Mediasi PHDI tak Bergigi, Pangempon Pura Bingin Ambe Gigit Jari

Denpasar | barometerbali – Harapan pangempon (warga penyungsung dan pemelihara, red) Pura Dalem Bingin Ambe yang kabengbeng (terkurung, red) untuk memperoleh kembali jaba tengah dan jaba sisi sebagai akses masuk menuju pura tembus langsung ke Jl. Ternate Denpasar seperti sedia kala nampaknya masih berlangsung alot.
Pasalnya sejak tahun 1996 akses masuk ke tempat persembahyangan umat Hindu tersebut disertifikatkan dan ditembok oleh anak angkat dari mendiang Made Griya yang telah berpindah keyakinan. Pihaknya tetap belum bersedia menyerahkan dan mengikhlaskan lahan yang mereka klaim menjadi miliknya. Tentu saja peristiwa miris ini menjadi ironi ibarat anarki di tanah sendiri.
Persoalan ini juga menimbulkan pertanyaan besar bagi umat terkait pertaruhan harga diri dan menjadi parameter dalam menakar sejauh mana kerja keras Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) memperjuangkan hak asasi beragama dan kemerdekaan umatnya menjalankan ibadah di tempat sucinya.

Ketua PHDI Kota Denpasar hasil Mahasabha XII, I Made Arka yang turun langsung bersama pengurusnya seperti Sekretaris Putu Tarma, Waki Ketua Bidang Kebudayaan dan Kearifan Lokal AA Ngurah Bima Wikrama, Wakil Ketua Bidang Hukum dan Hak Asasi Manusia Putu Danis Rumanggi ke Pura Dalem Bingin Ambe, Rabu (14/9/2022).
Mereka berdialog dengan pangempon pura yang berharap PHDI bisa melakukan langkah lebih serius dan proaktif mengembalikan keutuhan lahan pura sesuai konsep Tri Mandala (Utama, Madya dan Nista Mandala, red).
Kepada pangempon pura yang diwakili Ketut Gede Muliartha, Kadek Mariata didampingi Ketua Yayasan Kesatria Keris Bali Ketut Putra Ismaya Jaya (Jro Bima), Ketua PHDI menyampaikan dirinya terus berupaya memediasi hingga ada kesepakatan bersama terkait luasan lahan yang dimohon untuk dihibahkan oleh pihak penembok pura.

“Belum ada keputusan. Karena perbedaan permohonan. Permohonan yang berbeda, pemberian yang berbeda. Tentunya kami pasti akan mediasi lagi. Ini kan kasusnya sudah bertahun-tahun. Kita sudah memberikan beberapa cara untuk menegosiasikan hal ini. Pemilik tanah memberikan tanah 2 meter di depan pintu masuk (pamedal, red) pura dan membuat pernyataan. Kita serahkan itu kembali kepada para pangempon pura untuk menindaklanjuti,” ungkap Arka didampingi Wakil Ketua Bidang Hukum dan Hak Asasi Manusia PHDI Kota Denpasar Putu Danis Rumanggi.
“Kami juga turun kembali ke lapangan karena ada pihak dari pangempon untuk meminta kembali tanah tersebut,” sambung Made Arka.
Ia menjelaskan kembali bahwa pemilik kos-kosan sudah bersedia memberikan akses masuk selebar 2 meter (200 cm) dengan cara membongkar tembok yang sudah dibangun permanen. Namun, akses tersebut dianggap kurang pas oleh pihak pangempon pura, karena pada awalnya pintu masuk Pura Dalem Bingin Ambe menghadap ke selatan dan tembus di Jalan Ternate Denpasar.

Pihak ahli waris (yang menembok akses pura) hanya bersedia memberikan jalan setapak selebar 2 meter menuju pamedal (pintu masuk pura, red) melewati bangunan milik orang lain yang menurut pangempon pura suatu saat bisa saja dijual dan ditutup oleh pembelinya.
Saat Made Arka ditanyakan apakah konsep Tri Mandala dan Asta Kosala Kosali merupakan harga mati yang sudah pakem desain arsitektur dan luasan lahan pura, ia membenarkan namun tak bisa banyak komentar karena dalam kasus ini merupakan masalah keluarga dan sudah disertifikatkan menjadi milik pribadi oleh ahli waris.
“Intinya kami dari PHDI Kota Denpasar akan tetap melakukan mediasi hingga permasalahan ini nantinya bisa selesai, dan bisa menemukan jalan keluar,” kilahnya.
Ia juga mengatakan bahwa keinginannya adalah menyelesaikan kasus ini jangan sampai menimbulkan polemik baru lagi.
“Kita di PHDI memiliki keinginan menyelesaikan sesuai dengan semboyan kita “moksartham jagadhita ya ca iti dharma” (tujuan dharma/agama untuk kebahagiaan duniawi dan akhirat, red), agar tidak adalagi permasalahan baru. Kita akan mediasi lagi karena permintaan dari pangempon berbeda,” tutup Made Arka.

Untuk diketahui pura tua yang diduga sebagai situs cagar budaya ini disebutkan telah berdiri dan diwarisi sejak abad XVIII memiliki pangempon sejumlah 200 KK (sekitar 500 orang, red) sudah seharusnya dijaga, dipertahankan dan dilestarikan oleh lembaga umat.
Kejadian yang sujatinya mengusik perasaan dan hak mendasar umat beragama di negara Indonesia yang berasaskan Pancasila ini tidak melulu dikatakan perkara internal keluarga.
Namun dalam sekian kali mediasi itu PHDI dinilai oleh beberapa pihak tak menunjukkan taringnya alias tak “bergigi” dalam menyuarakan keinginan dan keadilan bagi pangempon pura karena pihak pemilik kos-kosan bersikukuh tak mau memberikan lahannya untuk akses masuk pura.
Dimintai pendapat dari hasil pertemuan dengan PHDI tersebut, salah satu pangempon pura Kadek Mariata menyatakan, bahwa dari awal penutupan akses jalan pintu masuk (pamedal) Pura itu sudah dirasakan salah dan juga sudah menyalahi aturan.
Langkah mediasi panjang yang ditempuh PHDI, oleh pangempon pura dianggap lemah dan jika tak melakukan tindakan tegas maka ditengarai akan menjadi preseden buruk ancaman terhadap pura bersejarah lainnya.
“Itu pamedal pura. Anehnya lagi di depan pintu masuk pura sampai bisa dibangun kos-kosan. Kok bisa dengan mudah dan gampangnya? Hal ini yang musti segera ditindaklanjuti oleh PHDI Kota Denpasar. Paling tidak dipakai upaya apa. Ini kalau tidak kita perjuangkan, lama-lama depan Pura Besakih itu ada mall,” tandas Kadek Mariata.

Ia juga menggarisbawahi Pura Dalem Bingin Ambe ini ada, jauh sebelum NKRI ini lahir. Untuk itu ia akan menggali dan mengkaji dari sisi hukum lantaran peralihan lahan pura itu dari putusan pengadilan.
“Ini kan untuk kepentingan umat Hindu, orang Bali juga. Bukan sebatas hanya melakukan mediasi yang ujung-ujungnya tidak juga menemukan titik terang dari permasalahan ini. Kalau berani mengambil sanan (hak), mestinya dia (pemilik kos-kosan) juga mengambil tetegenan (kewajiban),” pungkas Kadek Mariata.
Dalam kesempatan tersebut Jro Bima di akhir pertemuan mengabarkan bahwa keinginannya untuk terus menyuarakan dan memperjuangkan nasib pura dan nyama (saudara) Bali ini.
“Ini mencederai harga diri orang Hindu Bali, kok bisa di depan jalan masuk pura ditutup dan dibuatkan kamar kos-kosan, seolah olah tidak ada yang punya nyali untuk harga diri orang Hindu bali di tanah sendiri,” teriak Jro Bima.
Ia juga menuturkan bahwa di pura ini adalah bagian dari leluhurnya yang di Buleleng (Ki Barak Panji Sakti, red).
Menanggapi hasil rangkuman dari PHDI bahwa akses jalan yang diberikan pemilik kos-kosan berbentuk “L”, tentu tidak sesuai dengan harapannya serta pangempon pura.
“Kalau pintu (jalan) belak-belok gini kan bukan jalan utama, tidak sesuai dengan Kosala Kosali jalan dari Ida Bhatara. Saya sangat kecewa sekali sebagai umat Hindu Bali, yang mereka (pemilik kos-kosan) seharusnya ikut menjadi pangempon di pura ini karena ia mendapatkan waris pelaba pura,” tegas Jro Bima.

Ia mempertanyakan rasa keimanan dan rasa keikhlasan pemilik kos-kosan untuk mewakafkan tanahnya demi akses pura ini. Untuk saat ini Jro Bima masih menyerahkan masalah ini kepada PHDI, apabila PHDI dirasa tidak mampu, dirinya akan bergerak dengan gerakan hukum dan penggalangan massa.
“Saya mungkin akan melakukan langkah hukum bila ini berlarut-larut atau mungkin akan menggerakkan massa umat Hindu yang peduli terhadap permasalahan ini. Apakah akan diminta urunan Rp50.000,- bila ingin dibeli tempat ini. Atau kah demo besar-besaran itu bisa saja. Kita tetap akan buktikan kinerja PHDI dalam memperjuangkan tanah ini,” harap Jro Bima. (BB/501)