Wednesday, 15-01-2025
Opini

Filosofi Mata Air, Spirit Wayan Koster Mengabdi dan Melayani Tanah Bali

Kolase foto: Gubernur Bali Terpilih Wayan Koster, mata air Tirta Empul, dan Tower Turyapada KBS 6.0 Kerthi Bali. (barometerbali/213)

Oleh: Ngurah Sigit

MATA AIR adalah awal dari perjalanan sebuah sungai, sebuah simbol kehidupan yang terus mengalir, memberikan manfaat tanpa mengenal pamrih. Dalam setiap tetes airnya terkandung kebijaksanaan alam yang sederhana: memberi tanpa mengharapkan balasan, mengalir tanpa henti, dan senantiasa menjaga keseimbangan di sekitarnya. Filosofi ini begitu melekat pada sosok Dr. Ir. I Wayan Koster, M.M., seorang pemimpin yang menempatkan pengabdian dan pelayanan sebagai inti dari setiap langkah dan kebijakannya.

Koster adalah mata air bagi Bali, sebuah sumber yang tidak hanya menghidupi, tetapi juga menginspirasi. Seperti air yang selalu menemukan jalannya di antara bebatuan, ia hadir sebagai pemimpin yang menjawab tantangan dengan keluwesan dan kebijaksanaan. Dalam visi kepemimpinannya, “Nangun Sat Kerthi Loka Bali,” ia menghidupkan kembali nilai-nilai lokal yang nyaris pudar di tengah derasnya arus globalisasi. Koster memahami bahwa kehidupan bukan hanya tentang keberlanjutan fisik, tetapi juga spiritual, sebuah keseimbangan yang tercermin dari upayanya melestarikan budaya, adat, dan lingkungan Bali.

Dalam filosofi mata air, mengalir berarti menghidupkan. Melalui kebijakan-kebijakan yang berpihak pada rakyat, Koster menghidupkan kembali harapan masyarakat Bali. Ia tidak hanya membangun infrastruktur yang megah, tetapi juga menjaga agar setiap pembangunan itu selaras dengan alam dan budaya. Baginya, modernisasi tidak boleh mengorbankan jiwa masyarakat Bali, melainkan harus menjadi jembatan yang menghubungkan tradisi dengan masa depan. Seperti mata air yang terus-menerus memberi, kepemimpinannya adalah sebuah perjalanan tanpa akhir untuk menghadirkan kesejahteraan bagi semua.

Koster tidak sekadar memimpin, ia melayani. Dalam melayani, ia memosisikan dirinya bukan sebagai penguasa, tetapi sebagai bagian dari masyarakat yang ia cintai. Filosofi mata air mengajarkannya bahwa keberadaan seorang pemimpin hanya berarti jika ia dapat menjadi pelayan bagi rakyatnya. Oleh karena itu, setiap kebijakannya, mulai dari pelestarian aksara Bali hingga pemberdayaan ekonomi lokal, lahir dari pemahaman mendalam tentang kebutuhan masyarakat. Seperti mata air yang memberikan kehidupan bagi siapa saja yang mendekat, kepemimpinannya menjangkau semua lapisan, tanpa pilih kasih.

Di balik setiap tindakannya, ada semangat spiritual yang kuat. Koster percaya bahwa pemimpin harus menjadi penjaga harmoni, tidak hanya antara manusia dan alam, tetapi juga antara dunia material dan spiritual. Ia merawat warisan leluhur Bali dengan cinta yang tulus, memastikan bahwa tradisi yang telah mengakar selama berabad-abad tetap hidup di tengah perubahan zaman. Filosofi ini membuatnya tidak hanya dihormati sebagai pemimpin, tetapi juga sebagai penjaga jiwa Bali.

Mata air juga melambangkan kesabaran, sebuah sifat yang terlihat dalam cara Koster menghadapi berbagai tantangan. Ketika pandemi melanda, ia tidak tergesa-gesa, tetapi dengan tekun memastikan bahwa setiap langkah yang diambil mampu memberikan perlindungan terbaik bagi masyarakat. Seperti mata air yang tenang, ia menghadirkan ketenangan di tengah kegelisahan, membangun kepercayaan bahwa semua akan baik-baik saja selama ada kerja keras dan niat yang tulus.

Kostera dalah manifestasi dari filosofi mata air itu sendiri. Ia adalah seorang pemimpin yang tidak pernah berhenti mengalir, yang kehadirannya membawa kesejukan dan manfaat bagi semua. Dalam setiap kebijakannya, terkandung pesan mendalam tentang pengabdian tanpa batas, tentang pelayanan yang tulus, dan tentang cinta yang tak lekang oleh waktu kepada tanah kelahirannya. Bali, di tangannya, tidak hanya hidup, tetapi juga bersemi, menjadi sebuah harmoni yang indah antara tradisi dan kemajuan. Seperti mata air yang tak pernah kering, semangat pengabdian Koster akan terus mengalir, memberi kehidupan bagi generasi yang akan datang.

Penulis adalah Sosiolog, Budayawan, dan Pemerhati Media

Editor: Ngurah Dibia

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button