Sunday, 23-02-2025
Pro Kontra

Forkom Taksu Bali Desak BTID Penuhi Perjanjian 1998

Foto: Forkom Taksu Bali siap terjun lakukan aksi tuntut PT BTID terkait perjanjian tahun 1998, penyediaan lahan parkir seluas 4 hektar untuk Pura Sakenan, sebagaimana tertuang dalam perjanjian nomor 046 antara PT BTID dan masyarakat Serangan. (barometerbali/rah)

Denpasar | barometerbali – Forum Komunikasi Taksu Bali (Forkom Taksu Bali) menuntut PT Bali Turtle Island Development (BTID) agar menepati kesepakatan yang telah dibuat sejak 1998. Perusahaan tersebut dinilai belum sepenuhnya memenuhi komitmennya terhadap masyarakat Kelurahan Serangan, terutama dalam penyediaan lahan parkir seluas 4 hektar untuk Pura Sakenan sebagaimana tertuang dalam perjanjian nomor 046.

Meski sebagian poin perjanjian telah direalisasikan, pembangunan terus berlanjut tanpa memberikan kepastian terhadap hak-hak masyarakat setempat. Tim Hukum Forkom Taksu Bali, Jro Komang Sutrisna, menyatakan bahwa masyarakat Serangan merasa dirugikan oleh ketidakjelasan ini.

“Sebagian besar perjanjian memang sudah dijalankan, tetapi pembangunan terus berlangsung tanpa memperhatikan hak masyarakat. Warga Serangan seakan hanya bisa gigit jari,” ujarnya, Jumat (21/2/2025).

Sekretaris Jenderal (Sekjen) Forkom Taksu Bali, Khismayana Wijanegara alias Gung Kis, menegaskan bahwa pihaknya siap memperjuangkan hak-hak masyarakat Serangan hingga tuntas. Jika jalur hukum dan pendekatan berbasis adat tidak membuahkan hasil, maka aksi unjuk rasa menjadi opsi berikutnya.

“Ketika jalur agama dan hukum tidak membuahkan hasil, sebagai krama adat dan umat Hindu, kami akan berjuang habis-habisan,” tegasnya.

Gung Kis juga mengungkapkan bahwa seluruh elemen Forkom Taksu Bali telah siap untuk turun langsung ke lapangan guna menuntut hak mereka.

“Semua elemen sudah menyatakan kesiapan. Mereka mendesak agar segera dilakukan aksi,” tandasnya.

Sementara itu, Ketua Forkom Taksu Bali, Jro Mangku Wisna, mengecam PT BTID yang belum memenuhi janjinya terhadap laba pura di Pulau Serangan. Ia mengingatkan bahwa selain Pura Sakenan, pura-pura lain seperti Pura Dalem Setra, Pura Dalem Dukuh, Pura Susunan Wadon, Pura Prajapati, Pura Segara, Pura Kahyangan, dan Pura Beji juga membutuhkan perhatian.

“Jangan hanya fokus pada Pura Sakenan. Semua pura di Serangan memiliki fungsi penting dalam sistem keagamaan dan adat. Jangan sampai hak spiritual ini diabaikan demi kepentingan bisnis,” tegasnya.

Jro Mangku Wisna menambahkan bahwa sebelum BTID masuk ke Serangan, umat Hindu bisa bersembahyang dengan bebas di pura-pura tersebut tanpa kendala akses maupun fasilitas. Namun, setelah proyek BTID berjalan, banyak kawasan suci yang semakin sulit dijangkau.

“Sebelum BTID, Serangan adalah pusat spiritual yang terbuka. Sekarang akses semakin sulit, dan janji laba pura tidak juga dipenuhi. Ini jelas pengabaian terhadap kesepakatan awal,” ujarnya.

Lebih lanjut, ia menyoroti langkah BTID yang justru mengajukan permintaan tambahan lahan 27 hektar di Taman Hutan Raya (Tahura), termasuk kawasan suci yang seharusnya dilindungi.

“Kami tidak menolak investasi, tetapi investasi harus menghormati adat dan budaya Bali. Jika janji lahan 4 hektar saja tidak ditepati, bagaimana kami bisa percaya mereka akan menjaga pura di dalam Tahura?” katanya.

Forkom Taksu Bali mendesak pemerintah daerah segera turun tangan untuk memastikan hak-hak masyarakat dan keberlangsungan pura di Serangan tetap terlindungi. Jika dalam waktu dekat tidak ada kejelasan, mereka siap melakukan aksi yang lebih besar.

“Serangan bukan hanya soal bisnis, ini tanah suci yang harus dilindungi!” pungkasnya. (rah)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button