Pura Payogan Segara Rupek, Suratan Penting Sejarah Bali Dwipa
Ket foto: Bangunan palinggih di Pura Payogan Segara Rupek yang siap dipelaspas , Selasa (28/6/2022) besok.
Buleleng | barometerbali – Gubernur Bali Wayan Koster akan menghadiri Upacara Melaspas/Pamelaspasan, Mendem Pedagingan, Ngenteg Linggih lan Pedudusan Alit Pura Payogan Agung dan Pura Beji Segara Rupek,
Selasa, (28/6/2022).
Pura ini terletak di pinggir pantai Desa Sumberklampok, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng ini baru saja selesai dipugar dengan menelan anggaran lebih dari Rp5,9 miliar bersumber dari dana hibah Pemerintah Provinsi Bali yang diprakarsai Gubernur Wayan Koster.
Adapun lokasi Pura ini berada di tengah kawasan hutan lindung Taman Nasional Bali Barat (TNBB) yang mempunyai luas 19.002,89 ha yang terdiri dari kawasan terestrial seluas 15.587,89 ha dan kawasan perairan seluas 3.415 ha.
Sebagai salah satu kawasan konservasi, pengelolaan TNBB ditujukan untuk perlindungan populasi Jalak Bali beserta ekosistem lainnya seperti ekosistem terumbu karang, ekosistem mangrove, ekosistem hutan pantai dan ekosistem hutan daratan rendah sampai pegunungan sebagai sistem penyangga kehidupan terutama ditujukan untuk menjaga keaslian, keutuhan dan keragaman suksesi alam dalam unit-unit ekosistem yang mantap dan mampu mendukung kehidupan secara optimal.
Menurut Ketua Panitia Karya Melaspas, IGN Diwangkara, sejarah Segara Rupek berdasarkan Babad Arya Pinatih, tidak bisa dipisahkan dengan keberadaan Selat Bali yang memisahkan antara Pulau Bali dan Pulau Jawa.
“Dikisahkan, berkat kekuatan tapa yoga semadi Mpu Siddhimantera ke hadapan Hyang Siwa dan Sang Hyang Baruna Geni, dan atas tapa itu beliau dititahkan untuk menorehkan tongkatnya tiga kali ketanah, tepat di daerah ceking getting (tanah sempit, red) sehingga terbentuk Selat Bali,” ujar Diwangkara seraya menegaskan akibat goresan itu air laut pun terguncang bergerak membelah bumi, maka daratan Bali dan Jawa yang semula satu itu pun terpisah oleh lautan yang saat ini dinamakan Selat Bali.
Lebih jauh, menurut Diwangkara, di kemudian hari, Pulau Jawa akan menjadi kekuasaan Nusantara (Jawa Pulina Manggih Bawa Jayem Satru) dan Pulau Bali yang disebut juga Bali Dwipa menjadi Pulau Suci dan menjadi Parahyangan Para Dewa. Kekuasaan dengan segala sisi positif dan negatifnya (Jawa) tidak bisa disatukan dengan Pulau Suci Parahyangan Dewa (Bali).
Pura Segara Rupek merupakan salah satu Pura Dang Kahyangan di Bali, linggih Ida Bhatara Hyang Siwa Baruna Geni. Sebagai Pura Dang Kahyangan bersifat universal, seluruh umat ciptaan Tuhan sejagat boleh bersembahyang ke sana. Pura Kahyangan Jagat tersebar di seluruh dunia.
Dilihat dari strukturnya, Pura Segara Rupek dikategorikan pura tua. Namun demikian baru saat ini mendapat sentuhan pembangunan. Pelinggih-pelinggihnya pun diperbaharui mengacu pada Lontar Asta Kosala Kosali dan Asta bhumi, mengandung Falsafah “Tri Hita Karana”, “Panca Maha Butha” dan “Dewata Nawa Sanga”.
Ketiga falsafah tersebut menjadi dasar pembuatan Pura yang di dalamnya terdapat suatu pemahaman mengenai alam yang dikaitkan dengan kepercayaan Hindu di Bali, seperti pengaruh Dewa yang terdapat pada setiap penjuru mata angin.
“Karya melaspas ini biayanya bersumber dari masyarakat, khususnya pasemetonan Maha Kertha Warga Bang Siddhimantra (Arya Wang Bang Pinatih, Sidemen, Wayabya dan Manikan, red) serta Pemerintah Daerah,” ujar Diwangkara seraya mengucapkan terima kasih kepada semua donatur dan memohon doa restu karya berjalan dengan lancar. (BB/501)