Empat Saksi Ahli Tegaskan Kerugian Keuangan Negara hanya Bisa Dinyatakan oleh BPK
Sesuai dengan SEMA Nomor 4 Tahun 2016 dan Putusan MK Nomor 25/PUU-XIV/2016 terungkap dalam sidang praperadilan Rektor Unud
Foto: Empat Saksi Ahli yang dihadirkan Tim Kuasa Hukum Unud memberikan keterangannya dalam lanjutan sidang praperadilan terkait penetapan status tersangka Rektor Universitas Udayana (Unud) Prof. I Nyoman Gde Antara dalam kasus dugaan korupsi dana SPI Unud di ruang sidang Cakra PN Denpasar, Kamis (27/4/2023). (Kolase: BB/Db)
Denpasar | barometerbali – Lanjutan sidang praperadilan terkait penetapan status tersangka Rektor Universitas Udayana (Unud) Prof. I Nyoman Gde Antara dalam kasus dugaan korupsi dana SPI (Sumbangan Pengembangan Institusi) Unud kali ini menghadirkan empat orang Saksi Ahli. Semuanya sepakat dan menegaskan hanya audit BPK yang berwenang menyatakan ada kerugian keuangan negara bukan penyidik atau pihak kejaksaan. Demikian terungkap dalam persidangan yang berlangsung di ruang sidang Cakra dengan Hakim Tunggal Agus Akhyudi di PN Denpasar, Kamis (27/4/2023).
Keempat Saksi Ahli kompak menyatakan jikapun ada temuan kerugian keuangan negara dari hasil audit BPK bukan serta merta artinya ada tindak pidana korupsi karena pertanggungjawaban hukumnya bisa saja pidana (pidana korupsi), perdata ataupun administratif.
Adapun Saksi Ahli dengan latar belakang disiplin ilmu yang berkompeten tersebut yakni Dr. Dian Puji Nugraha Simatupang sebagai Ahli Hukum Keuangan Negara dari Universitas Indonesia (UI), Dr. Mahrus Ali, S.H., M.H. sebagai Ahli Hukum Acara Pidana Universitas Islam Indonesia, Dr. Hendry Julian Noor, S.H., M.Kn., sebagai Ahli Hukum Administrasi Universitas Gajah Mada (UGM) dan Dr. Dewa Gede Palguna dari Dosen Fakultas Hukum Unud.
Sedangkan dari Kejakasan Tinggi (Kejati) Bali selaku termohon praperadilan diwakili Jaksa Penuntut Umum (JPU ) Nyoman Astawa, SH dan Safri Haryadi, SH.
Terkait dengan apakah terdapat unsur kerugian keuangan negara dalam kasus SPI Unud ketika dikaitkan dengan argumentasi Tim Hukum Unud yang mempertanyakan klaim audit dan nilai kerugian keuangan negara yang disampaikan penyidik dalam hal ini pihak Kejaksaan Tinggi Bali , dapat disimak dalam keterangan para Saksi Ahli banyak merujuk Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2016 Tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2016 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan dan juga putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25 Tahun 2016.
SEMA 4/2016 ini mengatur bahwa kerugian keuangan negara hanya bisa dinyatakan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Apapun substansinya, SEMA itu tentu harus dipatuhi oleh para hakim sebagai pedoman memutus perkara.
Dalam point Rumusan Hukum Kamar Pidana pada angka 6 pada SEMA ini disebutkan bahwa instansi yang berwenang menyatakan ada tidaknya kerugian keuangan Negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan yang memiliki kewenangan konstitusional sedangkan instansi lainnya seperti Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan/ Inspektorat/Satuan Kerja Perangkat Daerah tetap berwenang melakukan pemeriksaan dan audit pengelolaan keuangan Negara namun tidak berwenang menyatakan atau men-declare adanya kerugian keuangan Negara. Dalam hal tertentu Hakim berdasarkan fakta persidangan dapat menilai adanya kerugian Negara dan besarnya kerugian Negara.
Sedangkan Putusan MK Nomor 25/PUU-XIV/2016 mencabut frasa “dapat” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Putusan MK ini menafsirkan bahwa frasa “dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor harus dibuktikan dengan kerugian keuangan negara yang nyata (actual loss) bukan potensi atau perkiraan kerugian keuangan negara (potential loss).
Dalam pertimbangannya, setidaknya terdapat empat tolok ukur yang menjadi ratio legis MK menggeser makna subtansi terhadap delik korupsi. Keempat tolok ukur tersebut adalah (1) nebis in idem dengan Putusan MK yang terdahulu yakni Putusan MK Nomor 003/PUU-IV/2006; (2) munculnya ketidakpastian hukum (legal uncertainty) dalam delik korupsi formil sehingga diubah menjadi delik materiil; (3) relasi/harmonisasi antara frasa “dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” dalam pendekatan pidana pada UU Tipikor dengan pendekatan administratif pada Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Administrasi Pemerintahan (UU AP); dan (4) adanya dugaan kriminalisasi dari Aparatur Sipil Negara (ASN) dengan menggunakan frasa “dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” dalam UU Tipikor.
“Untuk menentukan kerugian keuangan negara harus ada audit investigatif dari lembaga yang berwenang yakni BPK. Itu dilakukan sebelum proses hukum due process of law bukan setelah proses peradilan. Dan sesuai putusan MK Nomor 25 Tahun 2016 kerugian negara harus nyata dan pasti berdasarkan nilai buku atau nilai wajar yang nyata,” papar Saksi Ahli pertama Dr. Dian Puji Nugraha Simatupang, ahli hukum keuangan negara dari Universitas Indonesia (UI).
“Kerugian negara tidak boleh imajinasi, kira kira ataupun asumsi. Jadi harus nyata dan pasti dibuktikan dari dokumen dan hasil audit yang sah dari BPK,” sambungnya.
Saksi Ahli kedua, Dr. Mahrus Ali, S.H., M.H., sebagai Ahli Hukum Acara Pidana Universitas Islam Indonesia, menegaskan, terkait penetapan tersangka, wajib didahului dengan penghitungan kerugian negara oleh lembaga berwenang yang bersifat nyata dan faktual. Bila suatu kasus memang belum ada perhitungan, yang mana hanya dilakukan oleh penyidik, sehingga penetapan tersangka ini menjadi tidak sah.
Ditegaskannya bahwa penyidik tidak memiliki kewenangan untuk menghitung kerugian keuangan negara. Jika hal tersebut tetap dilakukan oleh penyidik maka kualitas pembuktiannya tidak terpenuhi. “Kalau penyidik audit sendiri tidak layak jadi alat bukti,” ujar Mahrus Ali.
Dia lantas menerangkan mengenai kualitas alat bukti yang mengacu pada empat hal yakni pertama harus relevan, kemudian yang kedua dapat diterima, ketiga diperoleh secara sah dan yang keempat adalah kualitas pembuktiannya.
Ditambahkannya biasanya di perkara tipikor di pasal 2 UU Tipikor pasti harus ada penghitungan kerugian negara terlebih dahulu. Ia lantas mencontohkan kasus Adi Purnomo dimana saat itu KPK kalah di pra peradilan karena proses penghitungannya belum selesai oleh BPK, namun sudah dinyatakan tersangka. Kemudian penetapan tersangka terhadap Adi Purnomo dibatalkan oleh hakim.
Dia menganalogikan suatu kasus dugaan korupsi yang belum ada hasil penghitungan kerugian keuangan negara malah sudah ditetapkan terangka dengan kasus pembunuhan yang sudah disidangkan padahal korbannya belum meninggal sebelum proses hukum dan baru meninggal di persidangan.
“Kalau kasus pembunuhan kan tidak mungkin orang jadi tersangka sementara korbannya belum mati, apalaginya meninggalkan baru di persidangan. Kan tidak seperti itu,” singgung Mahrus Ali.
Dia juga merujuk pada Putusan MK 25/2016 yang menyebutkan bahwa frasa “dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor harus dibuktikan dengan kerugian keuangan negara yang nyata (actual loss) bukan potensi atau perkiraan kerugian keuangan negara (potential loss).
“Jadi penyidik tidak bisa menghitung sendiri kerugian keuangan negara, tetapi harus berkoordinasi dengan lembaga berwengan yakni BPK atau dengan kata lain penyidik mengirimkan surat permohonan resmi kepada BPK dan hasilnya tersebut bisa menjadi laporan atau bukti surat,” beber Mahrus Ali.
Selanjutkan Saksi Ahli ketiga Dr. Hendry Julian Noor, S.H., M.Kn., (Ahli Hukum Administrasi UGM) menyatakan dirinya lebih banyak melihat dari sisi hukum administrasi terutama ketika berbicara soal kerugian keuangan negara. Terlebih lagi orang selalu mengidentikkan kasus yang merugikan keuangan negara dengan korupsi.
“Ini sebenarnya istilah orang selalu mengidentikkan bahwa yang namanya kalau terjadi kerugian negara atau kerugian keuangan negara itu akan selalu berakibat pada korupsi. Padahal tidak demikian,” terangnya.
Ditambahkannya setidaknya ada tiga pertanggungjawaban hukum yakni, pertanggungjawaban perdata, pertanggungjawaban administrasi, dan pertanggungjawaban pidana. Namun dalam kasus ini seolah-olah setiap terjadi kerugian keuangan negara atau kerugian negara itu adalah korupsi.
“Korupsi itu adalah kasus level tertinggi, karena harus ada kesalahan dan itu secara sengaja. Tidak demikian dengan administrasi,” katanya seraya menjelaskan bagaimana konsep kasus korupsi itu sendiri.
“Misalnya saya sebagai seorang pejabat atau petugas administrasi negara yang membawa uang negara, kemudian uang itu jatuh atau hilang, apakah itu dikatakan sebagai korupsi, kan tidak demikian konsepnya. Itu artinya ada kesalahan, kelalaian administratif. Atau kesalahan perdata karena menimbulkan kerugian,” paparnya.
Dia berbicara tentang audit kerugian keuangan negara dengan merujuk pada Putusan MK 25/2016 dan SEMA 4/2016.
“Kerugian keuangan negara itu harus actual loss atau nyata dan pasti maka harus benar-benar dapat dibuktikan. Dan itu harus benar-benar diaudit oleh lembaga yang berwenang. Selain itu dengan merujuk pada SEMA 4 Tahun 2016 yang memiliki kewenagan untuk mengaudit kerugian keuangan negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan atau BPK.
Di sisi lain dia juga menyoroti tentang hasil audit yang dihitung sendiri oleh penyidik. Ditegaskannya kembali bahwa kewenangan mengaudit kerugian keuangan negara ada pada BPK, bukan pada penyidik itu sendiri.
“Jadi bukan pada penyidik sendiri. Artinya tidak boleh dihitung sendiri, harus dilakukan oleh BPK, dengan kata lain pembuktian jika dilakukan oleh penyidik sendiri itu tidak sah,” cetusnya.
Secara analogi umum Hendry Julian Noor menjelaskan bahwa ketika Jaksa menduga ada terjadi kerugian keuangan negara maka secara tertib hukum yang bersangkutan harus mendapat hasil pengauditan dari BPK.
“Kalau misalnya Jaksa menduga telah terjadi kerugian keuangan negara, maka kalau mau tertib hukum dan itu yang benar sesuai putusan Mahkamah Konstitusi maupun SEMA, ya berarti penyidik, mau penyidikan KPK, mau penyidiknya Jaksa, mau penyidiknya Polisi, itu semua harus mendapatkan produknya dari BPK yang men-declare telah terjadi kerugian keuangan negara untuk dapat menyatakan telah terjadi kerugian keuangan negara,” pungkasnya.
Sementara itu, untuk Saksi Ahli keempat Dr. Dewa Gede Palguna, selaku Dosen Fakultas Hukum Unud menambahkan, sesuai keputusan mahkamah konstitusi nomor 25 tahun 2016 dijelaskan bahwa kata dapat merugikan keuangan negara itu tidak bertentangan dengan konstitusi.
“Kerugian negara itu menurut konstitusi, harus pasti jumlahnya dan itu harus dilakukan oleh instansi yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk oleh instansi wewenang.
“Oleh karena itu audit tidak boleh dilakukan sendiri di luar BPK, BPKP dan lembaga berwenang lain,” pungkas mantan hakim Mahkamah Konstitusi (MK) ini.
Sebelumnya diberitakan, ruang Rektorat Unud di Kampus Bukit diobok-obok dan digeledah pihak Kejati Bali. Beberapa saat kemudian Kejati Bali menetapkan Rektor Unud Prof Nyoman Gde Antara sebagai tersangka dugaan korupsi dana SPI dalam seleksi mandiri mahasiswa baru Unud tahun 2018 sampai 2022, bersama 3 pejabat Unud lainya yang telah lebih dulu ditetapkan tersangka.
Muncul hal yang dianggap ganjil ketika Rektor Unud Prof Nyoman Gde Antara yang diundang sebagai saksi pada Kamis, 9 Maret 2023 untuk datang pada Senin, 13 Maret 2023, namun ditetapkan sebagai tersangka sejak Rabu, 8 Maret 2023. Kejati Bali bahkan menjerat Prof Gde Antara dengan Pasal 2 Ayat 1, Pasal 3, Pasal 12 huruf e juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 55 Ayat 1 ke-1 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Dana SPI mahasiswa baru seleksi jalur mandiri Unud kurun 2018 sampai 2022, dari hasil penghitungan penyidik mengindikasikan korupsi sehingga menyebabkan kerugian keuangan negara Rp109,33 miliar dan merugikan perekonomian negara Rp334,57 miliar.
Untuk itu dalam sidang praperadilan sehari sebelumnya, Tim Kuasa Hukum Unud yang terdiri 20 orang advokat itu yakni Dr. Nyoman Sukandia, S.H., M.H., Gede Pasek Suardika, S.H., M.H., Agus Saputra, S.H., M.H., Erwin Siregar, S.H., M.H., I Wayan Purwita, S.H., M.H., Drs. I Ketut Ngastawa, S.H., M.H., I Gede Bagus Ananda Pratama, S.H., I Putu Mega Marantika, S.H., Komang Nila Adnyani, S.H., Putu Ari Sagita, S.H., M.H., I Made Kariada, S.E., S.H., M.H., Kadek Cita Ardana Yudi, S.H., Angga Arya Saputra, S.H., I Ketut Suasana Nirasaputra, S.H., Riska Rety, S.H., M.H., Rama Gemingkar Matram, S.H., Rahmat Sulistiyo, S.H., Ni Made Murniati, S.H., David Nikodemus, S.H., Seraphine Woro Widiastuti, S.H. membantah kewenangan yang disampaikan termohon. (BB/501)