Gang Warisan Leluhur Diklaim Jalan Umum menuju Lahan Investor, Keluarga Besar Simping Melawan
Penolakan warga atas Berita Acara Kesepakatan Nomor: 140/2421/Desa Cemagi yang dikeluarkan oleh Perbekel Cemagi, tanggal 13 Desember 2022
Foto: Aksi damai Keluarga Besar Simping menolak kesepakatan dikeluarkan oleh Perbekel Cemagi yang dianggap berpihak terkait permasalahan gang peninggalan leluhur yang diklaim pihak investor sebagai jalan umum di Br. Mengening, Desa Cemagi, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung, Selasa (20/12/2022). (BB/db)
Badung | barometerbali – Sejumlah warga menamakan dirinya Keluarga Besar Simping meradang dan gusar karena gang peninggalan leluhurnya diputuskan oleh Perbekel Desa Cemagi, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung sebagai jalan umum menuju lahan investor tanpa persetujuan mereka. Keresahan 19 KK tersebut diungkapkan dengan menggelar aksi penolakan dengan membentangkan spanduk bertuliskan, “Keluarga Besar Simping Menolak Arogansi Pejabat Publik”. Aksi ini dipimpin oleh I Made Kardiana, S.Pd, di titik lokasi yang dipermasalahkan di wilayah Banjar Mengening, Desa Cemagi, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung, Selasa (20/12/2022).
Kuasa Hukum Keluarga Besar Simping I Ketut Alit Priana Nusantara, S.H., M.H., C.L.A., menyatakan dengan telah di-launching-nya Desa Cemagi beberapa waktu lalu sebagai desa wisata dipastikan menjadi daya tarik investor untuk mengembangkan wilayah Cemagi. Namun terkait hal ini Keluarga Besar Simping sangat mendukung dan tidak menolaknya.
“Tapi permasalahan ini mulai muncul dari sikap sejumlah orang yang mengaku sebagai perwakilan investor mengklaim akses jalan masuk ke rumah warga wilayah Banjar Mengening, Desa Cemagi ‘milik’ kami sebagai jalan umum dan merasa berhak melawati jalan tersebut untuk membangun jembatan dan membuka kawasan baru untuk perluasan pengembangan atau pengaplingan tanah di lahan persawahan,” jelas Alit.
Adanya klaim dari sebagian orang yang menyatakan akses jalan masuk ke rumah warga tersebut adalah jalan umum, sementara kliennya mengklaim jalan tersebut adalah gang yang dibuat khusus dan merupakan bagian dari tanah peninggalan leluhur.
Lebih lanjut Alit memaparkan menyikapi hal tersebut pada tanggal 15 Agustus 2022 telah diadakan rapat oleh warga yang tinggal di lokasi setempat guna mengetahui respon dari masing-masing warga atas adanya rencana penggunaan jalan akses masuk sebagai sarana lalu lintas untuk perluasan pengembangan atau pengaplingan tanah.
“Adapun hasil rapat warga pada pokoknya sepakat menolak pemanfaatan jalan sebagai sarana lalu lintas untuk perluasan pengembangan/pengaplingan dan menyerahkan permasalahan tersebut sesuai dengan aturan hukum yang berlaku,” tegasnya.
Dikatakan, sebagai upaya mencegah peruntukan jalan yang tidak sesuai dengan fungsinya, maka warga sekitar secara bersama-sama mengambil inisiatif untuk membuat pembatas jalan,” kata Alit.
Hal ini menurutnya dilakukan semata-mata agar semua pihak saling terbuka dan tertib dengan prosedur hukum yang berlaku, kekhawatiran warga jangan sampai akses jalan sudah terlanjur digunakan sementara warga terkait mendapatkan dampak buruk dari pengunaan jalan yang tidak sesuai dengan fungsi dan spesifikasinya, apabila hal tersebut terjadi justru akan menimbulkan permasalahan yang lebih kompleks.
“Selain hal tersebut, yang paling prinsip adalah memperhatikan fakta bahwa awal mula keberadaan jalan tersebut dirintis secara swadaya dan tidak diperuntukkan sebagai jalan umum, pada saat itu sebelum adanya akses jalan seluruh anggota warga pemilik tanah telah sepakat untuk menyisakan sebagian dari luasan tanahnya untuk dipergunakan sebagai jalan akses masuk ke rumah warga pemilik tanah masing-masing,” bebernya.
Selanjutnya terdapat 2 (dua) orang warga yakni I Putu Herman dan I Nyoman Kariana yang mengaku sebagai pemilik sawah di seberang jalan mengadu/melapor kepada Perbekel Desa Cemagi karena merasa keberatan dengan adanya pembatas jalan. Atas pengaduan/laporan tersebut Perbekel Desa Cemagi menggagas pertemuan dan mengundang pihak-pihak terkait.
Pertemuan dilakukan pada hari Selasa tanggal 13 Desember 2022 dengan acara/agenda koordinasi masalah jalan, adapun hal-hal yang sempat dibahas, sesuai dengan berita acara rapat yang pihaknya susun. Dalam rapat terdapat poin-poin penting diantaranya Perbekel Cemagi pada saat membuka rapat menyampaikan agar semua pihak dapat menjaga keamanan, ketertiban desa dan berharap permasalahan yang terjadi dapat diselesaikan melalui musyawarah.
“Klien kami menyambut agar musyawarah dapat dilangsungkan melalui forum internal keluarga, mengingat kedua belah pihak masih merupakan bagian dari keluarga besar,” imbuh Alit.
Selanjutnya, setelah mendengarkan pendapat dari kedua belah pihak, termasuk dari pihak kelian dinas dan pekaseh (ketua organisasi saluran irigasi sawah/subak), terungkap bahwa selain persoalan jalan terdapat persoalan tembok pembatas jalan (yang dibangun oleh kliennya) dan persoalan jembatan (yang dibangun oleh pihak pengadu) yang menurut kliennya dibuat secara melanggar hukum.
Mengenai keberadaan jalan maupun jembatan yang saat ini sedang dipermasalahkan, kliennya sudah membuka ruang untuk melanjutkan pembicaraan sembari mencari jalan keluar yang terbaik.
“Untuk menghindari benturan, kami menyarankan kepada Perbekel Cemagi untuk mengangkat persoalan agar ditangani oleh instansi pemerintah yang berwenang dalam menentukan status jalan dan status jembatan yang telah ada, termasuk bila diperlukan para pihak dapat menempuh jalur hukum,” tandas Alit.
Permasalahan semakin keruh karena tiba-tiba Perbekel Cemagi mengambil alih rapat dengan menyampaikan keputusan yang mengejutkan, padahal jelas-jelas pihaknya sudah mengusulkan agar permasalahan ini dapat diselesaikan oleh pihak keluarga yang bersengketa.
Selanjutnya rapat diakhiri dengan keputusan yang isi pada pokoknya sama dengan poin surat Berita Acara Kesepakatan Nomor: 140/2421/Desa Cemagi, yang dikeluarkan oleh Perbekel Cemagi Tanggal 13 Desember 2022.
Menanggapi surat Berita Acara Kesepakatan Nomor: 140/2421/Desa Cemagi, yang dikeluarkan oleh Perbekel Cemagi tanggal 13 Desember 2022, secara tertulis warga terkait melalui kuasa hukumnya telah menyampaikan keberatannya sebagaimana termuat dalam Surat Keberatan Nomor: 53/ANP-Srt.Tanggapan/XII/2022.
Adapun alasan keberatan pada pokoknya Alit menilai isi keputusan yang termuat dalam surat Berita Acara Kesepakatan Nomor: 140/2421/Desa Cemagi, yang dikeluarkan oleh Perbekel Cemagi tanggal 13 Desember 2022 terdapat indikasi pelanggaran karena saat rapat koordinasi dilakukan tidaklah menghasilkan kesepakatan di antara kedua belah pihak.
“Namun anehnya dibuatkan berita acara kesepakatan yang isinya bukanlah kesepakatan melainkan keputusan sepihak dari Perbekel Cemagi, ini merupakan salah satu bentuk arogansi, memihak dan patut diduga sebagai pembohongan publik,” ujar Alit dari Kantor Hukum Alit Nusantara & Partners (ANP) ini.
Kepala Desa Cemagi menurut Alit tidak mengetahui tentang batas kewenangan yang berkaitan dengan jalan dan jembatan, sehingga keputusan tersebut selain cacat prosedur, cacat formil juga mengandung cacat materiil dan oleh karenanya patut diabaikan.
“Klien kami menolak keputusan sepihak dari Perbekel Cemagi dan tidak akan melaksanakan keputusan tersebut sebelum adanya keputusan dari instansi pemerintah yang berwenang untuk itu sesuai dengan aturan hukum yang berlaku, atau berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap,” pungkas Alit.
I Made Kardiana selaku perwakilan Keluarga Besar Simping menuturkan sejarah jalan sepanjang sekitar 200 meter itu dibangun secara swadaya sejak sejak tahun 1927. Keluarga besar sepakat menyisihkan tanahnya yang berbatasan langsung dengan jelinjingan (parit sawah) di sebelah timur untuk dipergunakan sebagai jalan akses masuk ke rumah pemilik tanah masing-masing.
“Dulunya tanah rumah berbatasan dengan jelinjingan, hanya dipagari kayu, ada yang diisi ternak babi, kemudian kami sepakat menarik tembok rumah agar bisa jadi jalan,” ungkap Kardiana didampingi I Gede Yuli Artiana, dan I Putu Widnyana.
Dijelaskan pula tidak ada keterlibatan aparat pemerintah yang berwenang dalam perencanaan pembuatannya. Bahkan, tempat ibadah mereka yakni Pura Ratu Made Pengadangan yang juga berbatasan langsung dengan jelinjingan terpaksa di-gingsir (dipindahkan) demi akses tersebut pada tahun 1975.
Diceritakan Kardiana, pada tahun 2016 diadakan PTSL, saat dilakukannya proses pengukuran tanah oleh petugas kantor pertanahan, warga pemilik tanah setempat tidak diizinkan untuk menunjukkan batas tanah sampai jelinjingan oleh kelian banjar dinas pada saat itu sembari mengatakan apabila batasnya sampai jelinjingan maka SHM tidak akan diterbitkan, sehingga pengukuran tanah hanya dilakukan sampai dengan batas terluar tembok pagar rumah masing-masing. Pihak keluarga menjadi resah dan merasa diintimidasi dalam hal ini.
“Apabila batasnya sampai jelinjingan, maka SHM tidak akan diterbitkan. Sehingga pengukuran tanah hanya dilakukan sampai dengan batas terluar tembok pagar rumah masing-masing.
Padahal kepemilikan dan penguasaan tanah sejak dahulu berbatasan langsung dengan jelinjingan, hal ini dapat dilihat dari adanya bangunan lama berupa kandang babi yang letaknya tepat berbatasan dengan jelinjingan,” tutupnya.
Menyikapi kasus ini, Alit Nusantara menegaskan akan menempuh langkah hukum. Sebagai alat kontrol pihaknya telah melakukan pengaduan resmi ke Bupati Badung karena menganggap sikap yang diambil oleh Perbekel Cemagi merupakan bentuk arogansi sekaligus pembohongan publik.
“Selanjutnya kami juga akan melakukan laporan kepada Bupati Badung sebagai atasan Pemerintah Desa Cemagi dan surat pengaduan Komisi Ombudsman RI Perwakilan Bali,” sebutnya.
Selama permasalahan ini belum tuntas, kliennya tidak akan melaksanakan keputusan dari Perbekel Cemagi tersebut.
“Sebelum adanya keputusan dari instansi pemerintah yang berwenang untuk itu sesuai dengan aturan hukum yang berlaku, atau berdasarkan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap,” pungkas Alit Nusantara.
Hingga saat ini pihak yang disebutkan sebagai investor belum bisa dihubungi untuk dimintai konfirmasi. (BB/501)