Made Sudiasa Tegaskan Tajen Urusan Polisi, Tabuh Rah Budaya Bali
Ket foto: Tokoh masyarakat Bangli Made Sudiasa (ist)
Bangli | barometerbali – Terkait dengan banyaknya penutupan arena tajen (sabung ayam, red) di wilayah Bali oleh aparat kepolisian, mendapatkan sorotan dari tokoh masyarakat dan beberapa lembaga swadaya masyarakat (LSM).
Salah satunya datang dari tokoh masyarakat asal Tembuku, Bangli I Made Sudiasa yang mempertanyakan sekaligus membahas dari segi tradisi, sosial, budaya hingga menyentuh pelanggaran Pasal 303 KUHP tentang perjudian.
I Made Sudiasa yang juga anggota Fraksi Partai Demokrat di DPRD Bangli ini mengaku menerima aspirasi masyarakat terkait pelaksanaan sabung ayam atau tabuh rah. Tabuh Rah ini agar masuk dalam Perda Provinsi Bali tentang penyelenggaraan atraksi budaya.
Ia melihat tajen merupakan suatu tradisi dalam rangkaian upacara adat yang sudah dilakukan warga Bali secara turun temurun yakni Tabuh Rah.
“Dalam kegiatan ritual upacara di Bali kegiatan tajen atau Tabuh Rah memang merupakan bagian rangkaian yang tidak bisa dipisahkan, asal teknisnya bisa dikemas dan koordinasi yang baik,” jelasnya kepada wartawan di pojok alun alun Kota Bangli, Sabtu (24/9/2022).
Lebih lanjut disampaikan Sudiasa, tajen merupakan permainan tergantung kita yang memandang dan menyikapi seperti olahraga tinju, dan sepak bola yang juga termasuk permainan.
“Segala sesuatu tergantung kita yang melihat dan menyikapi, kalau tajen dianggap sebagai judi, permainan tinju, sepak bola ataupun permainan lainnya tidak dikatakan gambling (judi, red),” bebernya.
“Di sana pun kami pernah melihat adanya taruhan bagi maniak (penggila, red) olahraga tinju ataupun olahraga lainnya, apa itu tidak judi?,” singgung Sudiasa.
Tajen menurutnya, kalau dikemas dengan baik merupakan penggerak perputaran arus uang. Di arena tajen ada dagang, tempat transaksi penjual dengan pembeli, dan jasa-jasa lainnya (tukang pasang taji, mubut bulun siap, pungutan parkir dll).
“Dalam arena tajen ada perputaran arus ekonomi atau perputaran uang karena adanya penjual dan pembeli. Masyarakat yang berjualan di arena tajen merasakan bagaimana perputaran ekonomi terasa,” tuturnya.
Beberapa masyarakat yang ditemui wartawan secara terpisah menuturkan, semenjak ditutupnya tajen, perputaran ekonomi terasa drastis mengalami penurunan, terutama yang biasa berjualan di arena tajen.
“Terasa sekali perputaran ekonominya bagi pedagang kecil, karena saat ada tajen adalah pemasukan saat berjualan di arena,” keluh salah satu pedagang.
“Saat ada tajen semua dagang dapet aja kecipratan, dagang es, nasi, dan dagang lainnya,” cetusnya bernada lesu.
Sudiasa menambahkan agar kita bersama termasuk Pemprov Bali menyikapi dengan bijak pengkajian tentang tajen ini, apalagi mulai bergulirnya wacana pengembangan Atraksi Budaya Tradisional Bali (ABTB) di mana tajen bisa dijadikan salah satu atraksi budaya.
“Dengan mulai bergulirnya wacana atraksi Budaya Tradisional Bali (ABTB) tajen termasuk bagian tradisi budaya yang ada dari dulu. Seperti yang diketahui setelah selesai melaksanakan rutinitas kerja sebagai hiburan masyarakat mebombong ayamnya, baik setelah dari sawah ataupun kerja lainnya,” imbuhnya.
“Tidak dipungkiri setelah bekerja penuh kelelahan dan penat pasti perlu hiburan untuk merilekskan beban pikiran. Selain berkumpul dengan teman, olahraga mebombong ayam pun menjadi pilihan. Intinya selama tidak merugikan orang lain dan khalayak umum semua bisa dikaji,” tutup Sudiasa. (BB/501/sjn)