Barometer Bali | Denpasar – Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali bakal membangun fasilitas waste to energy (WTE) atau pengelolaan sampah menjadi energi listrik. Kepala Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Bali, Made Rentin, menjelaskan bahwa proyek strategis nasional ini kini memasuki tahap final penentuan lokasi, dengan lahan baru yang akan dibangun di kawasan Pelindo, Denpasar Selatan.
“WTE atau waste to energy, kalau dalam istilah Indonesianya adalah pengelolaan sampah menjadi energi listrik (PSEL). Kami sedang berproses, dan akhirnya sampai pada keputusan, terutama terkait lokasi. Setelah melalui berbagai pertimbangan dan kajian, diputuskan untuk dibangun di kawasan Pelindo Denpasar,” ungkap Made Rentin di sela-sela acara Pelatihan Penigkatan Kapasitas Jurnalis Peliputan Bencana Alam yang digelar Jawa Pos TV Bali bersama BMKG di Quest Hotel San Denpasar, Sabtu (4/10/2025).
Menurut Rentin, lahan yang disiapkan seluas 16,5 hektare, dengan sekitar 6 hektare di antaranya akan digunakan khusus untuk fasilitas pengolahan sampah menjadi energi listrik. Penetapan lokasi ini telah disepakati bersama oleh Gubernur Bali, Bupati Badung, dan Wali Kota Denpasar, karena dinilai paling representatif serta sesuai dengan tata ruang pengembangan energi terbarukan.
“Kesesuaian dengan tata ruang adalah faktor utama. Kawasan Pelindo termasuk dalam zona pengembangan energi terbarukan, sehingga sangat tepat untuk pembangunan WTE ini,” jelasnya.
Lebih lanjut, Rentin menyampaikan bahwa Pemprov Bali kini menunggu terbitnya regulasi utama berupa Peraturan Presiden (Perpres) yang akan menjadi dasar hukum pelaksanaan proyek ini.
“Perpres ini menjadi payung bagi daerah, bukan hanya Bali, tetapi juga DKI Jakarta dan Yogyakarta. Bali menjadi daerah ketiga yang akan didorong untuk segera mengaplikasikan pengelolaan sampah menjadi energi listrik,” jelasnya.
Rentin memaparkan, saat ini timbulan sampah di Bali mencapai lebih dari 3.400 ton per hari. Namun, pada tahap awal (step one), proyek WTE hanya akan mengakomodasi dua daerah terlebih dahulu, yaitu Kota Denpasar dan Kabupaten Badung.
“Dari hasil pendataan kami, Denpasar menghasilkan lebih dari 700 ton per hari, sedangkan Badung mendekati 350 ton per hari. Jumlah ini sudah memenuhi persyaratan minimal untuk operasional WTE, yaitu 1.000 ton per hari,” katanya.
Ia juga menegaskan pentingnya kesiapan anggaran dari pemerintah daerah, khususnya untuk biaya operasional seperti transportasi, bahan bakar, serta tenaga kerja pengangkut sampah menuju fasilitas WTE.
Pemerintah Provinsi Bali juga akan segera melakukan sosialisasi kepada masyarakat sekitar kawasan Pelindo. Menurut Rentin, jarak antara lokasi pembangunan dengan permukiman warga relatif jauh sehingga diharapkan tidak menimbulkan penolakan.
“Kami akan lakukan sosialisasi ke masyarakat sekitar. Dari pemetaan, lokasi WTE cukup jauh dari pemukiman warga, sehingga diharapkan dapat diterima dengan baik. Ini merupakan strategi utama di hilir untuk menuntaskan permasalahan sampah di Bali,” paparnya
Selain pembangunan WTE, Pemprov Bali juga memperkuat sistem pengelolaan sampah di tingkat sumber melalui pembangunan Tempat Pengolahan Sampah Reduce-Reuse-Recycle (TPS 3R).
“Gubernur mendorong agar dibangun minimal 42 TPS 3R baru berbasis desa di Denpasar dan Badung. Kendatipun WTE berjalan, pengolahan sampah berbasis sumber tetap menjadi prioritas, karena sampah organik seharusnya sudah tuntas di TPS 3R,” tandas Rentin.
Rentin menegaskan bahwa teknologi WTE yang akan diterapkan di Bali wajib memenuhi standar lingkungan sesuai Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 70 Tahun 2019.
“WTE tidak boleh menggunakan tungku bakar biasa. Generator yang digunakan harus berbasis insinerator dengan suhu minimal 800 derajat celcius untuk mencegah pencemaran udara, air, dan tanah,” terangnya.
Ia menambahkan, pasokan sampah tidak boleh kurang dari 1.000 ton per hari agar sistem dapat berjalan stabil.
“Jika suplai kurang dari 1.000 ton per hari, ada konsekuensi penalti bagi pemerintah daerah. Sebaliknya, jika lebih dari 2.000 ton per hari, akan ada insentif,” sebutnya.
Rentin juga menegaskan bahwa pemerintah provinsi mengambil alih koordinasi proyek ini karena bersifat lintas kabupaten dan kota.
“Karena proyek ini mencakup Denpasar dan Badung, maka kewenangannya ditarik ke provinsi agar lebih terintegrasi,” pungkas Rentin. (rian)