Kriminolog Unud Sebut Istilah Penyegelan, Premanisme dan Pemerasan Berlebihan
Kasus penutupan pintu kantor hukum Lembaga Advokasi Bantuan Hukum Indonesia (LABHI) di kawasan Jl. Badak Agung Utara

Foto: Dr Gde Made Swardhana saat diwawancara awak media di Denpasar, Sabtu (29/7/2023). (BB/AAKD)
Denpasar | barometerbali – Munculnya kasus penutupan pintu kantor hukum Lembaga Advokasi Bantuan Hukum Indonesia (LABHI) di kawasan Badak Agung belum lama ini ternyata memantik komentar pakar hukum kriminologi Universitas Udayana (Unud). Kriminolog Dr Gde Made Swardhana mengaku prihatin dengan berkembangnya opini yang tidak tepat terkait kasus Badak Agung Denpasar yang kerap muncul di media massa.
”Kalau saya amati berdasar latar belakang masalahnya, tindakan yang dilakukan pengembang di Badak Agung bukan penyegelan, tapi lebih kepada shock teraphy untuk pihak kedua yang belum memenuhi kewajibannya. Jadi terlalu berlebihan kalau tindakan itu disebut penyegelan, mengerahkan premanisme dan pemerasan,” terang Gde Made Swardhana kepada wartawan di Denpasar, Sabtu (29/7/2023).
Ia menilai kasus Badak Agung dilatarbelakangi perjanjian antardua belah pihak. Yaitu pihak pertama yang diwakili Ida Tojokorda Ngurah Jambe Pemecutan (alm) dan Made Suardana SH, selaku pihak kedua. Dalam perjanjian itu pihak kedua yang diberi tugas memecah lahan di Badak Agung yang merupakan Laba Pura Merajan Satria seluas 12 hektar yang sudah dimohonkan sertifikat oleh almarhum, Tjokorda Ngurah Mayun Samirana (sebelum jadi raja) pada tahun 1991 terdiri dari 32 sertifikat. Pihak kedua bahkan sudah diberi ”hadiah” berupa lahan seluas 3 are lebih yang kemudian dibangun kantor hukum di atas lahan tersebut.
Ditambahkan lagi, namun hingga kasus terjadi pihak kedua tak merealisasikan kewajibannya sebagaimana tertuang dalam perjanjian. Dia menganalisa, berdasar fakta lapangan, dalam penutupan pintu itu tidak ada tanda segel, juga tidak ada police line, sehingga dipastikan pihak pengembang Badak Agung tidak melakukan penyegelan sebagaimana dituduhkan.
“Yang boleh melakukan penyegelan hanya pihak yang berwenang atas izin pengadilan negeri,” tegasnya.
Gde Swardhana menyebut telah memberikan pendapat selaku ahli di penyidik Polresta Denpasar terkait laporan Made Suardana dengan tuduhan merampas kemerdekaan orang lain sebagaimana pasal 335 KUHP. Berkembang opini terkait tuduhan pemerasan yang menurutnya hal itu tidak mungkin dilakukan oleh warga Puri Satria.
”Saya kira, mengaitkan kasus ini terlalu berlebihan oleh pihak pelapor. Bahwa yang saya pahami dari kronologis masalah, pihak kedua ini ada membeli tanah seluas 6 are (bukan di subyek yang dilaporkan), namun kewajiban bayarnya belum dilunasi, sehingga wajar pihak pertama untuk menagih haknya,” jelasnya.
Ia juga menyayangkan, penagihan itu dikaitkan dengan biaya palebon (kremasi, red) almarhum Ida Tjokorda Ngurah Jambe Pemecutan belum lama ini.
”Saya kira jauh panggang dari api lah. Kalau palebon Ida Tojokorda tak perlu menagih dana tanah. Itu (palebon) sudah selesai,” katanya.
Ia tak melihat ada indikasi premanisme dalam kasus tersebut. Parameternya imbuh Swardana, karena tak ada ancaman dan perusakan. Apalagi pihak pengembang sudah menegaskan bahwa yang melakukan penutupan pintu adalah karyawan yang bekerja di kawasan Badak Agung.
Meski begitu ia menghimbau para pihak untuk duduk bersama menemukan win-win solution dengan landasan keadilan restoratif.
”Inisiatifnya boleh dari siapa saja dalam perkara ini karena tujuannya untuk menyelesaikan masalah,” pungkas Kriminolog Swardana.
Sementara saat barometerbali.com beberapa kali menghubungi pihak pelapor Made “Ariel” Suardana untuk dimintai tanggapannya, tidak mengangkat sambungan telepon, Sabtu (29/7/2023).
Editor: Ngurah Dibia