Monday, 30-12-2024
Hukrim

Pria Dharsana: Perjanjian Tanpa Alas Hak Bukan Akta Otentik

Denpasar | barometerbali – Perjanjian kerja sama dibuat tanpa adanya alas hak bukan merupakan akta otentik yang sah menurut hukum. Ahli Kenotariatan Dr. I Made Pria Dharsana, S.H, M.Hum sering dipanggil sebagai saksi ahli dalam pengadilan menegaskan hal itu saat dikonfirmasi wartawan, Senin (18/4/2022) di Kuta.

Namun ketika ditanyakan mengenai pelaporan dilakukan Bupati Badung Nyoman Giri Prasta ke Polda Bali belum lama ini, terkait adanya dugaan memberi keterangan palsu dalam akta otentik yang ditandatangani Kelihan Adat Desa Ungasan Wayan Disel Astawa dalam membuat perjanjian kerja sama dengan pihak ketiga, ia mengatakan hal tersebut harus diteliti dengan benar terlebih dulu.

“Apakah perjanjian antara desa adat dengan pihak ketiga tersebut ada alas haknya? Serta apakah alas haknya sudah bersertifikat atas nama Desa Adat atau belum?,” tanya Pria.

Ia menandaskan jika pun sekarang ada laporan ke pihak kepolisian, seharusnya dikedepankan asas praduga tidak bersalah.

“Terlalu dini menyampaikan seperti itu. semua perjanjian dibuat Notaris adalah akta otentik sampai dibuktikan bahwa prosedur pembuatan aktanya tidak terpenuhi sesuai dengan Undang Undang Jabatan Notaris (UUJN Nomor 30 tahun 2004 jo UUJNP 2 tahun 2014). Bisa saja itu adalah akta perjanjian di bawah tangan,” jelasnya.

Ditambahkan, sepanjang yang ia tahu dalam perjanjian Desa Adat Ungasan tidak ada alas hak. Begitu juga tidak berani kita katakan telah terjadi memberi keterangan palsu pada perjanjian tersebut.

“Para pihak kan sama-sama tahu di sana tidak ada alas hak, jika demikian apakah ada Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Jika tidak ada alas haknya apa yang jadi dasar permohonan untuk diproses,” terang Pria Dharsana.

Lebih lanjut Notaris yang juga Dosen Fakultas Hukum Universitas Warmadewa dan juga Universitas Udayana ini mengatakan, syarat sahnya sebuah akta otentik harus sesuai dengan KUHPerdata Pasal 1320.

Di mana dalam hal ini diperlukan empat syarat mutlak. Yakni, terpenuhinya unsur kesepakatan para pihak serta kecakapan membuat suatu perikatan. Begitu juga terpenuhi suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal terjamin dalam sebuah perikatan.

“Dari empat syarat itu jika satu saja tidak terpenuhi artinya bisa dikatakan itu adalah akta otentik tidak sah atau tidak memenuhi syarat sebagai akta otentik. Bisa dikatakan cacat hukum,” ungkap Made Pria Dharsana kepada wartawan di Denpasar, Minggu (17/04/2022)

Pria Dharsana menjelaskan, perbedaan pokok antara akta otentik dengan akta di bawah tangan adalah cara pembuatan atau terjadinya akta. Suatu akta otentik ialah suatu akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu ditempat dimana akte itu dibuatnya (Pasal 1868 KUHPer).

“Contoh dari akta otentik adalah akta notaris,surat berita acara sidang, proses perbal penyitaan, surat perkawinan, kelahiran, kematian, dan sebagainya. Sedangkan akta di bawah tangan contohnya adalah surat perjanjian sewa menyewa rumah, surat perjanjian jual beli, dan sebagainya, jika dibuat tidak dihadapan Notaris maka disebut akta dibawah tangan,” sebutnya

Oleh karena itu kata Pria Dharsana yang juga Koordinator Dewan Pakar Ikatan Notaris Indonesia (INI) menyimpulkan, bahwa baik akta otentik maupun akta di bawah tangan merupakan alat bukti berupa tulisan. Namun, terdapat perbedaan dalam hal keterlibatan pejabat umum dalam pembuatannya. Selain itu juga, terdapat perbedaan mengenai kekuatan pembuktian di pengadilan terhadap akta otentik dengan akta di bawah tangan. (BB/501)

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button