Friday, 26-07-2024
Peristiwa

Kasus Pantai Melasti Membuat Bandesa Adat Canggu Was Was

Badung | barometerbali – Pelaporan Bandesa Adat Ungasan ke polisi terkait dugaan pelanggaran tataruang di Pantai Melasti dan pemberian keterangan palsu pada akta otentik, menimbulkan kekhawatiran salah satunya Bandesa Adat Canggu, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung.

“Saya mengaku was-was, khawatir untuk melakukan pengelolaan pantai sebagai potensi sumber ekonomi desa adat,” ungkap Suarsana.

Atas peristiwa ini simpati dari sesama Bandesa Adat di Kabupaten Badung kian menguat ketika polemik pengelolaan Pantai Melasti oleh Desa Adat Ungasan mencuat ke permukaan. Hal ini menimbulkan wacana pro dan kontra di masyarakat.

Setelah sebelumnya Bandesa Adat Jimbaran dan Tuban menyampaikan persoalan yang sama terkait pemanfaatan pantai, kini giliran Bandesa Adat Canggu Wayan Suarsana mengungkapkan keprihatinannya sekaligus sumbang saran.

Wayan Suarsana berharap permasalahan pengelolaan Pantai Melasti antara Desa Adat Ungasan dengan Pemkab Badung dapat diselesaikan dengan komunikasi yang baik. Ia berharap Pemerintah sebagai Guru Wisesa dapat memberikan tuntunan kepada masyarakat adat.

Seperti diketahui sebelumnya, pengelolaan Pantai Melasti oleh Desa Adat Ungasan dipermasalahkan oleh Pemkab Badung, lantaran Bendesa Adat Ungasan dianggap menyerobot tanah negara. Bahkan, atas permasalahan itu, Bupati Badung Nyoman Giri Prasta sampai membuat laporan ke Polresta dan Polda Bali.

“Sebagai sesama pengayah di desa adat, harapannya permasalahan di Desa Adat Ungasan terkait pengelolaan Pantai Melasti itu dapat diselesaikan dengan komunikasi yang baik. Agar dapat segera selesai, karena ditunggu-tunggu juga oleh desa adat yang lainnya,” katanya, Selasa (12/04/2022).

“Masyarakat desa adat ini kan pemerintah juga yang punya. Masyarakatnya kan satu antara desa adat dengan dinas. Jadi alangkah baiknya kalau sinergi, seiring seirama dalam memajukan daerah kita,” imbuhnya.

Untuk di Canggu sendiri, Wayan Suarsana mengatakan pihaknya tengah berbenah. Ia berharap pihaknya dapat mengelola potensi ekonomi kawasan pantai yang ada sebagai sumber pendapatan desa guna membiayai penyelenggaraan urusan upacara dan budaya agar tetap menjadi daya tarik wisata.

“Kita di Canggu sedang berbenah. Bagaimana baiknya terkaitnya penataan pantai yang ada di Canggu. Harapannya kita dapat akses mengelola pantai seperti di desa-desa lain sehingga dapat menjadi sumber pemasukan desa untuk membiayai acara-acara adat,” ujarnya.

Untuk kebutuhan biaya penyelenggaraan urusan adat dalam setahun di Desa Adat Canggu sendiri, terang Wayan Suarsana lebih lanjut, mencapai angka sekitar Rp 600-700 juta. 

Juga untuk upacara ngaben, memukur, metatah, tiga bulanan massal yang diselenggarakan setiap 5 tahun sekali, desa adat menyisihkan dana hampir Rp 300-500 juta untuk mensubsidi masyarakat.

Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, terangnya, Desa Adat Canggu selama ini mengandalkan dana dari 20% pendapatan LPD (Lembaga Perkreditan Desa), pendapatan jasa pengangkutan sampah, ditambah dana BKK (Bantuan Keuangan Khusus) dari provinsi.

“Kebutuhan kita untuk adat dalam setahun, sekitar Rp 600-700 juta. Juga untuk upacara ngaben, memukur, metatah tiga bulanan setiap 5 tahun sekali desa adat menyisihkan dana hampir Rp 300-500 juta untuk mensubsidi masyarakat,” paparnya.

Desa Adat Canggu sendiri untuk saat ini dikatakan belum ada mengelola kawasan pantai yang ada di wewidangan (wilayah) Desa Adat Canggu. Wayan Suarsana berharap pihaknya dapat mengelola pantai seperti desa adat yang lain.

Walaupun ada peraturan yang memberi kewenangan kepada desa adat untuk pengelolaan kawasan pantai, menurutnya tetap perlu ada komunikasi dan koordinasi dengan pemerintah agar dapat diambil jalan terbaik. Untuk itu, ia mengatakan akan mengkonsultasikan dahulu terkait pengelolaan pantai ini. 

Wayan Suarsana mengatakan diperlukan adanya satu legalitas acuan agar semua menjadi gamblang. Sehingga sinergisitas antara adat dan dinas atau desa adat dengan pemerintah daerah dapat berjalan dengan baik.

“Selama ini kita desa adat seolah-olah melakukan pembiaran. Sementara, mau bergerak, tapi legalitas kepastian hukum belum ada. Harapannya, pengelolaan pantai ini ada di desa adat. Seperti yang di Kuta misalnya, pengelolaan Pantai Kuta diserahkan ke desa adat. Kami juga di Canggu harapannya demikian. Jadi perlu ada kepastian, agar tidak dihantui permasalahan dikemudian hari,” tutupnya. (BB/5012)

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button