Desa Adat Pengastulan Gugat Perbekel Pengastulan dan BPN Buleleng
Dugaan melakukan perbuatan melawan hukum meloloskan pengajuan 329 pemohon PTSL tanah adat di Banjar Kauman

Foto: Bandesa Adat Desa Adat Pengastulan I Nyoman Ngurah bersama prajuru adat lainnya didampingi I Komang Sutrisna, SH dari LBH Bali Metangi, Dewan Pembina Forkom Taksu Bali, Jro Ketut Wisna (JMW) saat Paruman Agung (rapat besar) dihadiri ratusan krama Desa Adat Pengastulan, Kecamatan, Seririt, Kabupaten Buleleng, Sabtu (22/7/2023). (BB/Ngurah Dibia)
Buleleng | barometerbali – Ratusan krama (warga) Desa Adat Pengastulan, Kecamatan, Seririt, Kabupaten Buleleng sepakat memutuskan menggugat Perbekel Desa Pengastulan, Putu Widyasmita dan BPN (Badan Pertanahan Nasional) Buleleng ke Pengadilan Negeri (PN) Singaraja karena diduga melakukan perbuatan melawan hukum meloloskan pengajuan 329 pemohon dari warga Banjar Dinas Kauman tanah hak milik Desa Adat Pengastulan dalam program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL).
“Selain itu Perbekel Widyasmita juga kami laporkan ke Polres Buleleng, karena diduga telah melakukan tindak pidana pemalsuan surat dengan ratusan pemohon PTSL, untuk mensertipikatkan tanah milik Desa Adat Pengastulan menjadi hak milik perorangan. Selain Perbekel Pengastulan, BPN Buleleng juga ikut kami gugat,” ungkap I Komang Sutrisna, SH selaku Koordinator Tim Hukum dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bali Metangi Forkom Taksu Bali, usai Pauman Agung (rapat besar) Desa Adat Pengastulan, Kecamatan Seririt, Kabupaten Buleleng di Bale Desa Adat Pengastulan, Sabtu (22/7/2023).
Di hadapan pauman adat, advokat yang kerap disapa Jro Sutrisna didampingi Ketua Dewan Pembina Forkom Taksu Bali I Ketut Wisna, ST, MM, Jro Bandesa Desa Adat Pengastulan I Nyoman Ngurah, Panyarikan (Sekretaris) Desa Adat Pengastulan Ngurah Made Oka, dan anggota tim, I Komang Suasmara, SH, MH, anggota Babinsa, serta Bhabinkamtibmas ini menjelaskan gugatan dan laporan pengaduan masyarakat di Polres Buleleng tersebut, bermula dari program PTSL yang dilaksanakan di wawidangan (wilayah) Desa Adat Pengastulan.
“Sekitar Bulan November 2022 yang lalu, digelar paruman (rapat) di Desa Adat Pengastulan. Dari Tim BPN Buleleng menegaskan bahwa pengajuan PTSL di Desa Adat Pengastulan melibatkan desa adat dan desa dinas, karena desa adat memiliki hak hukum atas nama tanah yang dimohonkan, sesuai dengan pengajuan. Disepakati waktu itu, tanah Desa Adat Pengastulan pemegang hak adalah Desa Adat Pengastulan,” tandasnya.

Dalam proses PTSL, imbuh Jro Sutrisna, pengajuan untuk tiga banjar adat, yakni Banjar Purwa, Banjar Phala dan Banjar Sari berjalan sesuai dengan prosedur melibatkan Desa Adat dan Desa Dinas, akan tetapi ratusan pemohon dari Banjar Dinas Kauman, yang termasuk dalam wawidangan Desa Adat Pengastulan, malah mengajukan permohonan sebagai hak milik perorangan.
“Hal itu, baru diketahui oleh pihak desa adat ketika BPN Buleleng, menempelkan Pengumuman Data Fisik dan Data Yuridis di Kantor Perbekel Desa Pengastulan secara sembunyi-sembunyi. Bersyukur kami dari desa adat mengetahuinya. Jika tidak, dalam waktu 14 hari lewat, SHM (Sertipikat Hak Milik) pasti akan terbit. Bandesa adat kemudian mengajukan keberatan ke BPN. Sehingga dari sana, masalah ini muncul,’’ beber Jro Sutrisna.
Ia menambahkan setelah pihak desa adat menelusuri, ternyata ada Surat Permohonan Percepatan pengurusan PTSL tanah milik pribadi ini yang dikeluarkan Perbekel Desa Pengastulan ke BPN. Surat yang melampaui batas kewenangan ini, terungkap pula bahwa semua pengajuan PTSL tanah milik perorangan dari Banjar Kauman, ditandatangani Perbekel Desa Pengastulan.
“Perbekel ikut mengetahui, membuat registrasi segala persyaratan dan ikut secara aktif mengawal percepatan proses pensertipikatan tanah hak milik atas tanah desa adat,” sebutnya.

Walau diketahui, para perbekel atau Kepala Desa Pengastulan yang terdahulu, selalu menolak jika ada warga dari Banjar Kauman yang mengajukan pensertipikatan hak milik atas tanah druwen (milik) desa adat. Dasar penolakan pensertipikatan hak milik ini adalah Awig-Awig Desa Adat Pengastulan.
“Wawidangan Banjar Kauman, merupakan wawidangan Desa Adat Pengastulan. Di mana dalam Pawos 46, Wiwit 5, huruf Na, menegaskan, ‘genah pekarangan desa adat sane kelinggihin tamiu, sane megenah ring wawidangan utawi palemahan Banjar Kauman,'” urainya.
Yang artinya menurut Jro Sutrisna, wilayah pekarangan desa adat yang ditempati tamiu (pendatang), berlokasi di Banjar Kauman.
Jro Bandesa I Nyoman Ngurah pada kesempatan itu juga mengutarakan pihak desa adat telah berkali-kali mengundang pihak desa dinas untuk berkoordinasi dan ikut dalam paruman desa adat tidak pernah hadir.
“Namun, malah berjalan sendiri tanpa melibatkan desa adat dalam pengajuan PTSL, khususnya dari Banjar Dinas Kauman yang memohon mensertipikatkan tanah milik desa adat menjadi hak milik perorangan,” ketusnya.
Sementara ada beberapa pemohon PTSL untuk jadi hak milik, itu diketahui oleh desa adat karena telah memiliki sejarah tanah yang jelas.
‘’Kami dibuat tidak mengerti, mengapa perbekel tidak koordinasi. Malah membuat jadi PTSL ini menjadi bermasalah,’’ kesal Jro Bandesa Ngurah.
Lebih lanjut dikatakan, atas keberatan Desa Adat Pengastulan, BPN Buleleng telah membuat kaukus untuk menyelesaikan konplik PTSL ini. Desa adat telah menyetujui dua alternatif yang ditawarkan BPN Buleleng yakni, pertama, sertipikat atas nama desa adat dengan keterangan nama pemohon yang menempati dan kedua atas nama pemohon, namun diberikan keterangan bahwa tanah yang ditempati adalah tanah Pekarangan Milik Desa Adat. Anehnya pihak pemohon dan perbekel malah ngotot menolak.
‘’Kami tidak melarang pensertipikatan atau menolak PTSL, namun dua alternatif tersebut sudah dijalankan di hampir desa adat di Bali. PTSL ini juga memberikan pengakuan bahwa yang ditempati adalah tanah druwen desa adat, sementara krama diberikan ruang untuk menempati’,” pungkas jro bandesa.

Dewan Pembina Forkom Taksu Bali, I Ketut Wisna yang akrab dipanggil JMW ini mengatakan, permasalahan PTSL ini merupakan masalah pelik, jika pemahaman mengenai dresta (kebiasaan yang berlaku di desa adat), adat dan budaya Bali masih kurang.
“Ini jadi barometer penyelesaian kasus-kasus tanah adat agar tidak terjadi lagi di wawidangan desa adat lain di Bali,” kata JMW mengingatkan.
Ia menegaskan eksistensi desa adat secara hukum negara diakui. Dari UUD 1945, sekarang ada UU tentang Provinsi Bali dan Perda tentang Desa Adat.
‘’Pengakuan ini, tidak saja oleh masyarakat Bali, namun sudah menjadi hukum negara. Pengakuan Desa Adat sebagai pemegang hak atas tanah juga diakui. Oleh karena itu, perjuangan Desa Adat Pengastulan kami dukung dan menurunkan LBH Bali Metangi yang kami bentuk untuk mengawal dan berperan aktif dalam melindungi hak hukum masyarakat adat pencari keadilan di Bali,’’ tutup JMW mewanti-wanti.
Dikonfirmasi terpisah terkait adanya gugatan tersebut, Perbekel Pengastulan Putu Widyasmita menyatakan menepis semua tuduhan yang disampaikan pihak penggugat.
“Apa yang ada dalam gugatan itu semua tidak benar. Selaku perbekel saya menjalankan tugas melayani semua warga yang ber-KTP Desa Pengastulan,” tulisnya saat dihubungi melalui pesan WhatsApp (WA).
Ia beralasan selaku kepala desa dia mempertanyakan apakah salah pihaknya menandatangani surat-surat yang diperlukan dalam rangka permohonan sertifikat atas bidang-bidang tanah tertentu oleh warga Desa Pengastulan.
“Permohonan sertifikat hak milik atas bidang tanah yang dikuasai secara turun-temurun selama lebih dari 20 tahun itu adalah hak setiap warga negara,” kilah Putu Widyasmita.
Hal itu itu tentu menurutnya diajukan sesuai dengan mekanisme dan persyaratan yang ditentukan oleh BPN sebagai wakil negara di tingkat kabupaten/kota.
“Nah, tugas tiyang (saya, red) semestinya sudah selesai dan BPN yang punya kewenangan dalam konteks penerbitan sertifikat apabila sudah sesuai dengan ketentuan, terus di mana letak tiyang melawan hukum?” tanyanya.
Kendati begitu, karena kasus ini sudah bergulir ke ranah hukum, pihaknya siap menyampaikan fakta-fakta dalam persidangan nanti.
Editor: Ngurah Dibia