Jampidum Setujui 6 Pengajuan Keadilan Restoratif
Jakarta | barometerbali – Jaksa Agung RI melalui Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum) Dr. Fadil Zumhana menyetujui 6 (enam) Permohonan Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif (restorative justice).
Ekspose dilakukan secara virtual yang dihadiri oleh Jampidum Dr. Fadil Zumhana, Direktur Tindak Pidana Terhadap Orang dan Harta Benda Agnes Triani, S.H. M.H., Koordinator pada Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Umum, Kepala Kejaksaan Tinggi dan Kepala Kejaksaan Negeri yang mengajukan permohonan restorative justice serta Kasubdit dan Kasi Wilayah di Direktorat T.P. Oharda.
“Adapun 6 (enam) berkas perkara yang dihentikan penuntutannya berdasarkan keadilan restoratif adalah Tersangka Yohanes Andreas Rimas Gadu Bin Siprianus dari Kejaksaan Negeri Manggarai yang disangka melanggar Pasal 351 ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan, selanjutnya Tersangka Muhamad Filsafat dari Kejaksaan Negeri Sumba Timur yang disangka melanggar Pasal 5 huruf a Jo. Pasal 44 Ayat (1) UU Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Sub. Pasal 44 Ayat (4) UU Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, kemudian Tersangka Yorhans Maraden Mokoginta Fello alias Hans dari Kejaksaan Negeri Kabupaten Kupang yang disangka melanggar Pasal 351 ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan,” bebernya
Tersangka lainnya Andy alias Segar anak dari alm. Balang Segar dari Kejaksaan Negeri Tarakan yang disangka melanggar Pasal 362 KUHP tentang Pencurian.
Berikutnya Tersangka Muhammad Nur Kadir alias Nur dari Kejaksaan Negeri Minahasa yang disangka melanggar Pasal 351 ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan dan Tersangka Jenni Neni Mamahit dari Kejaksaan Negeri Minahasa Selatan yang disangka melanggar Pasal 335 ayat (1) ke-1 KUHP tentang Pengancaman.
“Alasan pemberian penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif ini diberikan antara lain karena telah dilaksanakan proses perdamaian di mana Tersangka telah meminta maaf dan korban sudah memberikan permohonan maaf;
Tersangka belum pernah dihukum;
Tersangka baru pertama kali melakukan perbuatan pidana,” ungkap Jampidum.
Selain itu ancaman pidana denda atau penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun,
Tersangka berjanji tidak akan lagi mengulangi perbuatannya, proses perdamaian dilakukan secara sukarela dengan musyawarah untuk mufakat, tanpa tekanan, paksaan dan intimidasi.
Tersangka dan korban setuju untuk tidak melanjutkan permasalahan ke persidangan karena tidak akan membawa manfaat yang lebih besar;
Pertimbangan sosiologis;
Masyarakat merespon positif.
Dalam kesempatan ini, Jampidum menyampaikan bahwa proses prapenuntutan dilaksanakan dengan penuh kesungguhan dan harus dipahami benar kasus tersebut. Menurutnya, dengan begitu maka dapat diketahui treatment penyelesaiannya (apakah disetujui untuk penyelesaian melalui restorative justice atau dilimpahkan ke pengadilan).
“Jangan ada perkara bebas dan ini adalah tujuan saya supaya orang tidak bebas dan tidak teraniaya oleh perilaku kawan-kawan kita. Proses prapenuntutan yang baik akan menimbulkan hasil penuntutan yang baik,” ujar Jampidum.
Selanjutnya, Jampidum memerintahkan kepada Para Kepala Kejaksaan Negeri untuk menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) Berdasarkan Keadilan Restoratif sesuai Peraturan Jaksa Agung Nomor 15 Tahun 2020 dan Surat Edaran JAM Pidum Nomor: 01/E/EJP/02/2022 tanggal 10 Februari 2022 tentang Pelaksanaan Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif sebagai perwujudan kepastian hukum. (BB/501)