PH Effendi Duga Saksi Novi Berikan Keterangan Palsu

Kolase foto: Saksi Pendeta Novi Irawati (kiri atas) saat memberikan keterangan di bawah sumpah di ruang sidang Garuda 1 Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Senin (22/1/2024). (Sumber: Redho)
Surabaya | barometerbali – Pendeta Novi Irawati diduga memberikan keterangan palsu di bawah sumpah saat dia menjadi saksi fakta yang dihadirkan Ellen Sulistyo (Tergugat I) dalam persidangan gugatan wanprestasi yang dilayangkan CV Kraton Resto, di ruang sidang Garuda 1 Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Senin (22/1/2024).
Dalam persidangan itu Effendi selaku Tergugat II menyatakan bahwa siapa yang buat draf terbongkar, dan perkataan Pendeta Novi bahwa yang membuat draf adalah Effendi diduga kuat ia memberi keterangan palsu atau tidak benar di hadapan persidangan.
Dari pengakuan Effendi ke Notaris Ferry Gunawan terkuak bahwa draf itu dibuat oleh Ellen Sulistyo, hal itu diperkuat pernyataan Effendi sambil menunjukkan bukti chat bahwa draf itu memang benar dibuat oleh Ellen Sulistyo.
“Jangan memutarbalikkan fakta, siapa yang membuat draf perjanjian, sudah jelas Ellen yang buat kok membentuk opini dengan keterangan palsu di depan Majelis Hakim kalau saya yang buat,” tegas Effendi kepada awak media, Selasa (23/1/2024) malam.
Keterangan yang diduga sebagai keterangan palsu adalah yang membuat draf perjanjian pengelolaan nomor 12 tanggal 27 Juli 2022 di hadapan Notaris Ferry Gunawan adalah Effendi.
Sementara itu, diluar adanya dugaan kesaksian palsu dari Novi Irawati, ada beberapa keterangan yang diungkap Effendi yang bisa menjungkirbalikkan argumen bahwa Ellen Sulistyo merasa ditipu.
“Justru Ellen yang selama ini memutar balikan kenyataan. Apalagi saya sudah berniat membatalkan penandatanganan perjanjian Notarial ini, tapi Ellen memohon dengan menawarkan ketemu di tengah, dan saya menanyakan, maksud nya Rp62,5 juta. Ellen masih ngeyel dengan minta dibulatkan Rp60 juta yang akhirnya disepakati oleh saya mewakili CV.Kraton Resto, dengan pertimbangan agar Ellen bisa nyaman bekerja,” urai Effendi.
“Dengan saya sudah berniat membatalkan dan Ellen terbukti justru bertahan, ini membuktikan bahwa tidak ada niat jelek dari CV Kraton Resto untuk merugikan Ellen. Justru Ellen Sulistyo yang dari awal sudah melakukan ingkar janji dan pembohongan – pembohongan,” kata Effendi.
Pembohongan yang dimaksud Effendi seperti tidak menyetorkan pendapatan resto ke rekening CV Kraton Resto, akan tetapi di masukan ke rekening Ellen Sulistyo, tidak membayar PNBP dengan berbagai alasan, tidak membayar PB1 10% yang seharusnya dibayarkan ke Negara.
“Yang tidak kalah parah adalah mengkorupsi Service Charge 5% yang menjadi hak karyawan dengan alasan resto rugi, tidak melakukan kewajiban pembayaran Profit sharing secara rutin, tidak membayar tagihan listrik yang mejadi kewajiban operasional, mengambil inventaris Sangria Resto dengan kekerasan dengan bantuan oknum Kodam V/Brawijaya,” ujar Effendi.
Effendi menjelaskan tidak ada keterbukaan keuangan restoran dilihat dari Ellen Sulistyo tidak pernah menyerahkan laporan keuangan ter-audit sejak awal sampai tutup, dan tidak pernah menunjukan rekening koran untuk mempertanggung jawabkan keuangan restoran yang masuk ke rekening pribadi Ellen.
“Dugaan kuat melakukan kesepakatan dengan oknum Kodam untuk menguasai bangunan milik CV. Kraton Resto. Begitu banyak wanprestasi dan pelanggaran yang sudah dilakukan oleh Ellen Sulistyo, dalam pengelolaan restoran Sangria by Pianoza,” pungkas Effendi.
Dari penelusuran awak media ditemukan informasi bahwa yang membuat draf perjanjian justru Ellen Sulistyo, bukan Effendi seperti yang dikoar-koarkan pihak Ellen, termasuk kesaksian dari Pendeta Novi Irawati.
Notaris Ferry Gunawan saat dikonfirmasi di kantornya, jalan Petemon Surabaya pada Selasa (23/1/2024) sore, menjelaskan bahwa draf dikirim oleh Effendi ke dirinya, dan setelah dikonfirmasi ke Effendi, Effendi menyatakan draf itu berasal dari Ellen Sulistyo.
Dari keterangan Notaris Ferry, Effendi menambahkan beberapa poin atau pokok pikiran di isi draf dengan beberapa poin antara lain, Perjanjian dengan Kodam V/Brawijaya diakomodir atau tidak ada dilanggar, dan kesepakatan minimum profit sharing sebesar Rp75 juta.
“Draf tidak langsung kita jadikan akte perjanjian, tapi saya pelajari apakah sesuai dengan keinginan para pihak, apakah melanggar hukum, dari pedoman draf yang disesuaikan dengan keinginan dan tidak melanggar hukum akhirnya saya buatkan Akte Perjanjian,” terang Ferry.
Menurut Notaris Ferry, sebelum tanda tangan perjanjian, kedua belah pihak hadir di hadapan dirinya sebagai Notaris untuk mendengarkan dirinya membacakan akta, dan para pihak mengetahui isi perjanjian pengelolaan tersebut, dan apabila sudah sesuai dan para pihak setuju dengan isi perjanjian pengelolaan tersebut maka para pihak menandatangani perjanjian pengelolaan tersebut.
“Semua poin yang jadi kesepakatan diterima semua pihak dan perjanjian saya bacakan didepan para pihak. Termasuk MoU dan SPK antara Kodam dengan CV. Kraton ada tertulis dalam perjanjian,” terang Ferry.
Bukan hanya MoU dan SPK yang tertulis didalam akte perjanjian itu, tapi pembayaran PNBP, dan profit sharing sebesar Rp60 juta perbulan yang awalnya pihak Effendi meminta profit sharing Rp75 juta perbulan.
“Terjadi argumentasi terkait profit sharing dan akhirnya sepakat Rp60 juta sebulan,” tambah Ferry.
Terkait perjanjian dianggap timpang karena tidak ada kewajiban dari Effendi, hanya kewajiban dari Ellen, seperti keterangan Pendeta Novi Irawati didalam persidangan, Notaris Ferry mengatakan semua sudah clear saat semua pihak tandatangan.
“Jika keberatan kenapa tidak di awal sebelum tandatangan perjanjian. Ada isi MoU dan SPK dalam perjanjian bu Ellen mengapa tidak bertanya, akan tetapi setuju dengan isi perjanjian. Semestinya sebelum tandatangan waktu itu jika ada poin yang tidak tepat bisa tidak setuju dan mestinya tidak tandatangan, jangan sekarang setelah beberapa bulan tandatangan perjanjian baru mempertanyakan itu, sebenarnya saya sudah menjalankan tugas menuangkan poin – poin yang diinginkan para pihak,” beber Notaris Ferry.
Notaris Ferry kesempatan itu juga menyangkal perkataan saksi Pendeta Novi, bahwa dirinya mengatakan draf perjanjian dibuat Effendi. “Saya ga pernah ngomong begitu,” terang Ferry.
Diketahui bahwa Pendeta Novi tahu kalau draf perjanjian dibuat Effendi atas perkataan Notaris Ferry saat Novi bertemu dengan Notaris Ferry, Effendi mengatakan dengan tegas semua pernyataan itu menyesatkan.
“Anda tadi kan mewawancarai pak Ferry, dan beliau mengatakan tidak pernah mengatakan saya yang membuat draf. Yang membuat draf perjanjian adalah Ellen, kan sudah jelas keterangan siapa yang bohong,” ujar Effendi sambil menunjukkan bukti screenshoot percakapan dia dengan Ellen via whatsapp.
Salah satu komunikasi melalui pesan whatsapp menjelaskan bawah Ellen mengirim draf perjanjian. “Len. Draf Perjanjianmu tolong dikirim PDF nya ya, biar dikoreksi sama legalku,” isi chat tanggal 15 Juli 2022, sambil membahas Notaris siapa yang akan dipakai untuk buat perjanjian.
Dari draf yang dibuat dan dikirim Ellen ke Effendi, akhirnya Effendi mengirimkan draf itu ke Notaris Ferry untuk dibantu dibuatkan perjanjian.
“Semua sudah ada bukti, jangan ngomong ngawur ga ada bukti, apalagi berani mengatakan tidak sebenarnya di dalam persidangan,” tegas Effendi.
Kesempatan berbeda kuasa hukum Effendi, Pengacara Yafet Waruwu mengatakan ada pelanggaran pidana apabila melakukan sumpah palsu.
“Dimaksud dengan sumpah adalah tindak pidana memberikan keterangan palsu di atas sumpah yang mana keterangan itu tidak benar dan bertentangan dengan yang sebenarnya. Disebut sumpah palsu karena saksi sebelum memberikan keterangan di sidang pengadilan wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut agamanya,” ujar Yafet, Selasa (23/1/2024) malam.
Yafet menerangkan syarat formil sebagai saksi fakta tidak terpenuhi atas kesaksian Novi, karena yang bersangkutan tidak melihat, menyaksikan, dan mengalami langsung.
“Saudari Novi hanya dapat cerita dari saudari Ellen. Ini namanya bukan saksi fakta, dan diduga saksi memberikan keterangan palsu di bawah sumpah,” cetus Yafet.
Yafet menerangkan di pasal 373 ayat (1) UU 1/2023 Tentang Kitab Undang Undang Hukum Pidana, menjelaskan bagi orang memberikan keterangan palsu diancam pidana maksimal 7 tahun.
“Setiap orang yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan harus memberikan keterangan di atas sumpah atau keterangan tersebut menimbulkan akibat hukum, memberikan keterangan palsu di atas sumpah, baik dengan lisan maupun tulisan, yang dilakukan sendiri atau oleh kuasanya yang khusus ditunjuk untuk itu, dipidana penjara paling lama 7 tahun,” tutup Yafet.
Reporter: Redho
Editor: Ngurah Dibia