Sampah Denpasar jadi Pelet, Susruta Pertanyakan Pasarnya
Denpasar | barometerbali – Sebagai Ibu Kota Provinsi Bali semestinya Kota Denpasar tampil indah dan bersih dari sampah. Selama ini fasilitas yang dibangun pemerintah dalam mengelola sampah output-nya belum berorientasi manfaat. Lebih lebih pangsa pasar dan buyer-nya belum jelas apabila output-nya berupa pelet (bahan bakar) yang memiliki nilai ekonomi.
Demikian pendapat yang disampaikan anggota DPRD Kota Denpasar Ir. A.A. Susruta Ngurah Putra, yang dikenal vokal dan kritis menyikapi berbagai ketimpangan dan terutama permasalahan sosial dan lingkungan yang terjadi di Kota Denpasar saat ditemui di kediamannya, Jumat (10/6/2022).
“Sampah itu memang bukan masalah Kota Denpasar saja tapi juga seluruh Indonesia dan tak akan pernah selesai, namun tata kelola sampah harus segera ditangani dengan baik dan serius. Membangun apapun bisa yang penting ada uang. Begitu pula instalasi pengolahan sampah, tapi apa manfaat dan output-nya, dan pasarnya siapa setelah diolah menjadi bahan bakar berupa pelet, itu yang penting dipikirkan,” ungkap Susruta.
Menurut estimasinya, kondisi sampah di Kota Denpasar sekitar 800 ton per hari. Sedangkan kapasitas untuk TPST di 3 tempat daya tampungnya 1.100 ton per hari.
“Untuk TPS3R (Tempat Pengolahan Sampah Reduce, Reuse, Recycle) itu baru dapat ditangani 100-125 ton per hari. Tentu kelebihannya menjadi beban berat bagi pemerintah Kota Denpasar, karena sisanya sekitar 750 ton masih dibuang di TPA Suwung,” beber Susruta.
Mengenai penyelesaian masalah sampah melalui Program Kota Denpasar dari bantuan pusat di 3 tempat itu sepertinya masih diupayakan.
“Apalagi jalan Gunung Agung di bekas Pasar Loak masih terlihat penuh sampah dan terkesan jorok. Padahal di sana bukan peruntukan TPA (tempat pembuangan akhir),” ujarnya.
Dari hasil pengamatannya, pengolahan sampah terbaik itu adalah dengan cara dibakar menggunakan incinerator. Output yang dihasilkan itu berupa bahan bakar berbentuk pelet (bahan bakar).
“Hasil akhir dari TPST ini dalam bentuk pelet,” imbuh Susruta.
Sekali lagi ia tegaskan tak sampai di situ saja permasalahannya. Hasil akhir pelet tadi haruslah juga memiliki nilai jual kepada industri bahkan masyarakat. Nilai serap itu tentu penting guna menyelesaikan sampah ini menjadi tuntas.
“Ke mana akan dilempar, pasar dari TPS3R (kompos) dan TPST (pelet), siapkah masyarakat untuk menampung kompos-kompos ini. Kemudian TPST pelet tadi juga kemungkinan hasilnya ratusan ton per hari juga, ini menjadi masalah baru,” jelasnya.
Timbunan kompos dan pelet itu haruslah dapat diserap dengan segera agar tidak menjadi timbunan baru nantinya. Lepas dari sampah kita punya produk yang banyak juga dari hasilnya.
“Saya tanyakan itu pada saat rapat (DPRD Kota Denpasar), belum ada yang bisa jawab,” cetus Susruta yang juga anggota DPRD Denpasar dari Fraksi Demokrat ini.
Dengan cara pembakaran menurutnya adalah paling efektif, tentu pembakaran dengan incinerator yang ramah lingkungan. Itu kan habis tetapi tidak bermanfaat, bila sebaliknya menjadi pelet akan berguna sebagai energi, tetapi pasar siap gak menerima hal tersebut,” tandas Susruta yang setiap tahun membagikan beras kepada warga Denpasar.
Terkait biaya pengelolaan TPS3R nantinya, itu dikatakannya belum putus. Tentang penyerapan pasar terhadap hasil akhir pengolahan sampah itu harusnya menjadi konsentrasi yang lain bagi pemerintah Kota Denpasar untuk dapat diserap.
“Membangun itu gampang, semasa kita ada uang. Memanfaatkan, merawat itu yang sulit dan kompleks, maka dari itu persiapkanlah hard project-nya (pembangunan) dan soft project-nya (pasar), jadi bisa berjalan beriringan, jangan sampai kelabakan yang nantinya jadi beban baru,” tutup Susruta. (BB/501)