Gubernur Bali dan Wali Kota Denpasar Hadiri Karya Melaspas dan Ngenteg Linggih di Pura Payogan Segara Rupek
Buleleng | barometerbali – Pelaksanaan Karya Melaspas (upacara pembersihan dan peresmian), Mendem Pedagingan, Ngenteg Linggih dan Padudusan Alit di Pura Payogan Agung dan Pura Taman Beji, Segara Rupek yang berada di kawasan Taman Nasional Bali Barat (TNBB) Buleleng dilaksanakan bertepatan pada Rahina Tilem Sadha, Selasa (28/6/2022).
Upacara ini dihadiri Gubernur Bali Wayan Koster, Walikota Denpasar IGN Jaya Negara dalam upacara ini sekaligus sebagai Pengrajeg Karya, Bupati Buleleng Putu Agus Suradnyana, Bupati Jembrana Nengah Tamba, Sekda Kota Denpasar, IB Alit Wiradana serta undangan lainnya.
Upacara Melaspas adalah upacara pembersihan dan penyucian bangunan yang baru selesai dibangun atau baru ditempati lagi. Sedangkan Upacara Ngenteg Linggih adalah upacara yadnya atau karya yang ditujukan untuk mengukuhkan kembali kedudukan atau linggih Niyasa tempat suci sebagai pemujaan Ida Sang Hyang Widhi, Tuhan Yang Maha Esa, baik berupa Padmasana, palinggih-palinggih atau pun pura setelah selesai dibangun.
Pada karya melaspas, mendem pedagingan, ngenteg linggih dan padudusan alit di Pura Payogan Agung dan Pura Taman Beji Segara Rupek ini sebagai Pamuput Karya adalah Ida Pedanda Gede Diksa Singarsa Manuaba dari Geria Gede Babakan Cau Blayu, Tabanan yang juga sebagai Wiku Yajamana Karya.
Walikota Denpasar, IGN Jaya Negara juga turut serta mengikuti ritual mendem pedagingan di Palinggih Ida Danghyang Siddhimantra dan mendampingi Gubernur, Wayan Koster mendem pedagingan di Padmasana Utama Pura.
Dilaksanakan juga penandatanganan prasasti oleh Gubernur Bali Wayan Koster bersama Pengrajeg Karya IGN Jaya Negara.
Gubernur Bali Wayan Koster mengatakan bahwa keberadaan Pura Payogan Agung dan Pura Taman Beji, Segara Rupek memiliki arti penting bagi umat Hindu di Bali.
“Maka dari itu komitmen dari Pemerintah Provinsi Bali akan mulai menata seluruh pura Dang Khayangan yang ada di Bali salah satunya Pura Payogan Agung dan Pura Taman Beji, Segara Rupek di mana akan direvitalisasi sejumlah aspek pendukung pura seperti akses masuk ke pura diharapkan akan meningkatkan nilai kesucian pura ini,” ucapnya.
IGN Jaya Negara sebagai Pengrajeg Karya mengatakan pelaksanaan karya ini dapat menjadi momen bagi Pasemetonan dan masyarakat untuk meningkatkan Sradha Bhakti (iman dan takwa) kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
“Pelaksanaan Dewa Yadnya ini sebagai sarana menggali nilai spiritual seluruh umat. Semoga upacara Dewa Yadnya ini dapat memberi energi positif guna menetralisir hal-hal negatif, melihat berbagai macam dinamika kehidupan yang terjadi dewasa ini demi terciptanya keseimbangan jagat beserta isinya,” ujar Jaya Negara.
Sementara Prawartaka Karya, I Gusti Ngurah Diwangkara menjelaskan bahwa Pura Payogan Agung dan Pura Beji Segara Rupek telah memiliki pelinggih yang telah berusia kira-kira puluhan tahun namun kala itu masih bersifat sementara dan masih sederhana dan saat ini pembangunannya telah rampung dan dilanjutkan dengan upacara Yadnya.
“Secara sejarah Pura Payogan Agung dan Pura Taman Beji, Segara Rupek berkaitan dengan erat dengan kisah Ida Dang Hyang Siddhimantra (sekitar abad ke-12) yang memiliki anak Ida Dang Hyang Manik Angkeran di mana seperti telah banyak diketahui kisah ini tentang terpisahnya pulau Bali yang dan Pulau Jawa,” tutur Diwangkara.
“Pura ini di-emong oleh Pasemetonan Catur Warga yang terdiri dari Arya Wang Bang Pinatih, Arya Wang Bang Sidemen, Wang Bang Wayabiya dan Sira Agra Manikan. Semoga pelaksanaan karya suci ini mampu memberikan energi positif bagi seluruh umat,” tambahnya.
Pura Payogan Segara Rupek Suratan Penting Sejarah Bali Dwipa
Pura Payogan Segara Rupek dan Pura Taman Beji ini terletak di pinggir pantai Desa Sumberklampok, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng ini baru saja selesai dipugar dengan menelan anggaran lebih dari Rp5,9 miliar bersumber dari dana hibah Pemerintah Provinsi Bali yang diprakarsai Gubernur Wayan Koster.
Adapun lokasi Pura ini berada di tengah kawasan hutan lindung Taman Nasional Bali Barat (TNBB) yang mempunyai luas 19.002,89 ha yang terdiri dari kawasan terestrial seluas 15.587,89 ha dan kawasan perairan seluas 3.415 ha.
Sebagai salah satu kawasan konservasi, pengelolaan TNBB ditujukan untuk perlindungan populasi Jalak Bali beserta ekosistem lainnya seperti ekosistem terumbu karang, ekosistem mangrove, ekosistem hutan pantai dan ekosistem hutan daratan rendah sampai pegunungan sebagai sistem penyangga kehidupan terutama ditujukan untuk menjaga keaslian, keutuhan dan keragaman suksesi alam dalam unit-unit ekosistem yang mantap dan mampu mendukung kehidupan secara optimal.
Menurut Ketua Panitia Karya Melaspas, IGN Diwangkara, sejarah Segara Rupek berdasarkan Babad Arya Pinatih, tidak bisa dipisahkan dengan keberadaan Selat Bali yang memisahkan antara Pulau Bali dan Pulau Jawa.
“Dikisahkan, berkat kekuatan tapa yoga semadi Mpu Siddhimantera ke hadapan Hyang Siwa dan Sang Hyang Baruna Geni, dan atas tapa itu beliau dititahkan untuk menorehkan tongkatnya tiga kali ketanah, tepat di daerah ceking getting (tanah sempit, red) sehingga terbentuk Selat Bali,” ujar Diwangkara seraya menegaskan akibat goresan itu air laut pun terguncang bergerak membelah bumi, maka daratan Bali dan Jawa yang semula satu itu pun terpisah oleh lautan yang saat ini dinamakan Selat Bali.
Lebih jauh, menurut Diwangkara, di kemudian hari, Pulau Jawa akan menjadi kekuasaan Nusantara (Jawa Pulina Manggih Bawa Jayem Satru) dan Pulau Bali yang disebut juga Bali Dwipa menjadi Pulau Suci dan menjadi Parahyangan Para Dewa. Kekuasaan dengan segala sisi positif dan negatifnya (Jawa) tidak bisa disatukan dengan Pulau Suci Parahyangan Dewa (Bali).
Pura Segara Rupek merupakan salah satu Pura Dang Kahyangan di Bali, linggih Ida Bhatara Hyang Siwa Baruna Geni. Sebagai Pura Dang Kahyangan bersifat universal, seluruh umat ciptaan Tuhan sejagat boleh bersembahyang ke sana. Pura Kahyangan Jagat tersebar di seluruh dunia.
Dilihat dari strukturnya, Pura Segara Rupek dikategorikan pura tua. Namun demikian baru saat ini mendapat sentuhan pembangunan. Pelinggih-pelinggihnya pun diperbaharui mengacu pada Lontar Asta Kosala Kosali dan Asta bhumi, mengandung Falsafah “Tri Hita Karana”, “Panca Maha Butha” dan “Dewata Nawa Sanga”.
Ketiga falsafah tersebut menjadi dasar pembuatan Pura yang di dalamnya terdapat suatu pemahaman mengenai alam yang dikaitkan dengan kepercayaan Hindu di Bali, seperti pengaruh Dewa yang terdapat pada setiap penjuru mata angin.
“Karya melaspas ini biayanya bersumber dari masyarakat, khususnya pasemetonan Maha Kertha Warga Bang Siddhimantra (Arya Wang Bang Pinatih, Arya Wang Bang Sidemen, Arya Wang Bang Wayabya dan Sira Agra Manikan, red) serta Pemerintah Daerah,” ujar Diwangkara seraya mengucapkan terima kasih kepada semua donatur dan memohon doa restu karya berjalan dengan lancar. (BB/501/esa/wnt)