Thursday, 10-10-2024
HukrimOpini

Kasus Landak Nyoman Sukena, Meluluhlantakkan Kepercayaan Masyarakat dalam Penegakan Hukum

Tulisan: I Made Somya Putra SH, MH

I NYOMAN SUKENA terdakwa kasus landak yang didakwa karena memelihara landak Jawa (hystriz javanica) tanpa izin telah dituntut bebas oleh Jaksa Penuntut Umum yang sebelumnya mengaku mengajukan penangguhan penahanan. Langkah hukum JPU disambut cepat oleh penasihat hukumnya dengan mengajukan penangguhan penahanan bersama desa dan pledoinya pasti meminta bebas. Sepertinya hakim akan kompak dengan JPU dan penasihat hukum akan membebaskan I Nyoman Sukena setelah memberikan penangguhan penahanan

Perlu diketahui bahwasanya proses hukum sebelumnya dari penyelidikan, penyidikan , prapenuntutan, dan dilimpahkan hingga didakwa dan diadili hakim baik BKSDA, kepolisian dan kejaksaan serta hakim telah memposisikan dan mempersepsikan I Nyoman Sukena sebagai orang yang bersalah, karena adanya tindakan penahanan.

Pahlawan keadilan yang pertama dan harus kita ucapkan terima kasih bagi I Nyoman Sukena adalah media atau pers yang mempublikasikan pekaranya, hingga menjadi atensi publik yang membuat advokat, anggota DPR, pejabat, penggiat media bersuara, lalu mengganggu keyakinan JPU yang mendakwa. Setelah kekuatan rakyat hampir membunuh kepercayaan publik terhadap penegakan hukum, barulah JPU terlihat khawatir dan terlihat merasa bersalah yang akhirnya mengambil langkah mengajukan penangguhan penahanan dan menuntut agar terdakwanya yang JPU nilai awalnya bersalah menjadi bebas.

Tuntutan bebas memang pernah ada, tapi tidak lazim, apalagi alasannya karena tidak ada niat jahat (mens rea), yaitu sebuah unsur dalam teori kesalahan pidana, sebab unsur tersebut sebelum dibawa ke pengadilan haruslah sudah terbukti dengan kuat, dalam bukti permulaan yang cukup.

Artinya hancur sudah hasil penyelidikan, penyidikan dan dakwaan di tangan Jaksa Penuntut Umum sendiri melalui sebuah tuntutan hasil atensi publik yang ternyata lebih membawa keadilan bagi perasaan hukum masyarakat, atau bisa dikatakan proses penyelidikan, penyidikan dan dakwaan serta penahanan, telah diakui sebagai sebuah kesalahan dalam penegakan hukum.

Mari kita berpikir, bagaimana jika pers tidak memberitakan, dan tidak ada atensi publik, apakah yakin jaksa dan hakim bersikap sama? Di sinilah anggapan No Viral No Justice menjadi penentu alur hukum, yang mempermalukan sikap-sikap pemilik diskresi aparat penegak hukum yang selama ini terasa jagoan dalam menentukan nasib manusia tanpa kebijaksanaan.

Kini keangkuhan pemegang diskresi runtuh dan hampir meluluhlantakkan bangsa dan negara karena hancurnya kepercayaan masyarakat terhadap hukum di Indonesia yang tidak mengukur fungsi keadilan dan kemanfaatan.

Perlu disadari, salah satu hancurnyan sebuah bangsa karena menumpuknya rasa kekesalan masyarakat karena hukum dinilai tajam ke bawah tumpul ke atas. Kasus lain yang ketika melibatkan pejabat tidak diproses, tapi dengan masyarakat kecil diproses dan ditahan bahkan dipenjara. Ternyata ada sate landak juga yang dagingnya diperjualbelikan bahkan dikonsumsi dengan terang benderang. Landak Jawa liar dibiarkan merusak tanaman warga tapi ketika tidak pernah ada BKSDA atau polisi atau jaksa datang menangkap landaknya. Rakyat dibiarkan sendiri menghadapi masalahnya tapi ketika landak dipelihara malah ia diperkarakan.

Perasaan-perasaan demikian sama sekali tidak diukur oleh aparat penegak hukum yang hanya merasa bertugas unsur-unsur pidananya terpenuhi maka ia diproses pidana.

Cara-cara penerapan hukum demikian hampir meruntuhkan bangsa. Syukurlah pejabat mengambil posisi di masyarakat hingga membuat Kejaksaan Tinggi Bali mengambil langkah balik badan dan justru ingin membebaskan terdakwa dari dakwaan.

Saya pikir, apakah sikap kejaksaan itu perlu apresiasi? Sepertinya tidak, bahkan lebih baik mundur saja dari kejaksaan sebab kasus ini sudah meluluhlantakkan kepercayaan masyarakat kepada penegakan hukum di Indonesia, walaupun ada rasa bersalah dari kejaksaan melalui tuntutan bebasnya.

Hancurnya kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum karena kasus landak Jawa ini harus menjadi pembenahan besar-besaran di semua komponen penegakan hukum, baik di kepolisian, advokat, kejaksaan, kehakiman, KPK, dan pejabat-pejabatnya di eksekutif, legislatif dan yudikatif karena masyarakat menilai bobroknya hukum di Indonesia sekarang. Bukan hanya sebatas renungan, tapi gerakan pembenahan total dan harus bisa disebut revolusi penegakan hukum.

Editor: Ngurah Dibia

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button