Thursday, 12-09-2024
Peristiwa

Buktikan Kajian Ilmiah, Gung De Minta Demo Tolak LNG tak Bawa Simbol Niskala

Ket foto: Presiden Joko Widodo dan Ibu Iriana berjalan menikmati keindahan kawasan mangrove sepanjang 500 meter di Tahura Ngurah Rai, Jumat (8/10/2021) lalu. Insert: AA Gede Agung Ariawan (Gung De)

Denpasar | barometerbali – Polemik pro-kontra rencana pembangunan terminal LNG (liquefied natural gas/gas alam cair) di pesisir Desa Sidakarya ternyata memantik perhatian salah satu tokoh kontroversial asal Pemogan, Denpasar Selatan, AA Gede Agung Ariawan yang akrab disapa Gung De.

Menurutnya masalah LNG Sidakarya di Kawasan Hutan Mangrove semestinya tidak perlu diributkan karena sebelumnya sudah banyak pihak dan instansi yang memanfaatkan pesisir Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai untuk kepentingan masyarakat. Demikian pendapatnya menanggapi adanya unjuk rasa penolakan terminal LNG di kawasan mangrove, saat dikonfirmasi di Denpasar, Selasa (28/6/2022).

“Karena fakta nyata kawasan Hutan Mangrove Suwung sudah banyak di manfaatkan sebagai TPA (tempat pembuangan akhir) Suwung, Instalasi Pengolahan Air Limbah Denpasar Sewerage Development Project) IPAL DSDP dan Waduk Muara Nusa Dua,” sebutnya.

“Faktanya kan bermanfaat besar buat masyarakat Bali secara menyeluruh untuk menjaga kebersihan daerah Pariwisata Internasional, aturan pun sesuai Perda RTRW Bali saat pembangunan belum terakomodir tegas,” sambung Gung De yang kerap di-bully warganet karena dituduh “membela” PT TWBI saat berencana mereklamasi Teluk Benoa beberapa tahun silam.

Lebih lanjut ia menambahkan, pembangunan terkadang tidak kita pahami ke depannya, maka dari itu ada upaya revisi Perda RTRW.

“Kalau bicara masalah pelanggaran aturan hukum serta Perda RTRW (Peraturan Daerah Rencana Tata Ruang Wilayah), buktinya sempadan pantai dan sempadan sungai banyak dilanggar. Sanur kan juga sedang membangun Pelabuhan di Matahari Terbit apakah ada jaminan terumbu karang tidak rusak? Ubud sangat banyak sekali ada pelanggaran sempadan sungai apakah hancur? Malahan masyarakat mendapat lapangan kerja dan menikmati kesejahteraan,” beber Gung De yang mantan Kelihan Banjar Sakah, Desa Pemogan, Denpasar Selatan ini.

Sebaiknya pembangunan Terminal LNG Sidakarya itu dibahas dengan kepala dingin dan dengan kecerdasan intelektual, tidak dengan emosional dan demo membawa-bawa kawasan suci dan ritual adat agama menggunakan sarana sakral.

“Teluk Benoa sebagai kawasan suci dicatat sakala (nyata) dan niskala (maya) bahwa sudah ada reklamasi Pelindo Benoa dan IPAL DSDP tempat kotoran WC, pembangunan berjalan baik dan memberi banyak manfaat besar kepada banyak masyarakat. Jadi jika niskala melarang mestinya bangunan tersebut sudah hancur lebur, karena aksi penolakan dengan banyak sesajen ritual niskala. Tapi faktanya kan berbeda, kan banyak juga tokoh-tokoh membawa-bawa niskala, saat demo juga ‘kena’ karena semua punya takdir Tuhan,” tutur Gung De yang dikenal kritis menyikapi isu-isu terkini di Bali ini.

“Alasan penolakan warga karena masalah jaminan keselamatan pada proyek LNG adalah konyol. Hutan Sidakarya jauh dari pemukiman. PLN yang pakai LNG dengan tangki penyimpanan malahan berada di pemukiman warga,” lanjutnya.

Demo Tolak Reklamasi Teluk Benoa imbuhnya, sudah memberi manfaat penutupan sebagian TPA Suwung, membatalkan 10 hektar Kawasan IPAL DSDP dari rencana 20 hektar hanya bisa dibebaskan Tahap 1 seluas 10 hektar.

“Waduk Muara Nusa Dua juga hampir kena imbas ditutup. Akhirnya diajukan jadi Kawasan Wisata. Sayangnya Perda RTRW belum akomodir,” tambahnya.

Destinasi Wisata Mangrove yang dicanangkan Presiden Jokowi menurut Gung De bertujuan agar direalisasikan untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat setempat.

Ia khawatir jika demo “Puputan” dengan alasan kesucian sering digelar maka akan disambut terus-menerus oleh warga sekitar TPA Suwung dan IPAL DSDP.

“Kelak juga Lagoon BTDC di Nusa Dua akan berjuang menutup itu lagoon. Biar makin amburadul ini Bali. Penutupan sebagian TPA Suwung sudah sangat jelas dampaknya. Sampah berserakan di mana mana. Muncul TPA ilegal di mana mana,” tandasnya mengingatkan.

Ia berpesan apabila melakukan unjuk rasa diperlukan data yang jelas dan tidak melibatkan unsur-unsur gaib atau simbol-simbol suci yang dimiliki umat Hindu di Bali.

“Demo cukup berbicara dengan argumentasi data dan literasi cerdas berdasarkan kajian ilmiah Undang Undang yang berlaku. Janganlah membawa Ida Bhatara Sesuhunan dengan aci-aci sesajen dan ritual niskala yang kita yakini, apapun bisa terjadi,” pungkas Gung De. (BB/501)

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button