Massifnya Covid-19 Mampu Ditanggulangi, Rabies Mestinya Bisa
Workshop Penyusunan Rencana Kegiatan Kabupaten/Kota untuk Pengendalian dan Penanggulangan Rabies di Provinsi Bali, di Kuta, Senin (10/4/2023). (Foto: BB/IAKMI)
Badung | barometerbali – Upaya mengentaskan kasus penyakit rabies di Provinsi Bali membutuhkan dukungan dan komitmen kuat pemerintah daerah (pemda) baik kabupaten dan kota serta stakeholder (pemangku kepentingan-red) lainnya khususnya dari sisi dukungan anggaran.
Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi Bali, Dewa Made Indra menegaskan hal itu saat membuka “Workshop Penyusunan Rencana Kegiatan Kabupaten/Kota untuk Pengendalian dan Penanggulangan Rabies di Provinsi Bali”, di Kuta, Senin 10 April 2023.
Dewa Made Indra mengakui, kasus rabies di Bali sangat fluktuatif dan belakangan sempat meningkat angka kasusnya. Menurutnya, Bali menghadapi dinamika sebaran kasus rabies di yang luar biasa sejumlah daerah seperti di Jembrana dan Karangasem.
Berbagai upaya dan sinergitas pemerintah bersama masyarakat akhirnya bisa menekan laju penyebaran rabies.
Diungkapkan, sempat kasus rabies meredup atau turun, belakangan kasusnya mulai naik dan sejumlah daerah masuk zona merah rabies.
Untuk itu pada kesempatan workshop yang digelar IAKMI (Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat) ini, Dewa Made Indra meminta pemerintah kabupaten/kota untuk merancang rencana aksi strategis atau gerakan yang berkesinambungan.
Meningkatnya kemnbali kasus rabies kata Dewa Made Indra, harus menjadi bahan evaluasi bersama dan strategi gerakan bersama seperti apa yang dilakukan.
“Kenapa sih bisa naik, kenapa bisa turun. Kita ambil pelajarannya,” sambung mantan Kepala Pelaksana BPBD Bali itu.
Dia meyakini, langkah strategis bersama dalam penanganan rabies bisa menekan laju penyebaran kasus rabies di Pulau Dewata..
Lebih lanjut, berkaca dari pengalaman Bali dalam penanganan Covid-19 yang dari sisi penyebaran kasusnya jauh lebih cepat dan massif dibanding rabies, tuntunya kasus rabies lebih mudah dikendalikan.
Tentunya, stakeholder harus menyamakan persepi, duduk bersama untuk kemudian membangun komitmen yang kuat dalam penanganan rabies. Diyakini dengan komitmen kuat itu akan bisa melahirkan strategi dan gerakan bersama menuntaskan kasus rabies.
Dalam amatannnya, penanganan kasus rabies masih terkesan setengah-setengah karena gerakan yang ditempuh masih sporadis.
“Dukungan anggaran kabupaten dan kota bahkan tidak ada, masih bergantung angaran dari provinsi,” tandasnya.
Jika hanya bergantung resources seperti anggaran dari pemerintah provinsi kata Dewa Made Indra maka akan sulit untuk mendapatkan capaian yang maksimal.
Untungnya, Bali masih banyak dibantu asosiasi seperti IAKMI maupun funding-funding luar negeri dalam penanganan rabies.
“Semoga perteman ini bisa menyamakan pemahaman bahwa kasus rabies prnting untuk dikendalikan,” tukasnya.
Ditegaskan kembali, jika ada gerakan aksi nyata kolaborasi bersama pemerintah daerah dan stakeholder lainnya sebagaimana saat Bali menghadapi Covid-19, maka kasus rabies akan lebih mudah dituntaskan.
“Saya yakin penyebaran rabies lebih lambat dari virus Covid-19, maka ini bisa kita tanggulangi, maka semua harus duduk bersama, susun langkah bersama yang simultan dann komprehensif,” imbuhnya.
Pada kesempatan sama, Kepala Bidang Peternakan dan Kesehatan Hewan Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Provinsi Bali, Nurul Hadi Kristiantri juga menegaskan, pentingnya komitmen bersama, termasuk dari pemerintah kabupaten/kota dalam penanganan rabies.
Sejauh ini, lanjut Nurul, pemerintah kabupaten/kota sudah memiliki alokasi anggaran khusus rabies baik mencakup pengadaan vaksin, dan pelaksanaan vaksinasi.
“Cakupan vaksinasi sampai dengan 9 April 2023, kita sudah mencapai 31,78 persen. Target kami sampai Juni itu kita bisa mencapai 80 persen,” sebutnya.
Hanya saja, diakuinya, karena keterbatasan dana ini, pihaknya mengharapkan dukungan dari IAKMI dari semua pihak, untuk mendukung mencapai target tersebut.
Disebutkan, Nurul Hadi Kristiantri, kasus rabies di Bali hingga per 31 Maret 2023 terdapat 135 kejadian.
Angka itu lebih rendah dibanding 2022 yang mencapai 690 kejadian atau rata-rata 55 kasus per bulan.
“Kasus tertinggi terjadi di Kabupaten Karangasem,” sebutnya.
Sementara, Ketua Pengurus Daerah (Pengda) Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat (IAKMI) Bali, Ni Made Dian Kurniasari menyatakan komitmennya untuk mendorong percepatan dan pengendalian rabies di Pulau Dewata.
Pihaknya juga sudah melakukan advokasi ke kabupaten/kota, dan dari sana kita menemukan berbagai praktik baik dan juga ada beberapa kendala yang memang juga harus dikomunikasikan dan didiskusikan lebih lanjut.
“Workshop Penyusunan Rencana Kegiatan Kabupaten/Kota untuk Pengendalian dan Penanggulangan Rabies di Provinsi Bali” diharapkan membuahkan capaian positif dan signifikan,” harap dia.
Disebutkan dalam workshop yang berlangsung dua hari ini yang mendapat dukungan APCAT dan The Union itu, bersama-sama mengidentifikasi, apa saja permasalahan yang terjadi di lapangan selama upaya percepatan pengendalian rabies.
Harapannya, setelah dilakukan identifikasi apa masalahnya, bisa menemukan akar penyebab masalahnya, kemudian sama-sama menentukan strategi atau langkah ke depannya.
“Sehingga kegiatan ini bisa menyeluruh dengan konsep atau pendekatan one health,” Made Dian Kurniasari mengakhiri. (BB/501)