Tarikan Topeng Dalem Arsawijaya, Prof Bandem “Metaksu”

Kolase: Penampilan Prof Dr I Made Bandem, MA (80) penuh taksu (kharisma) saat menarikan tari Dalem Arsawijaya di hadapan penonton di Tukad Bindu, Kesiman, Kecamatan Denpasar Timur, Kota Denpasar, Minggu, (28/7/2024) malam. (Sumber: barometerbali/213)
Denpasar | barometerbali – Acara penutupan Festival Kesenian Rakyat Nusantara (FKRN) Bali 2024 menjadi istimewa dengan penampilan Prof Dr I Made Bandem, MA yang memukau penuh “taksu” (kharisma) menarikan tari topeng Dalem Arsawijaya di hadapan penonton di Tukad Bindu, Kesiman, Kecamatan Denpasar Timur, Kota Denpasar, Minggu, (28/7/2024) malam.
Ditemui awak media usai menari, Prof Bandem yang merupakan Pembina Yayasan Widya Dharma Shanti (Induk ITB STIKOM Bali) menuturkan Tari Dalem Arsawijaya menggambarkan cerita dari sastra babad atau sejarah silsilah kerajaan, pura, dan keluarga kerajaan.
“Tokoh Arsawijaya menggambarkan sosok yang mengacu pada watak raja yang halus dan bermartabat serta melambangkan sifat-sifat ideal raja-raja Nusantara dan Bali,” jelas Prof Bandem didampingi Rektor ITB STIKOM Bali Dr Dadang Hermawan.
Lebih lanjut dikatakan, tarian Dalem Arsawijaya membawa simbol kemurnian dalam pikiran, kebenaran dalam tindakan dan yang terpenting anggun dalam kehadiran ini, sebagai salah satu tari topeng yang memang ia senangi, yang dipelajari dari orangtuanya.
“Tapi ini khan baru pertama kali tampil. Mudah-mudahan tahun depan, bulan depan, saya bisa menari yang lain, karena pada waktu kecil, saya belajar menari Baris, kemudian belajar tari Gebyar Duduk dari Mario (Ketut Marya) dan Wayan Rindi, suatu saat juga saya akan menarikan Gebyar Duduk dan tari kebyar-ebyar yang lainnya,” imbuhnya.
Pada tahun 1960-an, diakui banyak bekerja sama dengan seniman Wayan Berata yang mengajar tari Kebyar Duduk di seluruh Bali.
“Saya ingin juga mengingat masa lalu, mumpung sudah hampir 80 tahun sebagai penari, guru tari dan lain-lainnya. Tempat ini (Tukad Bindu), tentu saja, berbeda dengan panggung yang disiapkan di Art Center Denpasar,” sebutnya.
Lebih lanjut dipaparkan, apabila lokasinya di art center terdapat panggung terbuka namanya tapal kuda hingga panggung tertutup, yang tentunya berbeda dengan panggung di Tukad Bindu, Kesiman Denpasar yang dominan bersentuhan langsung dengan suasana alam dan sungai.
Ia ingin memanfaatkan alam lingkungan, karena bagi masyarakat disini, Tukad Bindu dijadikan sebagai tempat bersosialisasi dan tempat mencari identitas sekaligus tempat mencari penghidupan.
“Jadi, ke depan tantangan besar, memang memanfaatkan lingkungan ini sebagai teater tempat pementasan, apalagi di sebelah ada sungai, sehingga bisa diciptakan tari-tarian berkaitan dengan lingkungan,” tandas Prof Bandem ditemani istri tercinta Dr NLN Swasthi Wijaya Bandem.
Dalam Festival Kesenian Rakyat Nusantara ini sasaran utamanya tidak saja menampilkan tari Bali, tapi juga tari-tarian yang lainnya, seperti tari-tarian dari Jawa Timur, Solo dan Sunda. Mengingat, Indonesia ini memiliki keberagaman kesenian, dimulai dari seni rakyat sampai seni klasik.
“Kita telah sudah membukanya 2 minggu yang lalu dan hari ini adalah hari terakhir, sehingga saya ingin terlibat juga, supaya bisa menampilkan tari klasik Bali, terutama tari Topeng Dalem Arsawijaya,” tambah Prof Bandem.
Mengenai tokoh Dalem Arsawijaya menurut Prof Bandem, sesungguhnya Dalem Majapahit yang merupakan seorang Raja Majapahit dengan nama lain Raden Wijaya dengan menggunakan lakon Kerajaan Majapahit pada zamannya.
Selanjutnya, Prof. Made Bandem menggunakan tapel atau topeng sebagai hadiah orangtuanya, pada tahun 1956 oleh Raja Bangli yang terakhir.
“Jadi, topeng itu yang saya gunakan pada malam ini. Di samping itu, juga ditampilkan tari Sekar Jagat dengan Koreografer Ibu Swasthi tahun 1983, lalu terakhir akan dipentaskan tari Kebesaran Widya Prakrti ITB STIKOM Bali,” ungkapnya.
Tak hanya itu, juga dipentaskan tari Kebesaran Widya Prakrti milik ITB STIKOM Bali, agar masyarakat juga mengenal tari Kebesaran, dikarenakan NLN Swasthi Widjaja Bandem sebagai pencipta Tari Kebesaran pertama di Indonesia, khususnya di Bali.
“Diciptakan pertama itu Tari Siwa Nataraja untuk ISI Denpasar. Setelah itu, berkembanglah Tari Kebesaran di mana-mana, tidak saja di Universitas atau Pemerintahan sampai Dinas Pertamanan dan lain-lainnya juga punya Tari Kebesaran, maksudnya maskot seperti itu,” cetusnya.
Dalam hal ini Prof. Made Bandem berharap, ITB STIKOM Bali sebagai suatu lembaga yang mengelola IT, Bisnis dan juga kebudayaan mulai mengadakan kegiatan-kegiatan seperti ini, dengan memberikan apresiasi kepada para mahasiswa, lantaran semua penari dan penabuh berasal dari mahasiswa.
“Kita berikan pelajaran kepada mereka, tidak saja tentang manajemen kesenian yang dipelajari dengan TI, tapi juga mencari konten-konten yang berbasis digital. Ini khan merupakan dokumentasi, sekali didokumentasikan digital ini, saya rasa terus menerus akan ada di platform digital seperti ini. Bagi saya itu sangat penting sebagai sumber penciptaan masa depan,” terangnya lagi.
Selain itu, juga dipentaskan Tari Sekar Jagat berarti “Bunga Dunia”, yang ditarikan oleh sekelompok penari wanita membawa canangsari.
Kegembiraan dalam menyambut para tamu, ditunjukkan lewat keindahan gerak tari serta gerak gemulai dan dinamis para penarinya.
Disebutkan, penciptaan tari Sekar Jagat ini terinspirasi oleh tarian Rarejangan di Karangasem, yang kemudian dikembangkan dalam sebuah komposisi tari kreasi baru.
“Tari Sekar Jagat, dengan Koreografer NLN Swasthi Widjaja Bandem dan Komposer I Nyoman Windha serta para Penari diantaranya Ayu Soekma Roseadi, I Gusti Ayu Agung Cinta Permata Iswary Savitri, Nyoman Atheny Pramasastra Dewi, Ni Komang Suari Febrian dan Ni Made Pramitha Prabaswari,” terangnya.
Tak kalah menariknya, juga dipentaskan Tari Kebesaran Widya Prakrti, ITB STIKOM Bali.
Dipaparkan, tarian ini menggambarkan keagungan Tuhan Yang Maha Esa, dalam manifestasinya sebagai Wisnu dalam menunjukkan proses penyatuan antara Purusa sebagai unsur kejiwaan dan Prakrti sebagai unsur kebendaan.
Penyatuan ini, lanjutnya menyebabkan terciptanya alam semesta beserta isinya yang memiliki unsur yang sama, yaitu Panca Maha Bhuta yang merupakan sumber widya atau ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni, yang kemudian menyatu dengan bhuwana alit, yaitu manusia sebagai kreator yang harus mampu menggali dan mengolah kandungan bhuwana Agung secara bijaksana.
Hal tersebut mampu mewujudkan sebuah kreativitas yang mampu melahirkan kebudayaan yang berguna bagi kesejahteraan umat manusia.
“Tari Kebesaran Widya Prakrti dengan Koreografer NLN Swasthi Widjaja Bandem dan Komposer Pande Gde Eka Mardiana. Sementara, para Penari diantaranya Ni Ketut Yanti Lestari, Ni Nyoman Cipta Wiliawati, Lusia Ni Made Lidya Merianti, Putri Insphira Lidaviola, Putu Setyarini, Ketut Widya Ayuningrum, Ni Luh Putu Lisa Febriani, Ni Made Nirmala Rahayu Sastri dan Luh Gede Candra Pratiwi,” tandasnya.
Melalui Festival Kesenian Rakyat Nusantara, Prof Bandem berharap masyarakat lebih mencintai lagi seni-seni kerakyatan bersifat klasik yang dimiliki oleh Bali hingga Nusantara.
Mengingat, kekuatan seni budaya Indonesia beragam, termasuk juga Bali beragam yang memberi kesan persatuan dan kesatuan bangsa.
Untuk itu, pemerintah juga berperan besar dalam pengembangan melindungi seni budaya, lantaran tantangannya sangat besar.
“Pelajar-pelajar yang ada cukup tertarik untuk mempelajari seni tari dan seni teater untuk kepentingan di Bali, buktinya Pesta Kesenian Bali yang lalu, itu khan sangat monumental. Itu dibutuhkan waktu 50 tahun daerah Bali untuk membawa seni ke zaman kebangkitan, seperti ada perlombaan yang disajikan selama sebulan itu sangat luar biasa,” tutup Prof Bandem.
Dimintai komentarnya terkait penampilan Prof Bandem, Rektor ITB STIKOM Bali Dr Dadang Hermawan menyatakan kagum dan menyebutkan Prof Bandem idolanya sejak lama.
“Saya kagum dengan beliau dan idola saya dari dulu. Orangnya simple, sederhana, tapi mendunia dan tidak lupa juga dengan asal-usul daripada beliau. Itu bisa dijadikan suatu model bagi saya dan juga anak-anak kita. Beliau orang globalisasi tapi beliau tidak melupakan lokalnya bahkan asal-usulnya,” pungkas Dadang Hermawan.
Untuk diketahui, seperti dikutip dari Wikipedia, Prof Dr I Made Bandem (dikenal juga sebagai “Joe Papp dari Bali”) adalah seorang penari, artis, penulis, dan akademisi asal Bali.
Bandem belajar tari Bali dari tahun-tahun awalnya, dan memperlihatkan Baris dan tarian lainnya pada usia sepuluh tahun. Menjadi salah satu dari penari-penari Bali pertama yang belajar di Amerika Serikat.Ia adalah Doktor pertama dari Indonesia yang berhasil lulus dari Universitas di Amerika Serikat dalam bidang musik. Ia memperooleh gelar dari University Middeltown Connectiocut,s etelah menemuh studinya dalam jangka waktu 3 tahun (1977-1980). Sebelumnya telah berhasil menmpuh program Master of Art dari University of California Long Anglege, 1968-1972. Bandem mendapatkan gelar masternya dalam tari dari UCLA, dan PhD-nya dalam etnomusikologi dari Universitas Wesleyan.
Buku yang telah ditulisnya berjudul : From Laja to Keldo: Balinese Dance in Transition (Dari Utara ke Selatan: Tari Bali dalam Perubahan), setebal 300 halaman yang diterbitkan oleh Oxford Unversity Press, Kuala Lumpur, pada tahun 1980.