Percepat Indonesia Bebas AIDS 2030 Optimalkan Keterlibatan Desa dan Komunitas
Foto: Workshop Program Advokasi HIV bertajuk pencapaian target 3 Zero bagi ODHA menuju Indonesia bebas AIDS pada 2030 di Denpasar, Selasa (18/7/2023). (BB/Hms FPA Bali)
Denpasar | barometerbali – Penghilangan stigmatisasi dan diskriminasi terhadap orang dengan HIB/AIDS (ODHA) sangat penting dilakukan. Demikian pula proses penganggaran pada penanggulangan HIV/AIDS serta pemahaman terkait regulasi dalam pemberian dukungan penanggulangan AIDS di desa sangatlah strategis dan diyakini akan semakin mempercepat pencapaian target “3 Zero” (3 nihil, red) bagi ODHA menuju Indonesia bebas AIDS pada 2030.
“Sosialisasi ‘3 Zero’ bagi orang ODHA meliputi, zero infeksi baru, zero kematian terkait AIDS, serta zero stigma dan diskriminasi,” ungkap Made Efo Suarmiartha dari Forum Peduli AIDS (FPA) Bali dalam Workshop Program Advokasi HIV di Denpasar, Selasa (18/7/2023).
Menurutnya, stigma dan diskriminasi terhadap Orang yang terinfeksi dengan HIV atau yang disebut ODHIV masih dirasakan cukup tinggi. Hal itu yang membuat data mengenai keberadaan mereka belum dapat dibuka secara detail sehingga aparat pemerintah di tingkat desa pun belum mengetahui keberadaanya.
“Hal ini yang kemudian menyulitkan ketika desa hendak dilibatkan dalam pemberian bantuan dan dukungan,” tegas Efo.
Di sisi lain, dia melihat sebenarnya komitmen desa di Denpasar sudah terlihat dari sejumlah program yang ada termasuk alokasi anggarannya. Namun, menurutnya, masih sebatas sosialisasi untuk pencegahan.
Karena itulah, FPA mendorong agar program itu bisa dikembangkan dengan melibatkan komunitas-komunitas dengan perilaku yang beresiko di desa itu. Mulai dari program penjangkauan imana warga dengan perilaku beresiko berani melakukan tes HIV hingga adanya bantuan sosial bagi ODHIV.
“Disini tentu diperlukan juga komitmen agar tidak terjadi stigma dan diskriminasi,” cetusnya.
Mengenai masih kuatnya stigma itu diakui oleh I Gusti Ayu Ketut Sri Witari dari Dinas Kesehatan Bali. Karena itu pihaknya tidak menyampaikan data mengenai keberadaan ODHIV secara terbuka. Meski kasus yang terungkap sudah di ada datanya di layanan-layanan kesehatan.
“Ini bukan hanya menyangkut stigma pada ODHIV tetapi juga pada keluarganya,” katanya. Idealnya, HIV cukup ditanggapi sebagai berbagai penyakit lainnya. Apalagi saat ini sudah ada obat untuk menjaga kondisi kesehatan ODHIV.
Kendati demikian Witari selaku Pengelola Program HIV AIDS dan IMS Dinas Kesehatan Kota Denpasar, menuturkan, kasus AIDS pertama dilaporkan 1987 di Bali.
Dikatakan, situasi kasus HIV AIDS dari tahun 1987 sampai dengan Mei 2023 tercatat sebanyak 15.081 kasus. Terdiri dari HIV 8.606 dan AIDS 6.475 orang, sedangkan kasus HIV/AIDS meninggal kumulatif sampai dengan 2022 sebanyak 255 kasus AIDS.
Lanjutnya, untuk pertambahan kasus 800 orang per tahun, namun sebelum pandemi mencapai 1.000 orang per tahun. Kendati demikian, tidak semua warga Denpasar.
“Banyak juga dari luar Bali hingga Papua. Karena di Kota Denpasar memiliki 35 layanan untuk tes HIV, kemudian layanan IMS 32, layanan PDP 27, layanan PMTCT 2, layanan ASS 3, layanan Methadone satu,” pungkasnya
Salah-satu aktivis komunitas pendamping ODHIV, Ika Rayni menyatakan, keberadaan ODHIV di suatu komunitas tidak mungkin dirahasiakan sepenuhnya.
“Itu biasanya sudah menjadi rahasia umum,” sentilnya.
Dalam hal ini, peran kepala desa sangat penting dalam memberikan layanan yang tidak diskriminatif dan bahkan melibatkan komunitas dalam aksi pencegahan.
“ODHIV yang sudah terbuka biasanya akan menjadi yang pertama dihubungi ketika ada kasus sehingga akan memudahkan juga untuk pemberian dukungan,” tutup Ika.
BPMD Denpasar Dukung Pelibatan Komunitas
Menanggapi adanya keinginan untuk melibatkan komunitas dalam penanganan HIV di tingkat desa, Sekretaris Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (BPMD) Kota Denpasar, Tresna Yasa menyatakan, siap untuk memfasilitasi.
Ia meminta pihak FPA Bali dan komunitas memberikan rancangan program hingga rencana anggarannya. “Nanti bisa kita diskusikan langsung dengan pendamping desa karena mereka yang mengawal prosesnya,” sebutnya.
Menurutnya, secara regulasi tidak ada masalah untuk penggunaan dana-dana di desa dalam penanggulangan HIV. Selama ini dana dialokasikan untuk program sosialisasi, termasuk melalui berbagai lomba dan acara seni budaya seperti pagelaran bondres (kesenian lawak Bali).
“Disini kita harapkan juga ada keterbukaan dari ODHIV. Karena pernah juga kita mengundang mereka tetapi ketika presentasi masih menggunakan topeng,” pungkas Tresna.