Barometer Bali | Denpasar – Jurnalisme sehat menjadi kunci menjaga Bali tetap aman. Melalui diskusi lintas organisasi pers, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Bali menekankan peran wartawan bukan hanya sebagai peliput, tetapi juga penjaga stabilitas sosial.
Di tengah derasnya arus informasi dan maraknya konten tak terverifikasi di media sosial, PWI Bali juga menegaskan pentingnya profesionalitas wartawan dalam menjaga kondusifitas keamanan di wilayah Bali
Hal ini mengemuka dalam diskusi bertajuk “Profesionalitas Wartawan dalam Mendukung Kondusifitas Keamanan di Wilayah Provinsi Bali” yang digelar PWI Bali di Denpasar, Jumat (3/10/2025) malam.
Forum ini menghadirkan dua wartawan senior sekaligus praktisi media, Agus Putra Mahendra (PWI Bali) dan Rofiqi Hasan (Praktisi Media), serta dihadiri perwakilan dari berbagai organisasi pers di Bali, seperti Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Denpasar, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Bali, Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Bali, Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI), Ikatan Wartawan Online (IWO) Bali, dan Ukhuwah Jurnalis Bali (UJB).
Diskusi yang dipandu Sekretaris PWI Bali, I Ketut Joni Suwirya, berlangsung dinamis dengan kehadiran puluhan wartawan dari berbagai media cetak, online, dan televisi.
Dalam pemaparannya, Agus Putra Mahendra atau yang akrab disapa Gus Hendra menyoroti tantangan wartawan di lapangan, terutama saat meliput aksi massa.
“Wartawan itu bekerja berdasarkan Undang-Undang Pers. Kami hadir bukan sebagai bagian dari demonstran, tapi menjalankan tugas jurnalistik untuk menghadirkan informasi berimbang bagi masyarakat,” tegasnya.
Ia mengingatkan, tindakan represif terhadap wartawan atau jurnalis bukan hanya menghambat kerja pers, tetapi juga berpotensi mencederai demokrasi. Namun ia juga menyampaikan, kebenaran wartawan itu bukan kebenaran materiil, tapi hasil verifikasi.
“Kalau kita salah, dampaknya besar, dan permintaan maaf tak cukup memperbaikinya,” sambungnya.
Dalam forum tersebut, Gus Hendra juga mengingatkan agar wartawan tetap menjaga kecerdasan emosional dan intelektual dalam bekerja.
“Publik masih melihat wartawan sebagai makhluk intelek. Tapi kalau kita lebih mengedepankan emosi ketimbang rasio, maka objektivitas hilang, etika ikut lenyap, dan produk jurnalistik pun jadi buruk,” tuturnya.
Ia memberi contoh sederhana soal pentingnya pemilihan diksi. “Kalau kita menulis ‘kerusuhan di Bali’, padahal kejadiannya di satu titik, misalnya di Polda Bali, itu bisa menimbulkan persepsi keliru dan merusak citra pariwisata. Maka hati-hati dalam menulis,” pesannya.
Sementara itu, Rofiqi Hasan menyoroti tantangan baru di era digital, di mana arus berita bersaing dengan derasnya informasi dari media sosial.
“Sekarang semua orang bisa mengklaim diri sebagai pembawa berita. Hoaks dan provokasi mudah menyebar. Di sinilah pentingnya wartawan berpegang pada prinsip verifikasi dan konfirmasi agar media tetap dipercaya publik,” tandasnya.
Ia menilai, banyak media saat ini justru terjebak mengejar viralitas dan melupakan kedalaman liputan.
“Seolah-olah semua bermain di ceruk yang sama. Padahal, media justru perlu memperkuat karakter liputan agar punya nilai lebih,” tambahnya.
Menurut Rofiqi, kebenaran dalam jurnalistik bukanlah kebenaran mutlak, melainkan hasil verifikasi yang bisa dipertanggungjawabkan.
“Kalau wartawan salah, dampaknya bisa luas. Permintaan maaf pun tidak cukup untuk memperbaiki kerusakan yang sudah terjadi,” cetusnya.
Sementara itu, perwakilan UJB, Rohmat dari Kabarnusa.com, menekankan pentingnya independensi media agar tidak larut dalam kepentingan pemilik atau kekuasaan.
“Fungsi media adalah menyuarakan kepentingan publik. Kalau terlalu dekat dengan kepentingan tertentu, berita kita akan kehilangan daya kritis,” sentilnya.
Ketua Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Bali, Emanuel Dewata Oja atau yang akrab disapa Edo, menekankan pentingnya profesionalisme wartawan dalam menjalankan kerja jurnalistik di tengah derasnya arus informasi digital. Menurutnya, wartawan tidak hanya dituntut menyajikan berita cepat, tetapi juga akurat dan berimbang sesuai kaidah jurnalistik.
“Profesionalisme adalah benteng utama wartawan. Setiap berita harus melalui verifikasi dan konfirmasi, sehingga media tetap dipercaya publik,” ujar Edo.
Ia juga mengingatkan soal kewajiban media memberikan hak jawab bagi pihak yang merasa dirugikan oleh sebuah pemberitaan. “Hak jawab adalah kewajiban, bukan komoditas. Tidak boleh ada pihak yang dimintai uang hanya karena ingin menyalurkan hak jawabnya,” tegasnya.
Selain itu, Edo menekankan pentingnya pemahaman mendalam terhadap pasal-pasal dalam Kode Etik Jurnalistik. “Kode Etik adalah kompas moral pers. Tanpa memahami dan mengamalkan pasal-pasalnya, wartawan bisa mudah tergelincir, dan dampaknya bukan hanya pada media, tapi juga pada demokrasi kita,” tandasnya.
Dari AJI, Ayu Sulistyowati menambahkan, wartawan perlu memperkuat kapasitas individu agar tetap relevan di tengah dominasi media sosial.
“Wartawan masih punya legitimasi karena bekerja dengan akurasi, verifikasi, dan kode etik. Itu keunggulan yang tidak dimiliki media sosial,” katanya.
Ketua Panitia Diskusi, Arief Wibisono, yang juga sebagai Wakil Ketua Bidang Pendidikan PWI Bali, menegaskan bahwa kegiatan ini menjadi bagian dari upaya membangun kesadaran kolektif wartawan agar tetap berpegang teguh pada Kode Etik Jurnalistik.
“Kehadiran Wartawan dalam peliputan apapun itu adalah untuk menjaga ruang publik agar tidak terjadi ‘Distorsi’ atau pemutarbalikan fakta, tetapi wartawan juga harus memikirkan keamanan dan keselamatan dirinya,” tandasnya.
PWI Bali, lanjutnya, berkomitmen memperkuat komunikasi dengan aparat para stakeholder agar setiap peliputan, termasuk saat terjadinya aksi massa, berlangsung aman tanpa gesekan.
“Wartawan adalah mitra strategis dalam menjaga kondusifitas daerah, terutama Bali yang dikenal sebagai destinasi wisata dunia. Informasi yang disajikan secara profesional akan memberi dampak positif bagi stabilitas sosial dan citra daerah,” paparnya.
Bagi PWI Bali, menjaga keamanan dan kenyamanan Bali bukan semata tugas aparat atau pemerintah, melainkan juga tanggung jawab insan pers.
“Berita yang profesional bukan hanya memberi informasi, tapi juga menjaga keseimbangan sosial. Bali butuh wartawan yang cerdas, santun, dan berintegritas,” tutup Arief.
Kegiatan ditutup dengan keinginan para peserta untuk menggelar workshop singkat tentang teknik jurnalistik humanis dan berimbang, sebagai bekal bagi jurnalis untuk menghadirkan berita yang tidak hanya informatif, tetapi juga menyejukkan. (red)