Thursday, 16-01-2025
Hukrim

LPD “Padruwen” Desa Adat, dalam Pusaran Hukum

Oleh: I Wayan Yasa Adnyana, SH, MH (Advokat di Denpasar)

Pada saat ini, Bali memiliki 1.493 desa adat, yang tersebar di 9 (sembilan) kabupaten dan kota di Bali. Dari jumlah desa adat tersebut,sebagian besar telah memiliki baga utsaha desa adat atau bentuk badan usaha desa adat, sebagaimana diamanatkan oleh Perda. 4 tahun 2019 tentang desa adat, dalam bentuk LPD (lembaga perkreditan desa) atau dalam perda (peraturan daerah) itu disebut Labda Pacingkreman Desa sebagai salah satu bentuk usaha desa adat di bidang keuangan. Usaha tersebut bertujuan untuk menyejahterakan krama (masyarakat) desa adat, khususnya di bidang ekonomi dan keuangan. Akan tetapi, dari beberapa kasus hukum , yang terungkap dari berita media massa, telah melilit LPD, sebagai akibat ulah oknum pengurusnya yang melakukan penyimpangan dalam pengelolaan, sehingga mengakibatkan krama desa adat tertimpa rugi besar dan lembaga itu akhirnya hanyut dalam pusaran masalah hukum.

Jika melihat potensi keuangan yang dimiliki desa adat di Bali, yang dikelola oleh 1430 buah LPD saat ini, Kepala Dinas Pemajuan Masyarakat Adat di Bali, I Gst Agung Ketut Kartika Jaya, mengungkapkan bahwa, dana yang dikelola oleh LPD tersebut tidak kurang dari Rp26 triliun. Jika potensi tersebut dikelola dengan benar, profesional serta dilandasi sikap serta integritas yang baik, tentu hasilnya akan menyejahterakan krama adat secara signifikan. Kesejahteraan krama adat dengan membangun sektor keuangan adat yang kuat, itulah suatu harapan, yang ingin diwujudkan oleh perintis sekaligus pendiri LPD, yakni Prof Dr Ida Bagus Mantra (alm) sejak berdirinya pada tahun 1983 silam. Sesungguhnya, di balik guncangan manajemen dan malpraktik pengelolaan LPD, sebagian besar LPD,sebenarnya masih bisa sejalan dengan harapan itu. Karena lembaga keuangan milik desa adat tersebut, masih banyak yang masih sehat dan tangguh dalam menghadapi dinamika ekonomi di masyarakat. Lembaga keuangan tersebut masih bisa memberikan pengayoman ekonomi pada krama adatnya, karena dikelola dengan menaati prinsip kehati-hatian, berintegritas, profesional dan terbuka serta dijalankan sesuai prinsip akuntabilitas pengelolaan keuangan. Sehingga hasilnya, sesuai harapan dan sungguh-sungguh mampu menghadirkan pengayoman ekonomi melalui kesejahteraan yang nyata kepada kerama adat. Dukungan kesejahteraan tersebut, bentuknya dapat berupa pengelolaan keuangan yang sehat dan sinergitas, simbiosis mutualisme kepada krama adat, dapat dilakukan melalui mekanisme manajemen/pengelolaan yang sehat serta didukung dengan program-program stimulus ekonomi mikro-riil secara langsung.

Agar mampu mewujudkan harapan, lahirnya kesejahteraan,dengan gerakan ekonomi melalui instrumen LPD, di tengah krama adat tersebut, tentulah bukan hal mudah. Semua lini kemasyarakatan punya peran penting melalui sinergitas, untuk mewujudkan keniscayaan itu. Pemerintah tentu punya peran sangat besar, khususnya, melalui peran stimulatif, regulatif, empowering dan controlling terhadap lembaga operasional LPD dalam rangka melindungi kesejahteraan masyarakat adat di Bali. Inilah tanggung jawab pemerintah dalam upaya untuk memastikan agar LPD sebagai entitas ekonomi adat secara nyata dan pasti mampu mengembangkan sektor keuangan adat untuk kesejahteraan masyarakat adat sesuai dengan konsep Tri Hita Karana. Tiga aspek keseimbangan atau harmoni masyarakat adat Bali itu, yakni aspek parahyangan, pawongan, dan palemahan harus dijadikan dijadikan vision of life dalam mengatur dinamika ekonomi Bali, sehingga menghasilkan perkembangan ekonomi masyarakat adat Bali, termasuk di dalamnya LPD menjadi mekar dan berkembang untuk kasukertan/kesejahteraan krama adat serta keseimbangan hidup, sesuai tujuan, Mokshartam Jagadhita Ya Ca Iti Dharma . Pemerintah khususnya pemerintahan di Bali, mulai dari Bupati, Walikota dan Gubernur Bali, harus menempatkan atensi yang lebih serius diperkuat lagi kepada keberlangsungan LPD sebagi entitas Ekonomi Adat Bali. Sehingga dalam bingkai tanggung jawab itu, keberhasilan atau kegagalan terhadap LPD dalam mengelola sumber daya, pemerintah memikul tanggung jawab melekat.
Sebagai contohnya, saat ini, dari 1.430 LPD milik desa adat di Bali, 30 buah LPD, telah tersangkut persoalan hukum terkait dengan kesalahan dalam mengelola LPD. Berdasarkan sebagian besar kasus hukum tersebut, terbukti dominan dipicu oleh kesalahan oleh sumber daya manusia pengelolanya. Lingkaran tanggung jawab dari elemen sumber daya manusia(SDM), mulai dari unsur prajuru adat, panureksa /pemeriksa /pengawas dan ketua LPD serta manajemen internal LPD (prajuru LPD), cenderung selalu terlibat dalam kesalahan pengelolaan tersebut, sehingga mereka tidak terhindarkan, akhirnya terseret dalam pusaran kasus hukum.

Kerugian Nasabah Versus Penegakan Hukum

Bercermin dari penegakan hukum atas penyelesaian kasus malpraktik pengelolaan LPD, kita bisa melihat bahwa upaya hukum ternyata belum berdampak signifikan terhadap pengembalian uang krama adat/nasabah yang dikelola oleh LPD. Pada saat hukum ditegakkan, melalui putusan pengadilan, maka para pelaku tindak kejahatan terhadap keuangan LPD, sering terperangkap dalam delik pidana, misalnya dalam dakwaan korupsi atau penggelapan. Sehingga para pelaku bertanggung jawab dengan menjalani pemidanaan atau pengembalian kerugian. Khusus pidana pengembalian kerugian, sering telat dilakukan, karena uang hasil kejahatan itu telah dikonsumsi atau diarahkan kebetulan lain dengan cara yang cerdik, sehingga sulit ditemukan, apalagi disita dan akibatnya para nasabah atau krama adat selaku deposan, tetap berada mengalami kerugian. Berdasarkan estimasi masyarakat, jika terjadi pemidanaan dengan kurungan penjara, biasanya, mereka bersikap pesimistis dengan pengembalian kerugian itu, karena unsur kerugian akan dikompensasi dengan pidana penjara. Pada yang diharapkan nasabah yang terpenting adalah pengembalian uang mereka yang menjadi korban.
Melihat kenyataan itu, selain tekanan dari hukum positif, penguatan hukum adat (awig-awig, pararem dan sanski sosial lainnya) perlu diperkuat, sehingga dapat mencegah itikad buruk para pengelola LPD tersebut dalam menjalankan tugasnya. Selain sanksi adat, upaya seleksi calon pengelola selain aspek profesionalisme, penting memasukkan sanksi spiritual (Dewa Saksi) pada saat rekrutmen sumber daya manusia, sehingga nuraninya berada dalam komitmen kejernihan dalam pengelolaan LPD sesuai unsur parahyangan dalam konsep Tri Hita Karana. Selain itu, terkait rencana pemerintah untuk membentuk Lembaga Penjamin Simpanan(LPS) sebagai perlindungan bagi nasabah LPD, merupakan hal baik dan ditunggu-tunggu oleh krama adat. Upaya itu pastilah tidak bisa segera, masih merupakan satu wacana saja. Sebab jika ada upaya kearah itu, pasti harus menggerakkan legislator dalam upaya pendekatan, agar legislasinya terlaksana, sehingga regulasi dapat dilakukan revisi dengan cepat dan tepat. Perlu diingat, itu adalah proses politik, sehingga agar dapat melahirkan reguluasi baru terkait dengan LPD, perlu waktu, biaya, dan kemauan politik dari organ-organ politik yang ada, jalannya pasti berliku bagai jalannya ular. Ini tidak akan menjamin kepastian hukum. Lalu upaya apa yang bisa dilakukan agar dengan segera dapat menyelamatkan LPD, sehingga tidak terus terpuruk, dan kehilangan kepercayaan krama adat?

Editor: Ngurah Dibia

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button