Pertahankan Tanah Warisan, Sekeluarga di Desa Adat Catur “Kasepekang”
MENGADU: Nyoman Mana yang dikenai sanksi “Kasepekang” saat mengadu ke Jro Bima di Sekretariat Yayasan Kesatria Keris Bali, Denpasar, Jumat (25/3/2022). (Kolase: BB/YKKB)
Denpasar | barometerbali – Dipicu pengajuan gugatan seorang krama (warga adat, red) kepada Bandesa Adat Catur ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) akhirnya memantik keluarnya sanksi adat kepada Nyoman Mana dan keluarga yang terancam diusir dari tempat kelahirannya karena sanksi adat “kasepekang” (pengucilan sosial, red) dan “kanorayang” (pengusiran dari wilayah adat, red).
Keluarnya sanksi adat tersebut berdasarkan Keputusan Paruman Prajuru Desa Adat Catur No: 9/D.A.C/V/2021 tertanggal 7 Desember 2021 ditandatangani Bandesa Adat Catur I Made Wirta, diketahui, disetujui dan ditandatangani pula oleh Manggala Kerta Desa Adat Catur Jro Mangku Nym. Suarnatha, dan Perbekel Desa Catur I Wayan Sukarata.
Nyoman Mana menduga sanksi adat itu diputuskan ketika dirinya berupaya keras mempertahankan tanah yang dia akui warisan dari sang kakek yang telah diambilalih Desa Adat Catur, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli.
Sebelumnya Nyoman Mana juga berencana menggugat Bandesa Adat Catur, ke Pengadilan Negeri Bangli namun urung dilakukan karena 2 saksi yang hendak memberikan kesaksian juga dikenai sanksi adat berupa denda uang kepeng.
Hukuman adat yang diputuskan oleh Desa Adat Catur menimbulkan trauma mendalam kepada Nyoman Mana dan keluarganya.
Perasaan sedih campur kalut Nyoman Mana ini ditumpahkan saat mengadukan nasib tragisnya kepada Jro Ketut Ismaya Jaya (Jro Bima) dari Yayasan Kesatria Keris Bali dalam tayangan channel youtube Keris Bali, Jumat (25/3/2022).
Nyoman Mana didampingi kakaknya Wayan Sukita menceritakan kisah pilunya saat Bandesa Adat Catur mengklaim dan menyertifikatkan tanah miliknya seluas 1,15 hektar berlokasi di wilayah Br. Lampu di desa adat yang sama. Tak terima, dia kemudian melakukan gugatan ke pengadilan dan dari situlah pihaknya mulai dikenai sanksi dari awig-awig (aturan tertulis desa adat).
“Tiyang (saya, red) bersama keluarga dan anak-anak di-sepekang dan mau diusir dari tanah kelahiran tyang sendiri karena tiyang menggugat tanah di mana tiyang bersama keluarga diwariskan tanah berdasarkan pipil atas nama almarhum kakek kami yang bernama Nang Warni seluas 1 hektar 15 di Desa Catur, Banjar Lampu. Tanah kami itu disertifikatkan atas nama Desa Pakraman Catur dan dipecah menjadi 27 sertifikat. Setelah kami melakukan gugatan ke PTUN, dari sanalah kami kemudian dibikinkan peraturan yang betul-betul menyulitkan kami untuk mendapatkan sebuah keadilan,” tutur Nyoman Mana kepada Jro Ismaya, panggilan akrab Pendiri Yayasan Kesatria Keris Bali itu.
Hal memberatkan lainnya, selama menjalani sanksi “kasepekang”, dia dan keluarga tak diperbolehkan bergaul dengan di lingkungan sendiri, tak diperbolehkan sapa-menyapa dengan warga sekitar.
“Karena ada aturan dari bandesa, barang siapa yang berani berbicara dengan saudara saya maka yang berbicara itu patut kekenen pidanda (wajib dikenakan sanksi denda, red). Kami tidak boleh berbelanja di lingkungan kami sendiri, dan bahkan kami tidak diizinkan beli bensin di SPBU. Sembahyang ke pura adat, Pura Desa juga tidak diperbolehkan, Pura Kawitan boleh. Anak-anak kami juga dikekang, tidak diberi kebebasan untuk bergaul dan tak diperbolehkan bergaul dengan warga, di luar sekolahnya” papar Mana dengan raut wajah lesu.
Permasalahan ini menurut Nyoman Mana yang bersaudara 7 orang (laki 4, perempuan 3) ini sempat dimediasi oleh Sekda Bangli yang mengundang kedua belah pihak. “Janjinya dari pihak Bandesa Adat meminta waktu dari mediasi terus untuk mencabut awig yang dikenakan kepada tiyang sampai tanggal 13 (Maret 2022) untuk mencabut seluruh awig yang dikenakan kepada tiyang. Nyatanya setelah lewat dari tanggal 13 niki (ini), justru Desa Adat mengeluarkan lagi sepucuk surat niki yang ditujukan kepada kami untuk menghadap ke Bandesa Adat, cuma tempat dan tanggalnya belum dicantumkan,” ujarnya.
Adapun isi surat tersebut untuk memanggil dirinya dan saudara-saudara lakinya, I Nyoman Buncing (paman), I Wayan Sukiara, I Wayan Sukita, I Wayan Warka beserta keluarga rapat bersama Prajuru Adat dan Bandesa Adat membicarakan “kasipatan” (disebutkan sebagai denda berupa uang tunai Rp200.000 dikali jumlah KK di Desa Adat Catur, red) yang dikenakan kepada keluarga mereka yang akan berakhir pada 15 Maret 2022.
“Untuk itu kami memberikan waktu kepada saudara untuk datang menghadap kepada Prajuru Adat dan Jro Bandesa untuk membicarakan ‘kasipatan’ selambat-lambatnya pada hari Selasa tanggal 22 Maret 2022. Apabila saudara tidak datang pada batas waktu yang kami berikan maka surat keputusan ‘kanorayang’ akan diberlakukan. ‘Kanorayang’ niki diusir kalau dibahasa-Indonesiakan nggih,” urai Nyoman Mana kepada Jro Ismaya yang juga kerap disapa Jro Bima ini.
“Tiyang sampai saat ini bingung harus menghadap siapa, ke Jro Bandesa napi ke kantor desa. Karena tidak diperjelas (dalam surat, red). Makanya sampai hari ini kami tak berani menghadap Jro Bandesa,” ujar Nyoman Mana yang anaknya masih duduk di kelas 15 SMP dan kelas 5 SD ini.
Terkait upaya hukum yang telah ditempuh Nyoman Mana melalui PTUN namun keputusan yang dikeluarkan pihak PTUN menyatakan bukan kompetensi absolut. Sedangkan kompetensi absolut adalah kewenangan pengadilan untuk mengadili suatu perkara menurut obyek, materi atau pokok sengketa.
“Yang isinya, bukan ranahnya PTUN dalam mengadili perkaranya ini. Setelah itu, kuasa hukum kami akan menempuh jalur hukum lewat pengadilan negeri. Baru rencana mau menggugat ke pengadilan negeri, dibikinkan lagi sebuah peraturan-peraturan (adat) yang bertujuan untuk menekan tyang sendiri tidak melakukan gugatan ke pengadilan negeri,” keluh Nyoman Mana.
Mirisnya lagi, 2 orang yang dianggap mengetahui asal-usul kepemilikan tanah dan dipersiapkan untuk menjadi saksi di pengadilan, justru diberikan sanksi denda oleh pihak desa adat.
“Dulu kami memiliki 2 orang saksi, di mana 2 saksi itu tahu persis sejarah tanah leluhur kami. Saksi kamipun dikenakan denda berupa uang bolong (kepeng, red) 250 keteng, bakti dan pejati,” sebutnya.
Saat ditanya Jro Ismaya apakah selama ini aktif dalam kegiatan banjar, Nyoman Mana membenarkannya. “Tyang tetap masuka–duka di banjar dari leluhur tiyange juga. Dari leluhur tyang sampai sekarang tidak pernah sampai membangkang di banjar,” sahutnya lirih.
Menanggapi keluh-kesah dari Nyoman Mana sekeluarga, Jro Ismaya yang juga kerap disapa Jro Bima ini mengaku sangat prihatin dengan kondisi ini. Dia berharap kasus seperti ini tak berulang kembali menimpa krama Bali.
“Hidup di gumi Bali tapi seperti tak hidup di gumi Bali. Ini yang sangat memedihkan. Saya akan memperjuangkan nyama (saudara, red) untuk mendapatkan keadilan. Kasihan, beliau ini tak punya siapa. Saudara (laki) berempat tapi tak punya kemampuan untuk berdebat dan bersuara kebenaran,” tandas Jro Ismaya.
Dia meminta agar Majelis Desa Adat dan Desa Adat membuka hatinya karena nyama Bali jumlahnya sedikit, jangan sampai hal ini menyebabkan umat kita konversi ke agama lain karena merasa tak memperoleh keadilan dari masalah yang mereka hadapi di tanah kelahirannya sendiri.
“Jangan mentang-mentang memiliki jabatan malah membuat aturan yang menyusahkan dan menindas yang kecil. Coba kalau saudara kita ini pindah agama karena merasa diberatkan,” pesannya mengingatkan.
Jro Ismaya merasa miris dan prihatin dengan keadaan yang menimpa Nyoman Mana sekeluarga dan memberikan kesempatan kepadanya untuk melakukan proses hukum yang adil.
“Biarkan orang mencari keadilan untuk mendapatkan yang seadil-adilnya, kalau dia merasa benar karena dia mempunyai hak. Ada hukum adat yang memang adat yang mempunyai tapi ada hukum negara di atasnya yang berhak warga negara untuk mendapatkan. Hukum positifnya harus dijalankan. Nah kalau ini tidak tidak diberikan artinya kan ada penzoliman ada ketidakadilan. Ida Bhatara Bhatari tunasang tyang (Para Dewa Dewi saya mohonkan) siapapun yang membuat ketidakadilan akan ada karmanya nanti,” pungkas Jro Ismaya.
Dikonfirmasi melalui sambungan telepon Nyoman Mana membenarkan apa yang disampaikan tersebut dan mengaku dirinya sudah dihubungi oleh Wakil Bupati Bangli, I Wayan Diar untuk proses mediasi.
“Tyang kemarin (Sabtu, 26 Maret 2022) dihubungi oleh Pak Wakil Bupati untuk mediasi semua pihak. Kemungkinan dalam 1 atau 2 hari ini,” tambahnya.
Ketika ditanyai soal bukti sertifikat dan pipil yang sudah dimiliki, Nyoman Mana menyarankan untuk menghubungi kuasa hukumnya. “Ampura pak, biar tyang tidak salah memberikan info ,seluruh bukti bukti ada di kuasa hukum tiyange, Togar Situmorang alamat kantornya di Gatsu Timur. Semua keputusan awig dari Bandesa ada di kantor kuasa hukum tiyange,” tutup Nyoman Mana, Minggu (27/3/2022).
Di sisi lain, Jro Bandesa Adat Catur I Made Wirta hingga kini belum bisa dikonfirmasi untuk dimintai tanggapannya terkait polemik ini. Berkali-kali dihubungi melalui nomor ponsel menantunya namun tidak bisa karena dalam kondisi tidak aktif.
Akan tetapi pengakuan berbeda dilontarkan Perbekel Desa Catur I Wayan Sukarata yang turut menandatangani Keputusan Paruman Desa Adat Catur terkait sanksi adat tersebut menegaskan hal tersebut sudah merupakan bunyi awig awig Desa Adat Catur.
“Puniki, nika wenten awig awig saking dumun. Nah sapa sira mempermasalahkan tanah duwen desa, kakenenin pamidanda manut pararem, manut ring keputusan nika. (Begini, itu kan ada awig awig dari dulu. Nah barang siapa mempermasalahkan tanah milik desa, dikenai denda sesuai hasil rapat, sesuai hasil keputusan itu,” terang Perbekel Catur saat dikonfirmasi melalui sambungan telepon, Minggu (27/3/2022).
Mengenai kehadirannya dalam rapat tersebut karena dirinya diundang selaku Kepala Desa Catur. “Apa pun yang terjadi di desa itu, Perbekel kan mengetahui manten, kenten (saja, begitu),” cetusnya. (BB/501)
One Comment