Warga Intaran Demo, PT DEB Buka Pintu Dialog
Denpasar | barometerbali – Menanggapi aksi demo penolakan warga Intaran Sanur dan aktivis lingkungan pada Minggu, (19/6/2022) terkait rencana pembangunan Terminal Liquefied Natural Gas (LNG) di Sidakarya, Denpasar, ditanggapi dengan baik oleh Perusahaan Daerah (Perusda) Bali, PT Dewata Energi Bersih (DEB) saat memberikan keterangan pers di Denpasar, Senin (20/6/2022).
“Langkah prademo sudah dilaksanakan diskusi. Saya menghormati perbedaan aspirasi. Ada upaya Yayasan Pembangunan Sanur untuk FGD (Focus Group Discussion). Kita sudah sambut baik dan menyiapkan tim ahli, bukan hanya dari tim ahli gubernur, dari akademisi juga kita siap. Tapi keburu demo ya bagaimana lagi,” ungkap Humas PT DEB, Ida Bagus Ketut Purbanegara didampingi Direktur Pengembangan Usaha Perusda Bali Bagus Gede Ananta Wijaya Karna dan Kepala Unit Jasa Perusda Bali Gede Oka.
Purbanegara lebih lanjut menjelaskan, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali, melalui Perusahaan Daerah (Perusda) Bali, PT. Dewata Energi Bersih (DEB) membangun terminal LNG bertujuan untuk mewujudkan Bali Mandiri Energi dan Bali Energi Bersih.
Hal ini menurutnya merupakan strategi inovatif mitigasi energi berkelanjutan dan jangka panjang, menjamin layanan terbaik, termasuk di bidang pariwisata. Selain itu untuk memastikan bisnis pariwisata tetap beroperasi meski saat terjadi blackout pada sistem pasokan energi listrik terpusat (di Jawa).
PT DEB memastikan bahwa rencana tersebut sesuai dengan visi Pola Pembangunan Semesta Berencana (Nangun Sat Kerthi Loka Bali) yang mengedepankan kesucian dan keharmonisan alam Bali beserta isinya, serta berharap masyarakat masih mau untuk diajak berdialog sebagai upaya untuk memberikan pemahaman dan edukasi secara mendalam kepada masyarakat Denpasar secara khususnya.
LNG imbuhnya merupakan energi yang benar-benar ramah lingkungan serta rencana pembangunan terminalnya telah dirancang sedemikian rupa untuk mengedepankan kesucian dan keharmonisan alam Bali, yang akan berkontribusi besar terciptanya penambahan lapangan kerja baru yang akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat ke depannya.
“Tapi mari kita bicarakan, kalau ada yang masih kurang nyambung ayo kita berdialog, karena semua ini untuk kepentingan bersama. Gubernur juga bisa meminta tarif dasar listrik yang lebih murah bagi warga Bali,” ujar Purbanegara.
Pihak Perusda dan PT DEB juga menyatakan telah memikirkan aspek pemberdayaan tenaga kerja lokal, kerja sama dengan desa adat maupun badan usaha lokal terkait jaringan gas perkotaan dan suplai LNG ke hotel-hotel.
“Adanya fasilitas cold storage yang dapat dimanfaatkan oleh badan usaha milik desa, koperasi, maupun UMKM melalui kerja sama menyumbangkan sumber baru penerimaan PAD bagi Provinsi Bali,” imbuh Direktur Pengembangan Usaha Perusda Bali Bagus Gede Ananta Wijaya Karna.
Disampaikan juga struktur kepemilikan saham PT Dewata Energi Bersih (pelaku kegiatan usaha) terdiri dari 51% PLN, 49% Perusahaan Daerah Provinsi Bali dan mitra strategis menjamin sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat.
Lebih lanjut dalam catatan PT DEB dijelaskan, Terminal LNG Sidakarya dengan PKKRPL yang telah terbit, diupayakan agar dapat selaras dengan perencanaan RIP Serangan sebagai Pelabuhan pengumpan lokal (Kepmenhub No. KP 432 th 2020) yg sedang disusun berdasarkan Pasal 73 ayat (2) UU No. 17 th 2008, memerhatikan RIPNAS, RTRWP, RTRWK. Selain itu mempertimbangkan keserasian dan keseimbangan dengan kegiatan lain terkait di lokasi pelabuhan, kelayakan teknis, ekonomis, lingkungan, keamanan dan keselamatan lalu lintas kapal.
Hal ini bertujuan agar dalam penyusunan tidak terjadi overlapping. 80% beban kelistrikan ada di Bali Selatan namun masih membengkaknya utang PT PLN (Persero) yakni sebesar Rp631,6 triliun pada 2021 menyebabkan PT PLN (Persero) tidak melakukan investasi terhadap jaringan listrik sehingga diputuskan berlokasi di Bali Selatan. Berdasarkan studi kelayakan, terpilihlah Desa Sidakarya.
Dalam aksi demo sebelumnya diketahui penolakan datang dari sejumlah warga sekitar wilayah rencana Terminal LNG, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Bali, menyatakan rencana pembangunan lokasi Terminal LNG dinilai berimbas negatif, khususnya bagi pariwisata dan alam sekitar, seperti hutan bakau (mangrove) sehingga bisa merusak ekosistem dan terumbu karang.
Purbanegara menanggapi keresahan tersebut dengan mengatakan, pembangunan terminal LNG itu nantinya adalah untuk mendukung penggunaan energi bersih untuk pembangkit listrik sehingga ada tambahan pembangkit 2×100 MW, yang hanya memanfaatkan lahan seluas 3 hektar (ha), dan menepis adanya informasi yang mengatakan bahwa proyek tersebut memakan luas lahan mencapai 14 ha untuk pembangunan infrastrukturnya.
“Tidak ada pemanfaatan lahannya mencapai 14 hektar, yang ada cuma sekitar 3 hektar dan itu pun tidak seluruh lahan dimanfaatkan. Kami juga membantah akan ada pembabatan hutan mangrove,” tegasnya.
Pembangunan yang direncanakan menurut Purbanegara adalah dengan membuat dermaga Jetty untuk kapal pengangkut LNG dari Ladang Gas Tangguh, Papua. Mengenai adanya isu bahwa dermaga akan merusak terumbu karang, menurutnya di wilayah itu terumbu karangnya jenis-jenis yang sudah mati, dan rencana penanaman pipa untuk penyaluran gas di kedalaman 10 meter dari Jetty ke terminal LNG yang melewati area mangrove yang tidak akan mengganggu ekosistem dan akar mangrove di sekitar.
“Dengan kedalaman 10 meter itu, pipa tak akan mengganggu akar mangrove yang hanya sampai di kedalaman sekitar 6 meter. Maka dari itu, kita perlu berdialog lebih jauh dengan masyarakat agar masyarakat benar-benar mengerti polanya seperti apa,” terangnya.
Ditegaskan Purbanegara rencana pembangunan tersebut tidak akan mengganggu kesucian Pura sekitar. Di mana dirinya menjelaskan bahwa jarak terdekat dengan Pura adalah sekitar kurang lebih 500 meter, yang bila mengacu pada RTRW Kota Denpasar tidak ada potensi pelanggaran di dalamnya.
“Memang ada yang tidak sinkron antara Perda RTRW Denpasar Nomor 8 tahun 2021 yang menyebut wilayah Sidakarya sebagai blok khusus untuk pemanfaatan LNG dengan Perda RTRW Bali Nomor 3 tahun 2020 yang menyatakan daerah itu merupakan wilayah konservasi. Untuk itu, kita mengacu pada ketentuan UU Cipta Kerja dimana disebutkan bahwa bila ada aturan yang berbeda maka yang dijadikan acuan adalah ketentuan yang terbaru,” pungkas Purbanegara. (BB/501)