Pura Ulun Suwi Batu Lumbung Diisukan Berubah Nama, Budayawan Tolak Tegas
Budayawan dan juga Prajuru Bidang Tempat Suci dan Kawasan Suci Baga Adat Budaya, Agama dan Tradisi Majelis Desa Adat (MDA) Provinsi Bali, I Made Bakti Wiyasa menolak tegas perubahan nama dan renovasi Pura Ulun Suwi Batu Lumbung tak sesuai Asta Bumi dan Asta Kosala Kosali (Foto: BB/BW)
Tabanan | barometerbali – Desas-desus situs suci kuno sekaligus diduga kuat peninggalan zaman megalitikum Pura Ulun Suwi Batu Lumbung akan diubah nama dan statusnya menjadi Pura Kahyangan Jagat membuat resah Penganceng Pura dan Subak-subak di wilayah Penebel dan sekitarnya. Wacana ini tak luput menjadi sorotan dan keprihatinan budayawan yang juga Prajuru Bidang Tempat Suci dan Kawasan Suci Baga Adat Budaya, Agama dan Tradisi Majelis Desa Adat (MDA) Provinsi Bali, I Made Bakti Wiyasa.
“Tak seorang pun baik itu jero bandesa, prajuru adat, walaka belum bisa untuk mengubah nama dan tatanan sebuah pura kecuali sang purohito atau sulinggih yang memiliki tegak linggih, juga jelas dengan dasar sastra yang ada. Kan tak semuanya dari mereka mengerti tata titi dan paham tentang itu. Bukannya kita meragukan,” tandas Bakti Wiyasa saat dihubungi melalui sambungan telepon, Selasa, (28/3/2023).
Dimintai pendapat andaikata perubahan nama Pura yang terletak di Desa Adat Soka, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan ini dilatarbelakangi keinginan dari prajuru desa adat setempat untuk memperoleh bantuan pemerintah menurutnya tidak tepat karena hal ini terkait dengan urusan rohani.
“Ini menyangkut tegak linggih (legalitas, kedudukan dalam hal keagamaan), pemerintah dalam hal ini hanya bisa sebagai fasilitator. Ini rohani masalahnya. Beda kan pemerintah dengan rohani itu. Kalau tatanan rohani yang menentukan kan hulu-hulu yang menjadi rohani. Ini ranah yang berbeda. Misalnya dalam bidang pendanaan mesti selaras dengan pelestarian dan perawatan,” jelasnya.
Dalam menggelontorkan dana untuk rehabilitasi misalnya, pemerintah pun menurutnya harus ekstra hati-hati dan tetap turut melakukan pengawasan pada situs-situs suci yang diduga cagar budaya.
“Harus tetap dipantau saat pemerintah memberikan bantuan, apalagi pura itu terduga cagar budaya. Kalau tinggalan cagar budaya kan terlindungi. Kalau tinggalan terduga cagar budaya, kan belum terlindungi. Masalahnya belum terdaftarkan. Jadi semuanya itu baik benda, kawasan, strukturnya wajib terlindungi oleh negara dan pemerintah, bersama masyarakat dan bandesa,” harap Bakti Wiyasa yang dikenal sebagai perupa ternama Tabanan kerap diundang memamerkan karya lukisannya di dalam dan luar negeri.
Lebih lanjut ia memaparkan, kesadaran itulah yang perlu ditumbuhkan sesuai dengan Pergub nomor 25 tahun 2020 tentang Fasilitasi Perlindungan Pura, Pratima dan Simbol Keagamaan.
“Nah ini yang perlu disosialisasikan ke semua lini termasuk kepada pejabat-pejabat pemerintah sendiri, kepada prajuru adat, pejabat dinas, kepada tokoh-tokoh masyarakat, kepada figur-figur publik, kepada pemangku pura, pangempon dan lain-lain,” sebutnya.
Dengan demikian akar budaya Bali ini, benar-benar ter-cover, terlindungi karena menurut Bakti Wiyasa di sinilah titik lemahnya kita saat ini.
“Misalnya ada pihak menggelontorkan dana baik dari lembaga pemerintah ataupun swasta yang naksir lahan itu, mungkin karena belum mengetahui dan dicek kebenarannya bisa saja kita terjebak. Ujung-ujungnya kita kehilangan pura tersebut, baik keasliannya, baik tinggalan cagar budaya berupa benda, struktur, pusaka, maupun tatanan-tatanan lainnya,” tegasnya mengingatkan.
Bakti Wiyasa menekankan jikalau belum dikategorikan sebagai cagar budaya akan tetapi Pura Ulun Suwi Batu Lumbung ini sudah menjadi terduga cagar budaya. Ia berharap untuk mempercepat tejadi perlindungan perlulah setiap bandesa adat melaporkan situs-situs tua dan kuno kepada Dinas Kebudayaan setempat misalnya di Tabanan. Sehingga pemerintah bisa segera mengirim tim cagar ahli budaya, baru keluar rekomendasi untuk penetapan kepada pejabat setempat. Sebelum itu lakukan pendataan secara mandiri.
Kembali ditegaskan apabila Pura Ulun Suwi Batu Lumbung struktur aslinya diubah, kawasan dan nama Pura menjadi Pura Kahyangan Jagat tidak sesuai aslinya sesuai syarat-syarat sebagai cagar budaya otomatis akan gugur.
“Nunggu lagi 50 tahun banyak itu nanti, Kalau nama dirubah, fungsinya juga akan berubah. Kalau itu memang Ulun Suwi pemahamannya, hukumnya sebagai pewaris Rambut Sedana, Manik Galih, karena terkait dengan Gama Tirta, aliran toya-nya ke soang-soang subak. Nah ini yang sebenarnya harus dilindungi terkait ritus air. Ulun Suwi ini kan terkait situs air. Apabila tidak paham tentang ini akan keluar rekomendasi yang tak kita inginkan bersama. Dampaknya masyarakat subak itu akan tidak lagi bisa ke sana, sungkan dengan kegiatan rohani di sana karena biasanya ada ritual Mapag Toya. Cirinya apabila di Pura Batu Lumbung ada upacara besar seluruh aliran air ini akan Nyepi Subak untuk menghormati apa yang terjadi di hulu karena ada upacara suci di sana.
Begitu juga subak yang ada di daerah Senganan, Penebel, Marga akan berubah,” bebernya.
Pengaruhnya juga pada mata pencarian kehidupan dan bisa menimbulkan konflik karena banyak elemen yang terkait di dalamnya.ini
“Bali ini tenget (keramat) agar kita tidak salah langkah. Tapi saya bisa memberikan pendampingan dan rekomendasi pura kuno dan situs kuno. Hal ini terkait Dinas Pertanian dan subak-subak. Ini kebudayaan megalitik dan agraris yang satu-satunya masih hidup, bertahan dan bisa dilihat situsnya,” tandasnya.
Jika diubah maka umat dan masyarakat akan enggan lagi ke sana serta bisa memacu alih fungsi lahan. Karena pura ini tambahnya menjadi pusat rohani, kebudayaan, sosial dan kemakmuran. Selain itu sebagai pusat sosialisasi di antara kawasan lereng Batukaru. Dalam kaitan ini kebudayaan kita sedang direncanakan sesuatu dan terancam tergoda akibat kekurangsadaran dan kekurangpahaman.
“Kalau pura diubah sikap saya pasti tidak setuju. Bahkan saya buat rekomendasi kalau penataan yang sifatnya sekuler silakan radius berapa di luar jangkauan silakan tapi harus ada persetujuan masyarakat dan seluruh elemen kalau hulu pura pertahankan bentuk, struktur juga bangunan dengan cara apa? Dengan cara Bali, yaitu nami lan ngayum. Nami itu mewarisi, ngayum itu (merestorasi, mengganti bentuk, struktur, dan ukuran yang sama.) Kita kan sudah diberikan kebudayaan yang simple dan gampang. Sudah diberikan yang mudah oleh Ida Bhatara Leluhur, mengapa kita mempersulit diri. Kita tugasnya memperkuat ekonom keluarga di kawasan daripada kita buang-buang dana banyak dan bawa pemikiran yang tumpang tindih lagi di situ. Cukup kita dalami pahami, nami kemudian ngayum, mewarisi, merestorasi, menjalankan ritus-ritus yang ada agar tenang bertani, berdagang dan mengerjakan hal-hal lain,” rincinya lagi.
Dalam pertemuan tanggal 31 Maret 2023 di Pura Ulun Suwi Batu Lumbung ia memastikan akan hadir dengan menyampaikan beberapa catatan penting. Kan kewajiban tyang sebagai pemangku kepentingan di bidang tempat suci dan kawasan suci di Bali. Karena terus terang kita banyak kecolongan. Supaya tidak kecolongan itulah makanya tyang turun. Bukan maksud saya menghalang-halangi. Ini akan kita kaji lagi di MDA.
“Kalau batu lumbungnya dipindah, tyang belum dengar, tetapi dapat foto-foto ada dibongkar di sana mungkin ada penggalian di sekitar batu itu keliling. Sehingga ada satu tanaman yang diprosesi sakral berupa beras mentik yang datang dari Karangasem, di sana itu kemarin hilang, dibabat. Beberapakali kalangan sangat menyayangkan karena itu prosesinya sakral,” imbuhnya.
Hal tersebut kata Bakti Wiyasa baru satu elemen yang sudah menimbulkan keresahan, apalagi di gambar desain rencana renovasi yang disebutkan sebagai Pura Kahyangan Luhur Batu Lumbung dari Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) Bali itu ada penambahan-penambahan yang menimbulkan kontradiksi di lapangan.
“Ada yang bilang tutup prerai (bagian kepala)-nya dibuka. Penambahan apakah sudah benar, apa yang ditambahkan. Apakah betul arsitek Indonesia itu tahu tentang Asta Bumi dan Asta Kosala-Kosali? Itu ngeratep (satu kesatuan) Itu harus dipahami. Saya sarankan belajar lah lagi. Kalau warisan tinggalan budaya yang sudah tua janganlah dijadikan tempat aktualisasi diri, yayasan, lembaga, atau swasta,” tutup Bakti Wiyasa. (BB/501)