Pengguna Rokok Elektrik Meningkat 10 Kali Lipat
Pemda disarankan melarang penggunaan rokok elektrik di Kawasan Tanpa Rokok (KTR) dan mengatur perizinan penjualannya di masyarakat
Acara temu media “Sinergi Media untuk Memperkuat Pengendalian Perilaku Merokok”, digelar Udayana Center for NCDs, Tobacco Control and Lung Health (Udayana CENTRAL) di Big Garden Corner, Denpasar, Rabu (1/2/2023). (Foto: BB/db)
Denpasar | barometerbali – Prevalensi penggunaan rokok elektronik (elektrik) pada orang dewasa di Indonesia meningkat 10 kali dari 0.3% pada tahun 2011 menjadi 3.0% pada tahun 2021. Prevalensi penggunaan rokok elektronik di Bali 4,2% lebih besar dari rata-rata nasional -2,8%. Demikian disampaikan dr Putu Ayu Swandewi Astuti,.MPh, Ph.D., selaku Ketua Udayana Center for NCDs, Tobacco Control and Lung Health (Udayana CENTRAL) Departemen Kesehatan Masyarakat dan Kedokteran Pencegahan, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana saat acara temu media “Sinergi Media untuk Memperkuat Pengendalian Perilaku Merokok”, di Big Garden Corner, Denpasar, Rabu (1/2/2023).
“Kalau kita pergi ke beberapa mini market itu ada beberapa jenis rokok elektronik yang dijual, dan juga ada beberapa toko yang menjual rokok elektronik. Berdasarkan data Global Adult Tobacco Survey tahun 2011 dan 2021, penggunaan rokok elektrik ini meningkat 10 kali lipat pada orang dewasa. Jadi di tahun 2011 prevalensinya dari 0,3 persen. Di tahun 2021 prevalensinya naik menjadi 3 persen,” rincinya.
Yang cukup mengejutkan dr. Ayu menyebutkan dari Data Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) tahun 2018 di Indonesia, penggunaan rokok elektronik pada usia remaja justru angkanya lebih tinggi. Pada remaja di Indonesia usia 10 hingga 18 tahun angkanya 10.9%, sedangkan di Bali usia 10 hingga 8 tahun angkanya 20,18%
“Sekitar 10 hingga 20 persen. Angkanya cukup tinggi malah pada remaja, dan ini sangat mengkhawatirkan karena tidak ada peraturan yang mengatur tentang penggunaan rokok elektronik ini. Walaupun saat ini sedang ada upaya revisi PP 109, tapi itu kan masih proses,” singgungnya.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, dr Ayu memberikan solusi antara lain pemerintah daerah melakukan tindakan tegas melarang penggunaan rokok elektronik di Kawasan Tanpa Rokok (KTR) dan mengatur perizinan penjualannya di masyarakat.
“Ada beberapa hal sebenarnya yang bisa dilakukan pemerintah daerah yakni melakukan upaya pelarangan penggunaan rokok elektronik di kawasan tanpa rokok, melakukan edukasi pada masyarakat termasuk remaja tentang bahaya dari rokok elektronik dan jika memungkinkan membatasi dan mengatur perijinan penjualan rokok elektrik,” tandas dr Ayu.
Pembicara lain dalam acara temu media tersebut Pejabat Fungsional Epidemiologi Kesehatan Dinas Kesehatan Provinsi Bali, I Gusti Ngurah Sri Dana SKM MKes yang menyampaikan sebagai satu langkah untuk mengurangi budaya merokok, Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) di Bali akan dilengkapi fasilitas layanan konseling berhenti merokok.
“Jumlahnya secara keseluruhan ada 120 Puskesmas. Setiap Puskesmas akan dijatah 2 petugas yang menangani terdiri dari dokter dan perawat,” sebut Ngurah Sri Dana.
Ia menambahkan pada tahun 2022 sudah dilakukan pelatihan terhadap 90 orang petugas dan akan ditambah 60 orang lagi pada tahun 2023.
Adapun dalam konseling, petugas akan mengawalinya dengan pemeriksaan kesehatan terkait resiko kecanduan merokok seperti tes terhadap fungsi paru, kadar nikotin dalam darah, serta tes lain yang terkait. Setelah itu barulah dilakukan konseling untuk mengurangi perilaku merokok.
Menanggapi kritik mengenai minimnya kunjungan setelah program itu diuji coba setahun terakhir, Sri Dana menyatakan pihaknya akan mendorong agar petugas lebih aktif melakukan penjangkauan sasaran.
“Khususnya, untuk perokok pemula dimana petugas akan mengunjungi sekolah dan kelompok anak muda lainnya,” sebutnya.
Langkah pelayanan itu, lanjutnya, untuk memutus kebiasaan merokok yang diduga terkait dengan penyakit-penyakit tidak menular seperti jantung, darah tinggi dan diabetes.
“Dari data Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) di Bali, penyakit-penyakit itu pula yang menyedot pembiayaan dan besarnya empat kali lipat lebih besar daripada penanganan penyakit menular,” tegasnya.
Dalam konseling itu, petugas akan mengawalinya dengan pemeriksaan kesehatan terkait resiko kecanduan merokok seperti tes terhadap fungsi paru, kadar nikotin dalam darah, serta tes lain yang terkait.
“Setelah itu barulah dilakukan konseling untuk mengurangi perilaku merokok,” pungkasnya.
Selanjutnya Penasihat Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Bali Made Kerta Duana, SKM, MPM memaparkan pentingnya implementasi peniadaan iklan di luar ruang, sebagai salah satu bentuk pencegahan terhadap perokok pemula di seluruh Bali.
“Perlahan diharapkan upaya ini bisa diterapkan kabupaten dan kota sehingga kebijakan itu bisa disinergikan di seluruh Bali. Kita berupaya menggerakkan anak dan remaja menjadi agen-agen perubahan yang bisa memengaruhi dari lingkungan keluarga,” harapnya didampingi Dr dr Ketut Suarjana MPH selaku tim peneliti dan Ketua Departemen Kesehatan Masyarakat dan Kedokteran Pencegahan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.
Made Kerta Duana menambahkan, pihaknya mendorong lahirnya klinik berhenti merokok. Layanan berhenti rokok diharapkan bisa lahir di tiap-tiap Puskemas.
“Langkah ini cukup positif dan pihaknya memfasilitasi ketika perokok ingin berhenti merokok dengan tersedianya klinik berhenti merokok,” tutupnya. (BB/501)