hibah dari almarhum Cokorda Pemecutan.
Berbekal dokumen kepemilikan yang sah, Siti Sapura selaku ahli waris kemudian melakukan eksekusi lahan yang telah dikuasai sejumlah oknum masyarakat pada 2017 silam.
Setelah dieksekusi, tanah yang sebagian besar telah diisi bangunan rumah oleh para oknum tersebut kemudian dia ratakan.
Sehingga kata Ipung, klaim sepihak PT BTID berdasarkan SK.480/Menlhk-Setjen/2015 atas tanah miliknya sangat di luar logika.
“Daeng Abdul Kadir membeli tanah pada tahun 1957, sementara BTID mengklaim berdasarkan SK tahun 2015. BTID sendiri baru masuk dan melakukan reklamasi Desa Serangan pada tahun 1996. Masuk akal nggak tiba-tiba BTID mengklaim bahwa tanah eks eksekusi milik mereka,” tegas Ipung.
Di lokasi rencana pengukuran tanah, Kasatgas Polhut Tahura, Agus Santoso menyatakan tanah tersebut bukan kewenangan Dinas Kehutanan. Pihaknya tak punya kapasitas menangani tanah di luar kawasan hutan.
“Baik itu peruntukan, baik itu status. Kita tidak punya kepentingan. Yang menjadi kepentingan kita adalah di mana dan bagaimana menunjukkan batasan hutan kita, mana kala ada tanah batasan kawasa hutan yang dimohonkan untuk disertifikatkan, apa namanya, dimohonkan kepemilikan hak. Kita turun ambil koordinat, bikin berita acara. Produk di kita membuat surat keterangan Kepala Kantor Tahura untuk menyatakan itu masuk kawasan hutan atau tidak,” beber Agus.
“Berhubung ini sangat jauh dari kawasan hutan kita, kita tidak dalam kapasitas sebetulnya. Begitu lho, itu intinya. Yang jelas di sini sudah bukan kawasan hutan. Biar konstruksinya jelas ini,” sambungnya.
Dia mengakui dahulu ada namanya pelepasan kawasan hutan untuk kepentingan pengembangan pariwisata dengan BTID. “Kita ada dokumennya,” cetusnya.
Bendahara Desa Adat Serangan Nyoman Kemu Antara menegaskan berdasarkan data pipil dengan data sertifikat atas nama Maesarah, ada tanah tak bertuan secara sertifikat saya katakan, di dalam pipil itu luasnya 110 are atau 1,1 hektar. Yang disertifikatkan, baru 94 (are). Jadi adalah kelebihan tanah yang belum bertuan.
“Setelah dibandingkan peta okupasi yang diserahkan oleh BTID ke desa melalui tanah kehutanan tersebut, itu sudah jelas, patok atau garis dari peta okupasi. Sehingga pihak desa berkordinasi dengan ahli waris Maesarah dalam hal ini Ibu Sapura (Ipung) berkordinasi dengan desa adat untuk melakukan proses tanah terhadap tanah di luar 94 (are). Hal itu sudah berjalan sejak lama melibatkan BPN, karena kami di desa tidak mau mengambil tanah di luar hak orang lain,” paparnya.
Di sisi lain petugas ukur BPN Kota Denpasar yang hadir di lokasi Ali Nur Hamid menyatakan pihaknya hanya diminta untuk mendampingi Dinas Kehutanan.
“Sementara pihak dari Kehutanan sendiri menyatakan secara batas wilayah bukan merupakan kawasan hutan. Dinas Dinas Kehutanan sendiri menyatakan secara kepemilikan tidak masuk kawasan kehutanan. Otomatis ya selesai,” tandasnya.
Dari tempat terpisah General Manager BTID, Made Sumantara yang dihubungi melalui selulernya ketika disinggung “merasa” memiliki lahan tersebut, justru tegas dikatakan bahwa lahan itu milik BTID.
“Bukan ‘merasa’ itu memang lahan milik BTID,” ucapnya menegaskan.
Namun ketika ditanyakan berapa luasan lahannya, Sumantara tiba-tiba lupa. Lantas ia berkelit jika hal itu bukan bidangnya. Padahal jika dilihat dari posisinya Sumantara selaku General Manager PT BTID, semestinya mengetahui hal itu. Bahkan terkait sertifikat sebagai bukti kepemilikan lahan, ia juga berujar, sepengetahuannya sertifikat itu ada. Namun ketika ditanyakan, kembali ia berkelit, bukan bidangnya.
“Bidang saya tidak di sana, ada bidang lain yang menangani. Saya hanya melakukan komunikasi dengan masyarakat, partner kita, bukan musuh,” kilahnya.
Sedangkan Legal Consultant PT BTID, A A Buana, yang coba dihubungi melalui selulernya untuk dikonfirmasi terkait hal ini, tidak mengangkat. Namun beberapa saat kemudian menyatakan sedang rapat. “Tiyang (saya, red) tdk tau…..tanya pak Made (Sumantara) sebagai penanggung jawab pulau. Tiyang sekarang di perijinan sejak 2019,” tulisnya melalui pesan WhatsApp. (BB/501)