Turah Panji Nilai Penetapan “Singasana” Minim Sosialisasi
Foto: AA Ngurah Panji Astika (Turah Panji) menilai penetapan nama ibukota Kabupaten Tabanan “Singasana”, minim sosialisasi dan timing-nya kurang tepat disampaikan saat diwawancara barometerbali.com di Puri Anom, Tabanan, Sabtu (13/5/2023). (BB/Ngurah Dibia)
Tabanan | barometerbali – Penetapan dan peluncuran Kabupaten Tabanan dengan ibukota barunya bernama Singasana oleh Pemerintah Kabupaten Tabanan justru menuai polemik di media sosial. Tidak ketinggalan juga mengundang komentar dari salah satu keturunan Puri Singasana di Puri Anom Tabanan yakni Anak Agung Ngurah Panji Astika, ST yang akrab disapa Turah Panji menilai minim sosialisasi.
Sebagai salah satu prati sentana (garis keturunan-red) puri yang merupakan putra dari Puri Singasana Tabanan, Turah Panji merasa wajib memberikan opini, saran serta kritik yang membangun untuk kebaikan Tabanan.
Dalam kesempatan wawancara dengan barometerbali.com di Puri Anom Tabanan, Sabtu (13/5/2023) malam, ia menyampaikan jika ditinjau dari sisi historis, memang sudah tepat Kota Tabanan ini disebut sebagai Singasanapura. Karena memang, antara nama kabupaten dengan nama kota, harusnya ada perbedaan. Ia mencontohkan nama ibu kota kabupaten di Bali, seperti Kabupaten Badung ibukotanya Mangupura, Klungkung Semarapura, dan Karangasem Amlapura.
“Itu semua ada hubungannya dengan sejarah. Dahulu saat Tabanan masih berbentuk kerajaan, Istana Kerajaan Tabanan itu bernama Puri Singasana. Bukan Singgasana ya, Singgasana itu kan bahasa Indonesia. Ini Singasana yang berasal dari kata Singa dan Asana yang artinya Singa yang sedang Asana atau bersikap tenang dan sempurna. Itu memang cerminan dari karakter Raja-Raja Tabanan zaman dahulu yang berwibawa dan bijaksana,” ungkapnya.
Sehingga dalam purana-purana lanjut Turah Panji, Raja Tabanan itu juga disebut sebagai Sang Nateng Singasana yang artinya Sang Nata ing Singasana atau dalam Bahasa Indonesia-nya Raja yang bertahta di Puri Singasana. Makanya lambangnya puri itu singa bersayap, biasanya ada di bale Singasari yang terletak di saren agung puri-puri di Tabanan.
“Banyak orang bilang itu seperti lambang Kota Singaraja (Buleleng), bukan, Singaraja itu munculnya belakangan. Karena Puri Singasana itu ada pada abad ke 14 sementara Singaraja baru lahir pada abad ke-17. Dari sisi historis, pemda sudah tepat,” tegas Turah Panji
Lalu apa yang menyebabkan terjadinya polemik di media sosial? Nah ini tentu perlu dicermati. Menurut Turah Panji, kemungkinan ini hanya masalah timing dan masalah sosialisasi di masyarakat. Masyarakat pasti bertanya urgensinya apa merubah Kota Tabanan menjadi Singasana. Ia mengamini sebelumnya sudah ditetapkan dalam Perda namun situasinya tidak tepat.
“Maksudnya begini, saat ini masyarakat belum merasakan aspirasi meraka terwakili oleh wakil-wakil rakyat, belum maksimal lah. Contohnya ini, pada saat rakyat menghadapi persoalan yang substantial, seperti persoalan sampah, jalanan di Kota Tabanan yang macet, kurangnya kantong-kantong parkir, taman kota yang minim, air PDAM yang seret, kebutuhan pupuk pertanian, dan lain-lain, wakil rakyat yang ada di wilayah Tabanan ini, tidak ada komentarnya sama sekali. Aspirasi mereka seolah-olah macet gitu lho,” singgungnya.
Tapi kemudian untuk urusan yang mungkin tak menyentuh langsung kepentingan primer rakyat itu, malah cepat sekali ditindaklanjuti. Hal semacam itulah baginya yang membuat rakyat kemungkinan menjadi sedikit negatif penerimaannya (penetapan nama ibukota Tabanan, Singasana-red).
“Saya melihatnya ada masyarakat yang apatis, ada juga masyarakat yang negatif komen-komennya,” cetus Turah Panji yang kini maju sebagai bacalon kuat dari Partai Gerindra Daerah Pemilihan (Dapil) Tabanan untuk DPRD Bali pada Pemilu Serentak 2024 nanti.
Dari pengamatannya, ia kembali mengatakan hal ini masalah timing (penentuan waktu-red) saja yang tidak tepat. Jika seandainya kemudian masyarakat merasa bahwa wakil rakyat itu aspiratif dengan kepentingan-kepentingan publik, menurutnya tentu hal ini tidak akan menjadi masalah.
“Berikutnya saya juga melihat ada masalah kurangnya sosialisasi di masyarakat. Saya yakin pasti pemerintah sudah menyiapkan kajian akademis untuk masalah ini, nah hasil kajian ini yang belum tersosialisasikan secara baik di bawah. Jangankan masyarakat umum, kami prati sentana puri-puri pewaris Puri Singasana seperti Puri Anom, Puri Dangin, Puri Kaleran, Puri Anyar, Puri Denpasar dan Puri Mecutan (Puri Agung Tabanan) rasanya belum pernah diajak bicara,” urai Turah Panji.
Sepengetahuannya saat penetapan Ibukota Kabupaten Badung, itu harus melalui proses diskusi dan perdebatan yang panjang dengan puri-puri dan pratisentana puri di Badung.
“Saya kira wajarlah kami diajak bicara, karena nama Singasanapura ini kan erat kaitannya dengan sejarah. Dulu Puri Singasana itu sebelum dihancurkan oleh Belanda tahun 1906 berlokasi di Gedung Mario, BPD (Gedung Bank Pembangunan Daerah Bali-red) sampai ke Jalan Gajah Mada. Sebelah selatan Puri Singasana itu ada rurung (jalan-red) makanya sebelah selatan Jalan Gajah Mada itu disebut Delod Rurung. Karena jalan Gajah Mada itu dulunya rurung yang memisahkan antar puri dengan sekitarnya. Kan tiba-tiba saja ini, nama kota ditetapkan berubah jadi Singasana. Sosialisasinya ke kami tidak ada,” beber Turah Panji yang juga Ketua Forum Pelestari Budaya Tabanan ini.
Juga terkait soal batas-batas Kota Tabanan yang dipertanyakan banyak pihak, menurutnya soal itu gampang untuk menentukan wilayahnya karena sudah terbentuk sejak dulu.
“Karena Kota Tabanan ini kan dulu dibagi menjadi beberapa distrik, pusat dari distrik-distrik di Tabanan itu adalah Distrik Kota Tabanan. Terdiri dari 3 desa yakni Desa Delod Peken, Dauh Peken, dan Dajan Peken. Titik Nol dari Kota Tabanan itu memang di sini, di antara Delod Peken dan Dajan Peken ya, di depan Puri Anom itu Titik Nol. Catus Pata itu Titik Nol Negara Tabanan zaman dulu,” tandas Turah Panji.
Sekali lagi Turah Panji menekankan yang kurang dalam polemik ini adalah faktor sosialisasi saja. Dirinya saja yang merupakan salah satu keturunan Puri Singasana sama sekali tidak mendapat informasi. Jadi tambahnya, seolah-olah kebijakan pemerintah dan masyarakatnya seperti tidak nyambung, sehingga menimbulkan tanggapan-tanggapan negatif di media sosial.
Ia berharap ke depan, pemerintah lebih aspiratif dan komunikatif lagi serta fokus kepada kepentingan masyarakat. Terutama kalau memang ada sesuatu hal yang merupakan kebijakan-kebijakan harus disosialisasikan dahulu sehingga masyarakat tidak kaget.
Ketika ditanyakan apakah penetapan ibukota Kabupaten Tabanan menjadi Singasana tepat, ia menegaskan dari aspek historis sudah sangat tepat, hanya persoalan situasional dan sosialisasinya saja yang belum pas.
“Jadi kesimpulannya apakah Kota Tabanan ini diubah menjadi Singasana tepat? Buat saya itu secara historis tepat sekali. Cuman mungkin sosialisasinya, timingnya yang belum tepat. Nah mudah-mudahan ini menjadi perhatian dari pemerintah. Mungkin saja sudah disosialisasikan ke pihak puri tapi hanya untuk orang-orang tertentu saja, padahal ada 6 puri di Tabanan yang menjadi putera-putera dari Puri Singasana ini, belum lagi Puri Puri di Kerambitan dan Kediri, Karena Puri Singasana kan sudah tidak ada, sudah hancur. Puri Singasana itu berakhir pada 1906, di mana raja terakhir dari Puri Singasana itu I Gusti Ngurah Rai Perang dari Puri Dangin,” pungkas Turah Panji.
Untuk diketahui AA Ngurah Panji Astika juga selaku Ketua Umum Sabha Yowana Pratisentana Ida Bhatara Sira Arya Kenceng. Ia yang juga Ketua Umum Asosiasi Produsen Instalasi Pengolahan Air Limbah (Ipalindo) Pusat ini cukup dikenal oleh publik dan memiliki banyak teman dan relasi di kalangan pengusaha, profesional, anak muda, seniman dan masyarakat luas.
Sekalipun ia memiliki “darah biru” karena lahir di Puri Anom Tabanan namun sifat dan karakternya mudah bergaul, egaliter, sangat merakyat, dan mudah diajak berdiskusi tentang apa saja. Terbukti saat pria yang juga aktif di berbagai organisasi seperti Garda Tipikor Tabanan, Puskor Hindunesia, Forum Silaturahmi Keraton Nusantara Wilayah Bali.
Sosok bersahaja ini juga pernah menjabat Ketua Persatuan Olahraga Selam Seluruh Indonesia (POSSI) Wilayah Tabanan. Suami yang mendapatkan semangat dan dukungan dari istrinya, A A Sagung Mas Dewi Rahmayani, SE tersebut memegang teguh keyakinan akan mampu memajukan potensi besar dunia pertanian khususnya yang selama ini stagnan dan belum tergarap secara optimal. Ia juga telah peduli dan berbuat banyak dalam upaya melestarikan adat serta budaya dengan beragam aktivitas seni dengan yayasan yang didirikan yaitu Forum Pelestari Budaya Tabanan mulai dari lomba tari, pementasan Drama Tari Calonarang, Barong Bangkung, pameran Perupa Tabanan, pameran keris, lukisan, fotografi dan sebagainya.
Reporter/Editor: Ngurah Dibia